Cerpen Tanpa Gagasan Tersembunyi

Oleh: Mihar Harahap. Begitu banyak pembaca cerpen, tatkala selesai membaca, sudah merasa menikmati cerpen. Kecuali bila tak dapat memahami, lalu berusaha mencari tahu. Atau malah me-ninggalkannya, karena tak mau bersulit-sulit. Jangan lupa, tak sedikit pula pembaca cerpen yang merasa tak puas, meski sudah memahami dan menikmatinya. Diapun terus menuntut ada apa di balik cerita dari yang tampak dibaca.

Di balik cerita itu, biasanya ada gagasan yang tersembunyi. Walaupun cerita yang dibaca sederhana, baik tema (apa ceritanya) maupun pengungkapannya (bagai mana ceritanya) tetapi hasil cerpen akan lebih bermakna. Kalau tidak, di samping cerpen hanya sekedarnya saja (sekali baca selesai terasa) juga tak berkesan apa-apa (tanpa ada renungan mendalam bagi pembaca yang ingin mencari makna).

Keempat cerpen yang dibicarakan ini memenuhi syarat itu, sederhana, biasa-biasa saja. Cerpen Manusia Setengah Binatang karya Rezki Siregar, Nairas karya Sartika Sari, Pendekar Bukit Matahari karya Teja Purnama dan Malam Lebaran karya T. Agus Khaidir. Keempatnya dimuat di ruang Rebana harian Analisa, bulan Agustus 2014, tetapi tanpa gagasan tersembunyi, kecuali pada cerpen Malam Lebaran.

Cerpen yang amat sangat sederhana adalah Manusia Setengah Binatang, hingga perlu diolah lagi bentuk pengungkapannya. Ingin mendeskripsikan eksistensialisme secara simbolis, tetapi sudah umum, vulgar dan kurang menarik. Dibanding ketiga cerpen lainnya, maka cerpen yang satu ini, di samping belum setara dan sebangun, juga di luar pokok pembicaraan. Untuk model cerpennya, perlu pendalaman lagi.

Sartika Sari menceritakan Nairas (gadis belia, 14 tahun) sebagai korban KDRT. Selama 2 tahun dia duduk di kursi roda bahkan kini kakinya harus diamputansi. Padahal gara-gara sepele. Ketika berjalan, bocah Rafa terjatuh dan membentur dinding. Sebentar dia sehat kembali. Nairas disiksa majikan hingga kakinya patah. Majikan itu kakak iparnya sendiri, lalu masuk penjara karena perbuatan kejinya.

Tak ada yang kita peroleh dari cerita ini, selain persoalan KDRT yang menyiratkan sebab-akibat. Sebab majikan, pasangan suami-istri muda, hingga belum mampu menahan luapan emosi. Gejala psikologi ini masih personaliti, sebab suami-istri itu mahasiswa semestinya lebih dewasa. Akibat perbuatan keji kakak ipar, warga marah menunjukkan reaksi sosial masyarakat lingkungan cukup tinggi.

Gejala psikologi pelaku yang bermasalah (kakak ipar) dan reaksi sosial masyarakat lingkungan (diwakili Kepling) hanyalah tempelan saja. Dia cuma diceritakan untuk merangkai segmen cerita. Andai hal ini terjadi di lingkungan cerpenis, Gang Buntu, maka dia bukan lahir dari penelitian. Kalaupun hasil rekaan terasa kurang pendalaman. Kelihatan cerpen hanya terpaut peristiwa yang melingkar-lingkar agak melelahkan.

Cerpen ini tanpa gagasan yang tersembunyi. Lantas, bagaimana mau mengatakan cerpen ini berkesan. Tak ada yang perlu direnungkan dan dihayati, karena cerpen ini telah selesai. Kalaupun diteruskan sesudah Nairas diamputansi, juga tak mengubah arti. Tetap saja sebagai cerpen sekedarnya. Mungkin dua-tiga cerpen atau puluhan cerpen lagi dapat dibuat serupa dengan pelaku dan peristiwa berbeda. Perlu perubahan.

