Menapaki Karya Budaya di Biaro Bahal

Oleh: Elfa Suharti Harahap. Berada di atas sebuah batur, berbentuk bujur sangkar, berukuran 10 meter x 10 meter, tinggi 2,5 meter dan memiliki delapan anak tangga yang dibatasi oleh pipi tangga. Arcanya terbuat dari batu andesit. Bangunan utama yang disusun dari bata merah ini begitu mencolok ditengah hamparan rumput saat matahari tepat pada singgasananya.

Maraknya minat masyarakat pada pariwisata akhir-akhir ini, membuat berbagai kalangan terus menemukan tempat-tempat yang pantas untuk dijadikan pariwisata. Seperti Pulau Pandang yang saya kunjungi beberapa waktu lalu, tempat ini pun tidak begitu banyak yang tahu dan berminat. Padahal, Sumatera Utara memiliki nilai-nilai pariwisata yang patut dirawat dan dikembangkan. Salah satunya Candi Bahal. Sering dikenal penduduk setempat dengan sebutan Biaro Bahal.

Berbeda dengan di Jawa, masyarakat disini menyebut candi dengan kata biaro. Kata ini bukan tanpa arti. Berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Vihara yang berarti serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan- jalan. Dalam bahasa Indonesia mengalami perubahan menjadi Wihara atau Biara. Nah, dalam bahasa Padang Lawas sendiri Biara disebut dengan Biaro.

Biaro Bahal berdiri di wilayah bagian dataran rendah deretan pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari Barat Laut hingga ke Tenggara. Kondisi tanahnya berbatu-batu dan banyak mengandung kalsit. Berada di Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Sekitar 400 km dari Kota Medan. Lokasi ini berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Sumatera Barat di sebelah Selatan dan Provinsi Riau di sebelah Utara.

Menuju lokasi Biaro Bahal mudah saja. Jalan raya yang menghubungkan Padang Lawas dan Ibu Kota Provinsi Sumut relatif mulus. Membutuhkan waktu hingga 10 jam dengan menaiki bus. Terasa lama memang, tapi perjalanan tidak akan membosankan karena rutenya meliputi Medan-Tebing Tinggi-Pematang Siantar- Parapat- Balige- Tarutung- Sipirok- Gunung Tua. Rute ini menawarkan jalan yang meliuk- liuk dan panorama Danau Toba.

Tanpa dikutip biaya distribusi apapun, alias gratis, pengunjung bisa langsung masuk ke area biaro. Melihat dari dekat bentuk Biaro Bahal, setiap pengunjung bisa langsung menebak bahwa candi ini sangat kental dengan karya budaya Budha. Jejak agama Budha jelas terlihat disini. Oleh arkeolog dari Jerman, F.M Schinitger, yang melakukan penelitian pada tahun 1935 mengklaim bahwa kawasan ini adalah karya budaya Kerajaan Pannai.

Tidak sependapat dengan Schinitger, beberapa arkeolog lainnya percaya bahwa biaro ini memiliki hubungan dengan eksistensi kerajaan Sriwijaya karena melihat dari sejumlah artefak, analisis konstruksi bangunan dan materialnya. Ada yang berpendapat bahwa, Kerajaan Pannai sebagai daerah taklukan kerajaan Sriwijaya di Pantai Timur Sumatera, sehingga tidak ada hubungannya dengan kawasan Biaro di Padang Lawas.

Sejarah prasasti ini semakin membingungkan saat tidak ada satupun prasasti yang menyebutkan nama raja atau kerajaan di biaro ini. Satu-satunya catatan yang ditemukan disana hanya catatan berupa ajaran Budha Tantrayana. Catatan inilah yang menguatkan bahwa bangunan tersebut merupakan karya budaya agama Budha.

Ada Tiga Biaro

Masing- masing biaro memang tidak terlalu besar, hanya saja Biaro Bahal memiliki tiga buah candi yang berdiri di tempat berbeda. Disebut sebagai Biaro Bahal I, II, dan III. Biaro Bahal I mudah terlihat karena posisinya terletak dibagian depan. Di jalan masuk ke areal Candi Bahal I ada gapura dan pos penjagaan. Bahal I menempati lahan yang melandai ke arah tenggara yang dipenuhi kebun penduduk. Di sebelah Selatannya, sekitar jarak 75 meter terdapat Sungai Batang Pane. Biaro inilah yang dimaksud biaro utama.

Sekitar 600 meter dari Biaro Bahal I berdiri pula Biaro Bahal II. Memiliki pagar berukuran 60 meter x 50 meter dengan tinggi 1,20 meter. Masih berbentuk bujur sangkar, tingginya 0,5 meter lebih tinggi dari bangunan utama. Tangga dibagian depan memiliki lebar 75 cm dengan lima anak tangga. Di bagian paling bawah pipi tangga terlihat sepasang makara berhiaskan sulur-suluran unik.

Atap Biaro Bahal II tingginya sekitar tiga meter. Kemudian dibagi lagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dasarnya berbentuk octagonal, bagian selanjutnya lebih kepada bentuk persegi empat dan bagian terakhir berbentuk segi delapan. Pada bagian paling atas terlihat empat buah relung yang terletak di setiap sisinya. Jika dicermati lebih teliti, keempat relung mirip dengan atap candi yang ada di Dieng, Jawa Tengah.

