Cerpen Sederhana, Tapi tak Sederhana

Mihar Harahap. Menarik membaca cerpen Kaing-Kaing Anjing Terlilit Jaring karya Parakitri T. Simbolon. Lahir di Rianiate, Samosir, Danau Toba, 28 Desember 1947. Cerpen ini dimuat di salah satu koran di ibukota, baru-baru ini. Kita menyebutnya cerpen sederhana tetapi tak sederhana.

Sederhana ceritanya dan cara menceritakannya, tetapi tak sederhana hal-hal yang terkandung di dalamnya. Dengan pendidikan, pengalaman dan penghayatannya, cerpen ini mengalir sedemikian   harmonisnya, alamiah, seakan diciptakan tanpa bersengaja.

Betapa tak sederhana, ada seekor anjing terlilit jaring di tiang gawang lapangan.

Dia meronta-ronta, mengkaing-kaing melengking semalaman. Tokoh cerita (saya, kami) bersama tetangga (Siahaan) datang membantunya melepaskan diri. Itu saja. Boleh di-   bilang, cerita ini tidak umum, seperti menceritakan manusia dengan segala masalahnya. Ini hanyalah persoalan anjing yang kebetulan terlilit jaring.

Cuma itu. Kalau tidak terlilit jaring, mungkin ceritanya biasa-biasa saja. Begitu-begitu saja.

Bayangkan, semula anjing itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tetapi tak berhasil. Kemudian, mengkaing-kaing mengharap pertolongan orang lain. Tak seorangpun yang sudi membantunya.

Entah apa alasannya atau mungkin hanya seekor anjing. Tokoh cerita mau membantu bukan lantaran dia tak penyayang binatang. Melainkan karena anak bungsunya tak dapat tidur. Soalnya, kaing-kaing lengking anjing semalaman itu, sangat mengganggu tidurnya dan mimpinya.

Menceritakan ceritanya juga sederhana. Menggunakan plot maju, plot rapat seper ti plot cerpen pada umumnya.

Di awal, menceritakan tokoh berhadapan dengan persoalan (anjing dililit jaring). Di tengah, menceritakan tokoh menyelesaikan persoalan (melepas  anjing dari lilitan jaring). Di akhir, menceritakan pengarang menyudahi ceritanya (mengesankan amanat dan tujuan).

Tidak ada suspen di awal-tengah-akhir, termasuk lompatan  menegangkan. Artinya, cerita berjalan sebagaimana adanya.

Pemakaian bahasa, juga biasa. Bukan bahasa sastra tinggi hingga harus diinterpre-tasi lagi.

Tak perlu mengerutkan dahi begitu selesai membaca cerpennya. Malah pengarang cenderung menggunakan gaya bahasa lama. Baik pilihan katanya, bentuknya, maupun sifatnya yang menerangjelaskan. Akibatnya, kalimatnya panjang-panjang.

Logika yang digunakan pun wajar-wajar saja. Tidak berbelit-belit, hingga sukar mencernanya. Jalan pikirannya dan perasaannya terang, dapat dipahami.

Ketaksederhanaan maksud kita adalah hal-hal yang terkandung di dalam cerita. Setidaknya, didapati pokok pikiran dan perasaan mendasar mengenai hubungan sosial, keprofesionalan dan kebebasan hidup. Kedudukannya menjadi tak sederhana lagi ketika pokok pikiran dan perasaan itu berada dalam cerita sederhana.

Lain halnya bila cerita bertema besar, berat, dengan pengucapan syarat sastra, maka pokok pikiran dan perasaan itu menjadi sederhana. Maksudnya, sepadan antara tema dan bentuknya.

Hubungan sosial tidak terjalin dengan baik antar penduduk sekitar lapangan. Tampaknya bersikap tak acuh saja. Hal ini ditandai, kesatu, hanya tokoh cerita dan Siahaan yang memelihara anjing di lingkungan itu. Penduduk lain tak perduli dengan apa yang terjadi pada anjing.

