Sudah Saatnya Indonesia Mengembangkan Tanaman Herbal

Medan, (Analisa). Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Cabang Sumatera Utara, Prof Amri Amir SpF (K) SH SpAk mengatakan, sudah saatnya Indonesia mengembangkan dan memanfaatkan tanaman herbal yang ada di tanah air. 

“PDHMI punya keinginan kita menyadari bahwa barang-barang herbal kita bisa dimanfaatkan untuk kesehatan. Kita tiru China. Mereka sudah melakukannya dari ratusan tahun dan sekarang herbal mereka mendunia. Sementara, kita punya bahan baku yang hampir sama, tapi belum kita manfaatkan,” sebut Amri Amir usai seminar “East Meet West In Hepatology” di Medan, Sabtu (23/8). 

Seminar dihadiri 100 lebih dokter umum dan spesialis. Narasumber Praktisi Herbal dan Akupunktur DKI Jakarta, dr Fenny Yunita dan Prof Dr Lukman Hakim Zain SpPD KGEH.

Menurutnya, sembari menunggu Indonesia mengembangkan produk herbal untuk kesehatan, mau tidak mau harus memanfaatkan produk herbal dari luar. “Kita gunakan obat yang mereka pakai. Ternyata obat yang mereka pakai tersebut bermanfaat untuk dunia kesehatan,” ucapnya.

Dia menilai, dari sisi medis, obat herbal China bermanfaat bagi kesehatan dan dipakai luas di masyarakat. Hanya saja, kalangan tenaga medis sendiri masih belum popular untuk meresepkan dan merekomendasikan penggunaannya kepada pasien. 

“Tenaga medis kita masih skeptis benar tidak evidance basenya. Tapi, kita yakini herbal tersebut digunakan di masyarakat luas. Kita ingin para dokter melihat secara komplek bahwa obat herbal itu untuk kepentingan masyarakat. Sebenarnya tidak masalah dipakai. Apalagi obat tersebut sudah mendapat lisensi dari BPOM dan memang diizinkan untuk digunakan,” ucapnya.

Pengobatan herbal, tambahnya, bisa berdiri sendiri sebagai obat, ada juga yang sifatnya komplementer atau pendukung obat medis dalam menyembuhkan pasien. Harus disadari herbal kerjanya untuk preventif dan promotif. Pemakaiannya rutin dan panjang. Perlu waktu.

Potensial

Sebenarnya, lanjut Prof Amir, pengembangan tanaman herbal sangat potensial. Tidak saja dari sisi kesehatan, tapi juga bisa meningkatkan ekonomi. 

“Dulu, obat-obat herbal China itu seharga 250 ribu rupiah. Tapi, sekarang harganya sudah meningkat sampai 800 ribu rupiah. Soalnya, bahan baku yang digunakan sudah mulai langka. Kalau kita kembangkan produk kita juga, tentu akan meningkatkan ekonomi negara kita,” jelasnya.

Praktisi Herbal dan Akupunktur DKI Jakarta, dr Fenny Yunita menambahkan, penggunaan herbal dalam medis secara umum tidak masalah, termasuk menggabungkan kedua metode tersebut. Begitupun, semuanya tergantung persetujuan pasien. Kemudian, herbal yang direkomendasikan sudah memiliki evidance base atau sudah ada bukti uji klinisnya.

“Soalnya, herbal sebagai komplementer, fungsinya untuk meningkatkan efektivitas kesembuhan pasien termasuk juga mengurangi efek samping pengobatan medis. Misalnya, pasien yang terapi kemoterapi kanker. Dia minum herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya,” sebut Fenny.

Dia juga mengaku, sampai saat ini tenaga medis di Indonesia masih belum popular tentang herbal. Padahal, eksistensinya sudah tidak bisa ditolak lagi. Permasalan utamanya, minimnya sosialisasi tentang herbal bagi kalangan medis.

Selain itu, lanjutnya, penting juga bagi kalangan akademis mulai dari pendidikan bawah hingga ke perguruan tinggi untuk memberikan pemahaman bahwa di tanah air ini, banyak produk tanaman herbal yang bisa digunakan dan dikembangkan.

Di akademik, kenapa dokter sekarang tak tahu herbal, karena komponen akademik tidak mengajarkan herbal di perkuliahan.

Kemudian, pemerintah juga harus memiliki komitmen yang kuat meningkatkan herbal. “Di China, pemerintahnya memberikan anggaran yang tinggi untuk penelitian herbal. Kalau kita, penelitian biaya sendiri,” ungkapnya.

Termasuk juga kalangan ekonom. Sudah saatnya mulai mengembangkan dan menanamkan investasi untuk pengembangan herbal medik. “Jadi, semua pihak bertanggungjawab untuk ini,” ucap Fenny.

Direktur Marketing PT Saras Subur Ayoe, Darmadi mengharapkan, seminar yang diikuti 100 lebih dokter tersebut bisa lebih membuka cakrawala masyarakat tentang pengobatan herbal khususnya di kalangan medis.

“Memang namanya obat tradisional, tapi sebenarnya standar pengolahan dan pembuatannya hingga jadi produk sudah sesuai standar obat-obat farmasi,” ucapnya. (nai)

()

Baca Juga

Rekomendasi