Derita Perempuan dan Misterinya Cerpen

Oleh: Mihar Harahap. Ada enam cerpen dimuat Analisa dalam rubrik Rebana pada bulan Juni-Juli 2014. Tiga diantaranya merupakan cerpen, baik tema maupun bentuk pengungkapan biasa saja, sebagaimana cerpen umumnya. Meskipun ketiga cerpen belum masak jambak, tetapi kita bisa melihat sejauhmana perlakuan tokoh dalam melakoni ceritanya. Gunanya, selain untuk tahu isi cerita, juga dapat dibandingkan dengan kehidupan realita.

Entah karena pengarang seorang wanita muda dan sensitif atau mungkin pernah melihat kejadian, namun demikianlah ketiga cerpen ini. Mengekspresikan derita perempuan, baik ketika sedang jaruh cinta, korban birahi, maupun ketika membina rumah tangga. Persoalannya, tak lain tak bukan karena ulah laki-laki. Ada saja perangai lelaki yang membuat perempuan menderita. Sayang, ketiga cerpen tidak memberi jalan keluar.

Cerpen pertama, Perempuan Penunggu Sabtu karya Anggrek Lestari Asy-Syifa. Menceritakan perempuan yang dihamili lelaki, pacarnya. Ketika diminta pertanggungjawaban, sang pacar mengatakan:”…. Jadi, kalau kamu hamil gugurkan saja kandungannya. Kamu tenang saja, akan aku kirim uang ke rekeningmu” (petikan cerpen). Rupanya, selain kedua orangtua tidak setuju hubungan ini, juga sang pacar sudah dijodohkan.

Bayangkan, betapa lengkapnya penderitaan itu. Sudah hamil tanpa pertanggungjawaban, tak direstui orangtua/calon mertua, malah sang pacar sudah ditunangkan. Inikah  resiko perempuan yang lemah itu?

Tak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya menunggu. Menunggu cintanya yang dicederai di bawah pohon asam di taman budaya. Menunggu setiap Sabtu dalam komunitas sastra. Ah, menunggu entah sampai kapan?

Cerpen kedua, Sinar Mata Zinna karya Reisha Lynn Simarmata. Menceritakan  seorang perempuan yang digagahi lelaki, pamannya sendiri.

“Menggeliat pamanku dalam dadaku. Menyusuri setiap lembah. Menghunjam jauh ke jurang yang terdalam dan yang terlarang. Mataku menyaksikan segala kebrutalannya. Aku terkapar. Mataku sayang mataku malang. Mataku tak suci lagi” (petikan cerpen). Begitulah durjananya paman.

Mata yang jelita penuh pesona, dapat menggoda setiap laki-laki rupanya termasuk sang paman. Tak inginkah mata mengadu kepada bibi, istri paman? Tak ada, kecuali pada teman satu komunitas sastra. Di taman budaya di bawah pohon asam. Tampaknya, latar cerita, sama/hampir sama dengan cerpen pertama. Selain itu, tak ada, seakan derita hi- dup perempuan sebab laki-laki, dibiarkan begitu saja. Oh, malangnya nasib.

Cerpen ketiga, Sri dan Putrinya karya Eva Riyanti Lubis. Menceritakan perempuan yang sejak kematian suami, hidupnya dan anak-anaknya seakin sulit. Betapa tidak, mertua dan saudara suami tak menerimanya lagi. Pindah ke kota, membuka warung di rumah kontrakan, bermasalah pula. Tetangga dekat membuka warung juga. Parahnya lagi, dituduh kumpul kebo dengan perjaka tua. Merasa diintimidasi, iapun marah.

“Kalian tidak tahu malu! Kesalahan kalian, kalian simpan rapat-rapat. Kalian be-nar-benar mengkambinghitamkan orang yang tidak bersalah”(petikan cerpen). Seenaknya munuduh tanpa bukti, sementara kesalahan para tetangga diturupi. Sungguh tidak adil. Itulah derita seorang janda beranak dua, tak habis-habis. Sebenarnya cerpen ini bisa  menarik, dibanding dua cerpen terdahulu, asal diperhatikan pengungkapannya.

Selanjutnya, tiga cerpen berikut ini, di samping agak lumayan dari tiga cerpen di atas, juga karena pengolahan cerita lebih padat, tertib dan mengesankan. Berbagai hal diceritakan, ada berupa cerpen perjalanan dengan latar masa tempo dulu walau agak monoton serta ada pula yang memisterikan cerpen dengan pusat cerita bubungan atap rumah dan kebebasan pikiran/perasaan yang mampu menembus jasad.

Cerpen pertama Pelabuhan Balige karya Arbi Syafri Tanjung. Menceritakan perjalanan pulang kampung Mardzuki sekeluarga dari Medan ke Sibolga pada tahun 1920. Dari Medan ke Siantar (naik keretaapi) terus ke Parapat (naik bus) terus ke Balige (naik kapal) terus ke Sibolga (naik cardford). Sebelumnya, kenderaan kota, misal dari rumah (Jalan Antara ke stasiun besar keretaapi) di Medan dan Siantar naik delman.

Bagi kita cerpen ini hanyalah lukisan masa lampau. Sebab tiap bagian lukisan diceritakan mendetil, mungkin untuk memeroleh efek masa lampau itu. Akibatnya cerita terasa lambat selambat laju keretaapi. Memang ada usaha untuk membuat cerpen tidak monoton, misal menceritakan tertangkapnya penyelundup opium. Cuma sekilas, hingga kurang berarti. Sebagai cerpen lukisan masa lampau dianggap memadai.

Cerpen kedua, Di Bubungan Atap karya Marina Novianti dan cerpen ketiga Mayat karya Alex R. Nainggolan. Bagi saya kedua cerpen ini masih mesterius karena  peristiwa demi peristiwa yang terjadi, belum merupakan satu rangkaian yang terjalin mesra. Masih terbelah berserakan ke mana-mana dan benang merah untuk menghubung-kan tiap peristiwa begitu lemah. Inilah pertanda bahwa cerpen perlu didalami.

Dampak negatif dari kondisi semacam ini, hingga sangat memengaruhi penelusuran kita terhadap pengertian, konsep, tujuan dan amanat cerita. Memang secara samar, kita dapat mengikuti cerita melalui peristiwa demi peristiwa itu. Misal cerpen Marina Novianti, menceritakan seteru aku denga gadis kecil berkucir, kawanan burung, di bubungan   atap rumah. Ada pohon rimbun menjorok ke atap dan diakarnya anak-anak bermain.

Begitu pula cerpen Alex R. Nainggolan, menceritakab aku yang bangkit dari tidur  lalu berdiri di depan jendela dan membiarkan pikiran dan perasaan bermain di halaman rumah bersama dingin dan indahnya mentari pagi. Sementara  kawan tidurnya, yang lelah sehabis orasi di jalan, tak bergerak, diam dan mati. Meski aku tak ingat apa-apa lagi, teta- pi permainan pikiran dan perasaannya, menggambarkan apa yang dikehendaki.

Hanya, persoalannya bagi saya tadi, kedua cerpen ini, baik segmen peristiwa demi peristiwa, maupun permainan pikiran dan perasaan itu, selain belum terpadu secara utuh, menyeluruh, juga relevansi tiap jalinan segmen, permainan, simbolik, belum kuat, akurat. Akibatnya, kedua cerpen masih merupakan misteri buat saya. Barangkali hanya pecerpen yang mampu menguakkan msteri itu. Kalau tidak, siapa lagi?

Penulis Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua Fosad, Pengawas dan Dosen UISU.

()

Baca Juga

Rekomendasi