Seputar Korupsi di BUMN (1)

Apakah Kerugian BUMN Dapat Disebut Kerugian Negara?

Oleh: Dr. Ferry A Suranta,SH., MBA, M.H. Badan Usaha Milik Negara atau BUMN tampaknya bukan sesuatu hal yang asing lagi masyarakat. Namun, kendati dekat dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat belum banyak mengenai BUMN dengan baik dan lebih dalam. Masih banyak yang mempersamakan BUMN dengan instansi pemerintah. Umumnya, hal tersebut terjadi karena seseorang yang bekerja sebagai PNS dipersepsikan sama dengan seorang karyawan/pegawai BUMN sebagai abdi negara.

Sekilas, anggapan masyarakat tersebut boleh benar. Namun akan menjadi sangat keliru jika diurai lebih jauh mengenai sejarah, fungsi, pengelolaan keuangan dan tujuan dibentuknya BUMN. Dalam sejarahnya, BUMN didirikan oleh negara sebagai perusahaan dengan tujuan agar negara dapat mencari keuntungan (profit taking), sebab pada dasarnya negara tidak dapat mencari keuntungan dari kegiatan menyelenggarakan pemerintahan.

Oleh karena itu, sebagai perusahaan, keberadaan BUMN sama dengan perusahaan-perusahaan lainnya dengan status badan hukum yang bukan BUMN. Ada pendiri, pemodal/pemegang saham, direksi dan komisaris. Hanya bedanya, di dalam BUMN terdapat sebagian atau seluruh modalnya berasal dari Negara atau sumber modalnya dari APBN

Jika dikelompokkan, terdapat dua macam BUMN yaitu Persero dan Perum. Persero diatur berdasarkan prinsip-prinsip perseroan terbatas dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sedangkan Perum tunduk terhadap ketentuan Pasal 35 UU RI Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Modal dan Keuntungan BUMN

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah pengaturan mengenai modal dan perhitungan keuntungan BUMN. Karena bagaimana pun, sebagai sebuah perusahaan, maka BUMN pada umumnya didirikan untuk mencari keuntungan sehingga dipastikan memerlukan modal untuk menjalankan kegiatan usahanya. Jika membaca UU No. 19 Tahun 2003 pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 4 UU BUMN, sedangkan BUMN adalah perusahaan yang berbadan hukum yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Arti dipisahkan adalah bahwa walaupun APBN sudah dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, namun pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, tetapi justru didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Artinya, ketika harta kekayaan itu dimasukkan/disetor kepada BUMN, maka terjadi peralihan hak milik menjadi kekayaan BUMN, bukan lagi milik negara.

Dengan kata lain, sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus uang publik. Dengan demikian, sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik telah berubah menjadi badan hukum privat. Seiring dengan itu, terjadi pula transformasi dari uang publik menjadi uang privat.

Korupsi di BUMN

Yang perlu mendapat perhatian adalah, bagaimana kalau BUMN mengalami kerugian yang diakibatkan perbuatan-perbuatan melawan hukum (onrechmaatigdaad) ? Apakah hal tersebut termasuk golongan tindak pidana korupsi (Pidana Khusus) atau justru merupakan hanya tindak pidana umum saja? Jawabannya tentu akan problematik dan masih menjadi diskursus tersendiri. Menurut sisi hukum keuangan negara, pengaruh keuangan negara terhadap BUMN sesungguhnya hanya terbatas pada kepemilikan saham/modal usaha yang dimasukkan negara ke dalam BUMN. Dengan demikian, harta kekayaan BUMN merupakan milik BUMN sendiri dan bukan lagi milik negara.

Lalu, apakah kerugian BUMN tersebut dapat disebut mutlak kerugian negara? Kemudian, apakah pergurus BUMN yang melakukan penipuan atau penggelapan di BUMN tersebut dapat dikenakan hukum tidak pidana korupsi? Jika merujuk terhadap Pasal (2) dan Pasal (3) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa perbuatan korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Diskursus selanjutnya, apakah yang dimaksud dengan keuangan negara itu? Ada Jika mengacu kepada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Hal ini menunjukkan bahwa keuangan negara juga meliputi harta kekayaan yang yang berada dalam pengurusan dan dikuasai oleh BUMN. Singkatnya harta kekayaan BUMN adalah milik Negara, sehingga kerugian BUMN merupakan kerugian negara juga. Dengan demikian, pejabat BUMN yang berbuat merugikan BUMN dapat dikenakan pidana berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, hal tersebut belum bisa diterima sepenuhnya. Karena UU Pemberantasan korupsi justru berbenturan dengan UU BUMN. Terjadi perbedaan prinsip pada kedua UU itu. Prinsip UU Pemberantasan Korupsi menghendaki bahwa kerugian negara termasuk juga kerugian BUMN, sedangkan prinsip UU BUMN mengatakan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian BUMN sendiri dan bukan kerugian negara.

Dengan adanya perbedaan prinsip yang demikian, tentu akan berimplikasi terhadap penegakan hukum (law enforcement), terutama kepada ketidakpastian hukum. Bukan hanya bagi penegak hukum, ambiguitas ketentuan ini juga dapat menjadi ajang ‘jurus penyelamat’ bagi perampas harta kekayaan negara. Memang, jika tindak pidana korupsi tidak dapat dikenakan, bukan berarti pejabat BUMN yang melakukan perbuatan melawan hukum akan lolos dari jerat hukum sama sekali. Pelakunya tetap dapat dipidana dengan menggunakan delik lain. 

Pada BUMN perbankan pelakunya dapat dijerat dengan tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan UU Perbankan. Pada BUMN Kehutanan dapat dijerat dengan tindak pidana kehutanan berdasarkan UU Kehutanan. Jika tidak, setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana, dapat dikenakan dengan delik yang terdapat dalam KUHP. Namun, alangkah lebih baik jika hukum tidak ambigu dan berada di wilayah abu-abu. ***

Penulis adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Medan Area (UMA) Medan) dan Praktisi Hukum.

()

Baca Juga

Rekomendasi