Tio Ciu Pan

SUKU Tio Ciu yang berada di pedalaman Tiongkok dan yang sebagian kini sudah berbaur dengan Warga Sumatera Utara percaya dan meyakini bahwa pada Bulan ke 7 hari 17 Kalender China juga haruslah diisi dengan persembahan sakral yang ditujukan kepada para Dewa Langit, persembahan itu berbentuk doa dan sembahyang.

Lambat laun seiring berjalannya waktu segala persembahan, adat istiadat dan kebudayaan yang tadinya berupa catatan sejarah, menjelma dan disulap menjadi sebuah pertunjukan agar para generasi penerus bisa mengingat sejarah dan kebudayaan Suku Tio Ciu yang lebih dikenal dengan pertunjukan Tio Ciu Pan.

Tio Ciu Pan setelah 50 tahun "absen" menghibur warga Tionghoa di Indonesia akibat gejolak orde lama, kini mulai kembali menunjukkan eksistensinya didalam kancah seni budaya. Tepatnya 11 tahun silam, kesenian wayang orang yang diperankan oleh belasan seniman asli Tiongkok ini kembali masuk ke wilayah Indonesia melalui Vihara Buddhi Dharma yang berada di Tandem KM 31 arah Stabat, Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Misi mempertahankan cerita para leluhur, dan sejarah bangsa Tiongkok di masa lampau dikemas kedalam seni pertunjukan dan diharapkan dengan cara inilah mereka bisa menceritakan kembali kepada anak-cucu Suku Tio Ciu. 

Pembina Vihara, Rudi Susanto saat ditemui Analisa menyebutkan puluhan seniman yang terdiri dari berbagai usia dan latar belakang pendidikan ini sengaja dilatih dan dibawa ke Sumatera Utara untuk mementaskan pertunjukan selama 23 malam dan membawakan 23 judul pertunjukan.

Dari 23 cerita yang diperankan, menurutnya ada lima judul cerita yang dianggap sangat menyentuh dan sangat berkenaan dengan keseharian aktifitas kita sehari-hari sebagai manusia, yakni Justice Bao yang menceritakan mengenai hukum dan tata negara, Go Ce Khua Sui bercerita mengenai Lima Putra panglima, Ti Siau Kheng, Pi Kia Sang Cong Nguang, bercerita mengenai ayah dan anak sebagai pemimpin, dan Wangti Cinbo mengenai Raja yang mencari Ibunya.

"Ini sebenarnya lebih kepada kita menghargai para leluhur, kalau bahasa kita menyebutnya "Film Dewa". kita berharap tiap tahun kedepannya acara ini bisa terus terselenggara, " ucap Rudi.

Setelah digelar 23 malam, pada malam terakhir pertunjukan diisi dengan sembahyang Dewa Sam Chong Un dan ditutup dengan doa dan pembagian sembako kepada fakir miskin di lingkungan setempat. (Qodrat Al-Qadri)

 

()

Baca Juga

Rekomendasi