Oleh: Winda Kustiawan, MA
Berjalan serta di iringi dengan berlari kecil mengelilingi dua buah bukit yaitu shafa dan marwah merupakan bahagian dari ritual pelaksanaan ibadah haji yaitu disebut dengan ibadah syai. Dua bukit tersebut merupakan saksi sejarah dari nilai ketaatan dan kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya, untuk menunjukkan bahwa dedikasinya terhadap perintah Allah akan menjadi sumber inspirasi kepada seluruh umat manusia akan nilai ketauhidan. Sumber seperti mata air yang tidak pernah surut sepanjang zaman (air zam-zam), meskipun telah di ambil dengan jumlah yang tidak dapat terbilang dan terhitung lagi. Secara langsung Allah menyampaikan bahwa ada hal yang sangat mendalam untuk dipahami tentang kedua bukit ini, mari kita perhatikan firman Allah “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ” Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa’i antara keduanya. Dan, barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”(QS. 2: 158). Dari ayat ini Allah menyampaikan dengan tegas bahwa shafa dan marwah merupakan syiar Allah. Secara sederhana dapat kita pahami kata syiar dari kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah kemuliaan dan kebesaran. Sementara secara istilah syiar merupakan sebuah perbuatan konkrit dalam memberikan informasi kebajikan seputar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan contoh secara langsung (keteladanan), tausyiah dan mengajarkan secara langsung. Untuk itu dalam tulisan kali ini sangat tepat bahwa bukit shafa dan marwah memiliki nilai syiar kebenaran dalam menjalani kehidupan ini dari sisi ketauhidan dan kemandirian hidup.
Sumber Ketauhidan
Nilai ketauhidan terkandung dalam peristiwa yang di alami Ibrahim, Istri dan anaknyanya (siti Hajar dan Ismail), ini merupakan bentuk nyata terhadap kualitas keimanan seorang hamba. Secara akal sehat tidak mungkin dapat terjawab, seorang suami sekaligus seorang ayah (Ibrahim) meninggalkan istri dan anaknya begitu saja di bukit shafa dan marwah, dalam keadaan kondisi begitu lemah baik itu fisik, ekonomi dan keamanan. Namun siapa yang mampu meragukan kualitas ketauhidan seorang Ibrahim, dari semenjak kecil Ibrahim sebagai sosok seorang pemuda yang berani membongkar kebobrokan nilai ketahidan kaumnya (lihat QS. 21 : 62-64). Meskipun demikian Ibrahim tidak hanya membiarkan begitu saja istri dan anaknya, beliau telah memberikan modal dan bekal yang mendasar terhadap istrinya, untuk menjalani kehidupan dengan baik meskipun suami tercinta tidak berada disisinya. Hal inilah sebenarnya harus dicontoh dalam sisi kehidupan berumah tangga, terkadang kebutuhan materi, uang, perhiasan, mobil, rumah dan kemewahan lainnya bukan merupakan segalanya di dunia ini. Karena semuanya itu akan kita tinggalkan selamanya, hanya sehelai kain kafanlah yang akan membungkus diri ini dan amal baik atau buruk kita-lah yang akan mendampingi. Untuk itu, harta yang kita miliki pergunakanlah untuk melakukan perbuatan kebajikan, dan bukan hanya ditimbun serta diperbanyak, yang pada akhirnya harta yang tidak kita belanjakan dijalan Allah akan menjadi petaka kita di akhirat kelak (lihat QS. At-Taubah : 35).
Kebutuhan materi bukan tidak penting, akan tetapi harus di iringi dengan kebutuhan runahiah. Maka bekalilah istri dan anak dengan keteladanan yang nyata dalam kehidupan ini. Bangunlah keluarga dengan pondasi tauhid yang kokoh. Contoh sederhana yang dapat kita lakukan yaitu paling tidak melakukan shalat berjamaah bersama keluarga, membaca alquran, membimbing keluarga untuk gemar melakukan sedekah dengan memberikan bantuan secara langsung kepada anak yatim, miskin dan orang tidak mampu lainnya. Hal semacam inilah terkadang sangat kita rindukan pada kehidupan umat muslim saat ini.
Motivasi Kemandirian Hidup
Selain dimensi ketauhidan yang dapat kita petik didalamnya, shafa dan marwah dapat di jadikan sumber motivasi kehidupan manusia. Setelah Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya (siti Hajar dan Ismail) di lembah bakkah (Mekkah saat ini) untuk memenuhi perintah Allah. Siti Hajar kehabisan bekal kebutuhannya yaitu makanan dan minuman, dan bukan tidak ada alasan yang jelas mengapa Ibrahim berani meninggalkan keluarganya di lembah yang sangat tandus tersebut. Karena Ibrahim yakin bahwa istrinya selain beriman kepada Allah dengan sisi ketauhidan yang mapan, istrinya juga seorang yang tidak mau menyerah kepada sebuah keadaan, artinya siti Hajar adalah seorang wanita yang mampu berusaha dalam menopang sisi kehidupannya, meskipun suami tercinta tidak berada disisi. Hal ini dibuktikan oleh siti Hajar, ketika anaknya (Ismail) kehausan ia berusaha mencari sumber mata air berada di lembah yang amat tandus yaitu bakkah dengan mengelilingi bukit shafa dan marwah. Ia percaya bahwa doa yang didengar keluar dari lisan suami yang dimuliakan Tuhannya pasti terwujud dan pasti. Perhatikan firman Allah “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah tempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang suci, ya Rabb kami yang demikian itu agar mereka mendirikan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan berikanlah rizki mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur (QS. Ibrahim : 37)”. Peristiwa ini seharusnya menjadi sumber inpirasi bagi kehidupan kita, agar manusia tidak mudah terlena dengan keadaan yang ada. Kita harus membuktikan bahwa tidak selalu bergantung kepada manusia, namun hanya kepada Allah, kita harus berusaha dengan kemampuan yang kita miliki dengan catatan bahwa pondasi yang kita miliki benar-benar sudah kokoh (ketauhidan). Contoh Mencari pekerjaan kita harus memiliki kemapuan yang baik, bukan atas dasar nepotisme atau mengandalkan jalur saudara (baking) dan uang. Kemudian kita sering melihat ada seorang anak masih selalu bergantung terhadap orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya sampai sudah berumah tangga hingga memiliki beberapa anak, padahal orang tua sudah mendidik dan meyekolahkannya. Begitu juga seorang istri selalu bergantung kepada suaminya, sebaliknya demikian suami bergantung pada istri yaitu contoh misal seperti pada saat suami mau makan harus istri yang mengambilkan, mencuci tugas istri, membersihkan rumah harus istri, sehingga apabila istri meninggalkan rumah untuk beberapa waktu atau hari, rumah sudah berantakan. Dan masih banyak contoh konkrit lainnya, kita tekadang masih bergantung pada orang lain, yang seharusnya kita yakin dan bergantung kepada Allah dan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu jadikanlah peristiwa yang di alami oleh siti Hajar mengelilingi bukit shafa dan marwah, menjadikan kita sebagai manusia yang tidak berpangku tangan pada siapapun dan menerima keadaan yang ada, akan tetapi kita harus menjadi orang yang memiliki kualitas kemandirian dalam kehidupan yang kita jalani ini.
Penutup
Semoga janji Allah menjadikan shafa dan marwah menjadi nilai syiar dalam kehidupan setiap umat dapat terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari, terlebih kepada jamaah haji yang langsung menyaksikan dan menjalankannya (ibadah syai) di bukit shafa dan marwah. Wallahu’alam
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sumatera Utara dan sebagai Wakil Ketua I Majelis Dikdasmen PWM SU