Mungkin penduduk tak suka memelihara anjing, takut akan anjing atau malah merasa sinis terhadap anjing.

Karena itu, penduduk diam saja ketika anjing terkaing-kaing melengking sepanjang malam, meskipun didengarnya.

Kedua, kalaupun ada di antara penduduk sudi melihat apa yang terjadi, hanyalah sekedar melihat, lantas pergi tanpa berkata apa-apa. Sedikitpun tak merasa belas kasihan pada anjing yang terjerat semalaman. Sudah begitu, antara penduduk dan tokoh cerita pun  tak akrab, padahal satu lingkungan. Tetangga lagi.

Ketimpangan hubungan sosial ini mengakibatkan ketakperdulian penduduk pada anjing. Plus memberi isyarat kalau me reka tak merasa simpatik pada pemelihara anjing di lingkungan itu.

Tokoh cerita memang memiliki tiga/empat ekor anjing jenis Rottweiler, hampir sebesar anak sapi. Harus diurus dengan baik, anjingnya, kandangnya, makannya, mandinya, mainnya. Bila tidak, akan berakibat buruk bagi tuannya.

Ternyata, memelihara anjing, apa pun jenisnya harus profesional, sebab ada spesifikasi tertentu. Contoh, tokoh cerita, tak  mampu melepas anjing kampung yang terlilit jaring itu. Malah sang anjing mendengus menampakkan taringnya untuk berani mengadakan perlawanan.

Berbeda dengan Siahaan, pemilik anjing kampung. Dia berjongkok, meludahi telapak tangan dan mengusap ekornya, seketika anjing kampung itu diam tak berkutik.

Dengan mudah, dia memotong tali jaring. Tiba-tiba, anjing itu melompat tinggi dan berlari kegirangan. Keprofesionalan dan kompetensi spesifikasi, bukan karena sejumlah peralatan, kelogikaan, apalagi kecurigaan semata, seperti tokoh cerita. Melainkan karena kerja, pengalaman dan keyakinan, seperti yang dilakukan Siahaan.

Kata pengarang mengakhiri ceritanya:”Alangkah sombong, alangkah bodoh saya berpikir lebih dulu menyodorkan makanan dan minuman.

Padahal satu-satunya yang di perlukan oleh anjing itu adalah kebebasan.”(petikan cerpen). Meski kesadaran datangnya terlambat, tetapi berguna buat pembelajaran.

Begitupun, mengapa ada jaring di tiang gawang, padahal tidak sedang bermain bola? Mengapa ada anjing terlilit jaring? Anjing siapakah itu? Bagi saya hal ini menunjukkan ketimpangan demokrasi.

Ada kekuatan (jaring tiang gawang) di luar kekuatan yang ada. Bersifat mobokrasi, intimidasi dan berkuasa. Akibatnya, orang kebanyakan, kaum lemah (anjing kampung)  menjadi korban keserakahan, tak berprikebinatangan dan jauh dari nilai-nilai kemanusia- an.

Anjing kampung, dia tak butuh makan-minum dan segala fasilitas. Kecuali kebebasan dari jaring tiang gawang yang sepanjang malam membelenggunya. Dia sendiri pun mampu mencari makan dan fasilitas, jika sekiranya dibebaskan.

Cerpen ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dan kedua adalah cerita itu sendiri, mulai dari perkenalan tokoh dan persoalan hingga ke tahap penyelesaian.

Bagian ketiga, semacam kesimpulan yang menerangkan amanat dan tujuan dari ce- rita itu. Bila bagian ketiga ini tidak disertakan –hanya bagian pertama dan kedua saja- dipastikan tidaklah mengurangi makna cerita. Biarkan pembaca mencari sendiri makna itu sesuai tingkat pemahaman dan penghayatannya.

Penulis Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua FOSAD, Pengawas dan Dosen UISU)

()

Baca Juga

Rekomendasi