Kisah Pengemis dan Segelas Susu

Oleh: Muhammad Idris Nasution. Pada tulisan ini, kami akan menceritakan sebuah kisah yang dikutip oleh Robert Frager, seorang Syekh Tarekat Halveti-Jerrahi, dalam bukunya Sufi Talks: Teachings of an American Sufi Sheikh, dalam edisi Indonesia. Cerita ini dituturkan oleh seorang mursyid terkenal di Turki, Muzaffer Efendi.

Sebelum era Islam, salah seorang nabi di masa-masa awal penyebaran agama tauhid, tinggal di sebuah kota kecil. Dia menunjukkan semua upacara keagamaan bagi kaumnya, mulai dari kelahiran hingga pemakaman. Suatu hari ia menikahkan sepasang anak muda. Dan, sesudah pesta pernikahan usai, sang nabi tampak sangat sedih, meskipun biasanya ia menyukai peristiwa pernikahan. Para sahabatnya bertanya mengapa ia tampak begitu sedih. Ia menjawab, “Takdir kedua mempelai itu sangat muram. Mereka sangat bahagia saat ini, tapi mereka akan mati malam ini juga.”

Keesokan paginya, penduduk kota masih melihat lelaki muda itu di pasar. Sang nabi ikut terkejut, dan bertanya kepada si pemuda apakah ia boleh datang ke rumahnya. Pemuda itu berkata, “Tentu saja boleh.” Sang nabi pun beranjak pergi bersamanya. Setibanya di rumah pemuda itu, istri si pemuda menyambut mereka di pintu masuk. Sang nabi masuk ke dalam rumah dan melihat pembaringan kedua pengantin itu masih tergolek di lantai kamar. Ia menyingkapkan seprai tempat tidur itu dengan tongkatnya dan menemukan seekor ular yang sangat berbisa. Sang nabi bertanya kepada ular itu tentang apa yang terjadi tadi malam. Ular itu berkata, “Aku bergelung di ranjang ini untuk mendapatkan kehangatan. Ketika kedua mempelai itu naik ranjang, mereka membuatku merasa terusik. Saat aku hendak menggigit mereka, ada sesuatu yang mencengkeram tubuhku sehingga aku hanya bisa mematung sepanjang malam.”

Sang nabi berpikir, “Nah, itu dia. Ular ini mau menggigit mereka, tetapi sesuatu mengubah takdir mereka.” Sang nabi bertanya kepada kedua pasangan itu adakah sesuatu yang istimewa yang terjadi tadi malam. Sekejap mereka diam berusaha mengingat hingga sang istri berkata, “Sesaat sebelum kami beranjak tidur, seorang pengemis, mengetuk pintu rumah dan aku memberinya segelas susu.”

Sang nabi berkata, “Segelas susu itu telah menyelamatkan hidup kalian.”

Kisah-kisah seperti ini banyak sekali tercantum dalam berbagai kitab. Kisah-kisah yang pada intinya mengajak kita untuk bermurah hati, karena hanya orang-orang yang memiliki kemurahan hati, yang akan dikasihi oleh Allah. Nabi Saw bersabda, “Orang yang tidak bermurah hati atau tidak mau mengasihi, dia tidak akan dikasihi atau dirahmati oleh Allah.” Nabi juga bersabda, “Kasihilah mereka yang ada di muka bumi, niscaya yang ada di langit akan mengasihimu.” Bermurah hati, baik dalam arti berbagi dan memberi, menolong dan peduli.

Al-Quran bercerita, ketika seseorang berkeinginan untuk memberi, maka setan akan berupaya menghalang-halanginya. Pertama-tama, dia akan mengancamnya dengan kemiskinan. Allah berfirman dalam al-Quran, “Setan akan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan.” (QS al-Baqarah:268) Menurut Ibnu Katsir, hal ini adalah upaya setan agar kita menahan tangan untuk memberikan apa yang kita miliki di jalan Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/458) Sehingga ada sebagian orang berperilaku seakan-akan dompet mereka diselubungi jelatang. Ketika meraih dompet untuk beramal, tangan mereka disengat.

Ada satu sikap yang sering kali berhasil mengelabui manusia untuk tidak memberi, yaitu prasangka buruk. Berprasangka buruk bahwa si pengemis bukan orang yang layak diberi. Misalnya, si pengemis sebenarnya bukan orang miskin, si pengemis bukan orang yang taat beribadah, si pengemis akan menggunakan uangnya untuk maksiat seperti narkoba dan judi, dan berbagai prasangka buruk lainnya. Layakkah kita berprasangka sedemikian?