Kendati semakin penasaran, saya melanjutkan perjalanan untuk terus menapaki peninggalan budaya ini. Biaro terakhir menuntun saya berjalan kearah Timur sekitar 450 meter. "Pintu utama biaro terakhir menghadap ke Tenggara. Pengunjung dapat menaiki tujuh anak tangga dengan bagian pipi yang polos. Makara seperti di Biaro Bahal II tak akan dijumpai disini. Kita hanya akan menjumpai panil-panil pada batur yang dihiasi pola geometris dan floral. Yang unik disini, pada bagian pelipit batur akan ditemukan profil sisi genta dan setengah lingkaran diapit motif- motif geometris," kata Robet, salah satu masyarakat disana.

Mataku kembali tertuju pada atap biaro. Ternyata, setiap biaro disini memiliki bentuk atap yang berbeda. Pada Biaro I akan ditemukan bentuk atap berbentuk stupa yang diletakkan di atas lapik berfosil sisi genta dan memiliki persegi. Biaro ke II setiap dasar berbeda, di biaro ke III berbidang persegi empat yang bertumpuk sebanyak tiga lapis. Dimana setiap lapis akan semakin kecil ke bagian atas. Setiap sisi atap tak bermakna apapun. Tidak ada relung yang mirip dengan candi di Dieng.

"Jangan disamakan dengan candi pada umumnya. Biaro ini jauh berbeda sekali dengan candi-candi di Jawa. Mulai dari ukuran, bentuk dan bahan materialnya. Bahal benar-benar memperlihatkan sisa karya budaya yang menakjubkan," tambahnya.

Hampir Terlupakan

Bukan hanya minim peminat, biaro ini hampir terlupakan begitu saja oleh masyarakat, khususnya Sumatera Utara. Disaat semua orang berebut untuk mengunjungi candi-candi di pulau Jawa, Biaro Bahal justru mengalami hal sebaliknya. Jumlah pengunjung setiap tahun bisa berbanding jauh dari pengunjung Candi Borobudur atau Prambanan.

Jika dibandingkan dengan Candi Borobudur, Biaro Bahal memang terlihat seperti tidak terurus. Banyak rumput tinggi yang tumbuh. Di beberapa sisi terlihat tanaman sawit yang lebih subur. Lumut lekat di sela batuan. Pemandangan seperti ini membuat pengunjung tidak nyaman. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Biaro Bahal minim pengunjung.

Meski begitu, untuk menyelamatkan biaro dari kehancuran, Biaro Bahal ternyata pernah mengalami pemugaran. Saran untuk dilakukannya pemugaran disampaikan oleh Callenfels pada tahun 1925. Saran tersebut ditindaklanjuti pada tahun berikutnya dan dipimpin oleh Drs. Maulana Ibrahim.

0Nah, sebelum pemugaran ada beberapa tahap yang perlu dilaksanakan, seperti kajian arkeologis, meninjau keaslian bentuk bangunan, bahan yang digunakan, teknik pengerjaan, dan tata letak bangunan dari segi kontekstual. Dari tahap ini, kelayakan untuk melakukan pemugaran positif diperlukan yang dimulai pada tahun 1978.

Pemugaran pertama dilakukan pada Biaro Bahal I. Tahap awal, dimulai dengan membuat werkkit atau barak kerja. Lalu pembongkaran kaki biaro. Saat pembongkaran, ditemukannya tulang manusia serta binatang, sperti anjing dan babi. Pembongkaran hingga penyusunan memakan waktu selama 10 tahun, mengingat ukuran candi ini terbilang yang paling besar diantara dua lainnya. Ditambah lagi, pembongkaran dan penyusunan kembali harus dilakukan selapis demi selapis agar tidak menambah kerusakan pada setiap elemannya.

Tidak seperti Biaro Bahal I yang membutuhkan waktu 10 tahun dalam proses pemugarannya, Biaro Bahal II membutuhkan waktu selama empat tahun. Dimulai pada tahun 1991, aktivitas pertama difokuskan pada kaki biaro. Pada biaro ini, pemugaran harus menambahkan pondasi, rekonstruksi, konsolidasi, konservasi dan pemasangan plat beton pendukung.

Untuk Biaro Bahal III membutuhkan waktu lima tahun yang dimulai pada tahun 1995. Pemugaran yang dilakukan pada bagian ketiga ini tidak jauh berbeda dengan Biaro Bahal II. Beberapa pondasi harus dipasang agar bangunan tetap kokoh.

Melihat kondisi yang ada, bukan tidak mungkin biaro ini akan tergerus oleh zaman. Fatalnya lagi, bisa menghilang karena tidak diperhatikan. Menunggu pemugaran kembali akan membutuhkan waktu yang panjang. Alasan lain, biaro ini bisa dikatakan minim publikasi. Wajar kalau banyak masyarakat yang tidak tahu keberadaannya.

Tindakan-tindakan untuk mengangkat nilai Biaro Bahal agar menjadi tempat pariwisata yang recommended tentu sangat diharapkan. Baik dari kalangan manapun, publikasi dan pelestarian adalah hal yang paling penting. Sumut seharusnya bisa bangga memiliki biaro ini. Seperti Jawa yang begitu bangga dengan icon candinya. *** (Penulis adalah alumni FKIP UMSU dan Redaktur Pelaksana UKM-LPM Teropong UMSU Periode 2008- 2009).

()

Baca Juga

Rekomendasi