Teja Purnama dengan cerpen Pendekar Bukit Matahari, ceritakan kegelisahan dan kerinduan Dasata, bocah 4 tahun. Gelisah, sebab ina yang biasa meninabobokkan sambil bercerita, jatuh sakit dan dibawa berobat ke Gunung Sitoli. Ama minggat kare- na terpaut wanita Jepang yang pernah riset di desanya. Rindu, sebab ingin bertemu Lawaendrona, pendekar dari Bawomatoluo (Nisel) yang tinggal di bulan.

Semula Lawaendrona tinggal di bumi. Kepindahannya ke bulan karena tak ingin mati. Bulan menerima (bahkan menjamin takkan mati) asal tidak makan, sebab mengandung kotoran. Caranya, perut diganti mangkuk dan usus diganti gulungan sutra. Sang istri tak mau. Dia marah, lalu menjungkirkan bumi dengan tali. Bumi tak terjungkir, karena istri mengirim tikus jelmaaan untuk menggigit lilitan talinya.

Diduga, temu Dasata dan Lawaendrona dalam mimpi, tak sekedar gelisah-rindu. Ternyata, Teja bukan Wisran Hadi yang berani membuat tafsiran baru terhadap legenda Malim Kundang. Bukan Malim dikutuk jadi batu, melainkan sang ibu. Atau cerpen Api Cinta Shinta karya Jaya Arjuna. Dikatakan, Rahwana mengagumi wanita dan mencintai Shinta (istri Rama) pun sebaliknya. Keduanya mempertentangkan legenda.

Padahal kesempatan pecerpen itu ada. Misal dengan cara mengkaji mengapa -di bulan tak ada kematian, Lawaendrona tak mau mati, perutnya diganti, istrinya tak mau ikut- untuk akhirnya dapat menerima atau menolak kematian itu. Kalau tidak begitu, maka apa maksudnya menemukan Dasata dengan Lawaendrona dalam mimpi. Selain hanya ketemu idola pelompat batu, lalu tak ada kaitannya dengan penceritaan.

Cerpen ini sama dengan cerpen di atas, tak memiliki gagasan yang tersembunyi. Barangkali berbeda dengan cerpen Malam Lebaran karya T.Agus Khaidir. Ceritakan Yanis, mencuri di rumah Pak Zainuddin justru di malam lebaran. Semula berjalan mulus, tetapi ketika pulang memanggul barang curian, ia ditegur, dicurigai dan dikejar pemuda pegadang (juga warga komplek) hingga lari ke semak belukar hunian ular.

Pecerpen ingin menekankan, betapa durjana mencuri pada malam lebaran. Bayayangkan, selama ramadhan, setan-setan dibelenggu. Begitu genap puasa, masih terdengar lagi takbir di mesjid menyambut idul fitri, Yanis sudah melakukan pencurian. Seperti tak ada waktu di hari lain. Baginya, justru di malam lebaran itulah kesempatan. Sayangnya, dia bernasib sial, sekolompok pemuda memergokinya.

Mujur tak tertangkap. Kalau tidak, mungkin sudah mati atau babak belur. Cuma celakanya, dia sembunyi di sarang ular. Betapa ngeri. Entah karena doa makbul, para ular menjauhinya. Dia selamat, cerpenpun tamat.

Lucu juga. Pecerpen telah menyembunyikan gagasannya. Binatang lebih beragama ketimbang manusia. Setan dibelenggu, tetapi jelmaannya berkeliaran. Ternyata, manusia lebih daripada setan.

Sekali lagi, meski cerita sederhana, kalau diberi gagasan di balik ceritanya, tentu lebih bermakna. Saya kira, di situlah letak kekuatan cerpen-cerpen seperti ini. Misal cerpen Kaing-Kaing Anjing Terlilit Jaring karya Parakitri T. Simbolon. Hanya persoalan anjing terlilit jaring tiang gawang, pembaca dapat melihat mahalnya kebebasan, kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan sebagai gagasan yang tersembunyi.

Penulis Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua Fosad, Pengawas dan Dosen UISU

()

Baca Juga

Rekomendasi