Pengemis bukanlah problematika baru, sayangnya belum terselesaikan,  meski Indonesia telah 69 tahun merdeka. Dan menjadi sebuah paradoks di tengah pesatnya pembangunan gedung-gedung mewah nan menjulang.  Pengemis telah menjadi gejala klasik yang melanda berbagai negara, bukan hanya negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Bahkan, konon mereka mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, satu-dua di antara mereka dapat meraup penghasilan hingga jutaan rupiah per bulan. Hingga, fenomena ini menarik perhatian sebagian lembaga fatwa untuk mengharamkan memberi kepada pengemis, dan menuntut sebagian pemangku kebijakan untuk mendenda orang yang memberi pengemis.

Memang betul, tidak semua pengemis adalah orang miskin, dan tidak semua orang miskin juga pengemis. Lagipula pengemis juga bukan hanya ada di jalanan, pengemis  ada di perkantoran, mengemis jabatan. Pengemis bukan hanya mereka yang tak beralas kaki, tetapi pengemis juga ada yang berdasi. 

Dalam agama kita akan melihat, di satu sisi sangat mengecam perbuatan mengemis, namun di sisi lain juga menuntut agar memperhatikan kehidupan mereka. Nabi Saw. bersabda, “Seseorang akan senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga hari kiamat, ia datang tanpa ada sepotong daging jua di wajahnya.” (HR Bukhari-Muslim) “Siapa yang mengemis harta kepada orang lain, dengan tujuan memperkaya diri sesungguhnya dia sedang meminta bara api neraka..” (HR Muslim) Namun, al-Quran juga memperingatkan, “Kebaikan itu adalah, (diantaranya) memberikan harta yang dicintainya kepada para peminta-minta..” (QS al-Baqarah: 177) Al-Quran juga berupaya agar kita tetap menghormati para peminta-minta, “Janganlah kamu menghardik para peminta-minta.” (QS ad-Dhuha:10)

Kenapa Harus Memberi?

Menurut Imam al-Ghazali, ada tiga makna pemberian kita. (Ihya, 1/214) Pertama, memberi adalah tanda cinta kepada Allah. Bahwa harta yang kita miliki tidak menghalangi cinta kita kepada Allah. Karenanya, ketika Dia meminta kita untuk menyisihkannya, tak ada yang mengganjal dalam pikiran kita untuk segera melakukannya. Tidak mau bersedekah merupakan salah satu tanda kurangnya iman, tanda yang menunjukkan bahwa kita terikat dan dikendalikan oleh nafsu.

Kedua, memberi itu menyucikan. Menyucikan hati dari sifat kikir. Juga menyucikan harta itu sendiri. Komarudin Hidayat, memberikan sebuah perumpamaan yang bagus tentang ini. Harta yang diberikan kepada orang lain, seperti air yang dialirkan. Mari melihat perbedaan air yang menggenang dan yang mengalir. Air yang menggenang apalagi menumpuk diam dalam satu wadah lama-kelamaan akan keruh dan menjadi sarang larva nyamuk yang bisa membawa penyakit demam berdarah, ditambah lagi baunya yang tak sedap. Sebaliknya, lihatlah air yang mengalir. Ia bukan saja lebih bersih, melainkan juga membersihkan kotoran-kotoran yang dilewatinya dan tidak berbau. (Komarudin, 2012:104) Demikian jugalah dengan harta.

Ketiga, memberi itu berarti bersyukur. 

Rasulullah Saw sangat menganjurkan kita untuk memberi. Namun, seringkali kita hanya melihat apa yang ada di atas piring kita dan tidak melihat apakah piring tetangga kita terisi penuh atau kosong tanpa makanan. Jika kita hanya memikirkan kebutuhan sendiri, kita akan menganggap sulit bersikap dermawan. Alangkah lebih baik jika kita menyadari bahwa apa yang kita butuhkan itu sangat sedikit, sementara apa yang kita inginkan tidak pernah ada habisnya. (Robert Frager, 2013:339)

Memberi berarti mengosongkan lemari untuk menyambut barang-barang baru dapat masuk. Memberi kepada orang lain sesungguhnya membuat diri sendiri menerima sesuatu yang sering jauh lebih besar dan berharga dari yang diberikan. Al-Quran menyebutkan balasannya berlipat ganda, hingga sampai 700 kali lipat. (QS al-Baqarah: 261)

Karenanya, Rasul sangat menganjurkan memberi, walau hanya sebiji kurma. Itupun akan sangat bermanfaat baginya. “Upayakanlah dirimu menjauhi neraka, walau dengan sebiji kurma.” “Sesungguhnya sedekah akan memadamkan kemarahan Tuhan.” Oleh karena itu, mari memberi, walau hanya segelas susu. Segelas susu pun dapat mencegah bencana. Segelas susu juga dapat meredam kemarahan Allah.

*Penulis adalah Mahasiswa IAIN SU Fakultas Syariah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah.

()

Baca Juga

Rekomendasi