Oleh: J Anto. Menjadi Soekarnois tak selalu identik dengan menjadi anggota atau kader dari partai politik atau ormas yang mengusung ideologi Soekarnoisme. Seorang yang disebut Soekarnois juga tak mesti pernah memiliki pertalian politik saat presiden pertama itu berkuasa. Bahkan tak mesti pula berasal dari trah biologis Soekarno itu sendiri.
Prof. Dr. Go Ban Hong jelas bukan seorang Soekarnois dalam arti ideologis seperti itu. Ia hanya seorang Guru Besar. Seorang ilmuwan yang mendedikasikan sebagian besar hidup dan ilmunya untuk pertanian, khususnya bidang penelitian ilmu tanah untuk pengembangan pertanian pangan.
Sebuah pilihan karier yang tergolong "sunyi" (dari publikasi media massa), "kering" (dari materi), namun mampu menerjemahkan idealismenya sebagai ilmuwan.
Jalan hidup Profesor Go, begitu ia dipanggil, setidaknya memang dipengaruhi oleh Soekarno. Lebih tepat lagi, ajaran Soekarno tentang kemandirian pangan. Perhatian pada isu ketahanan pangan inilah yang menautkan keduanya.
Tentang pikiran Soekarno terhadap pentingnya ketahanan pangan bagi suatu negara, menurut Andreas Maryoto (Maryoto: 2009) bisa diilacak dari tiga babak hidup Soekarno ketika menghadapi krisis pangan, mulai dari Soekarno muda hingga diturunkan sebagai presiden pada tahun 1967.
Sejumlah tulisan Soekarno muda yang terangkum dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi menyiratkan kegelisahan Soekarno terhadap rakyat yang kesulitan pangan pada tahun 1932-1933. Salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah, "Mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?"
Bagi Prof Go sendiri, pengabdiannya terhadap pembangunan pertanian pangan bermula dari peristiwa 27 April 1952. Saat itu di Kampung Baranang Siang, Bogor, sebuah sejarah tengah ditoreh di lapangan pendidikan Indonesia. Presiden RI Dr. Ir. Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kelak berubah menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB).
Ada pidato Soekarno di situ. Pidato yang telah mengubah jalan hidup seorang Go Ban Hong, salah satu mahasiswa yang ikut menyaksikan acara itu. Ban Hong muda waktu itu merasa larut dalam alam pikiran Soekarno yang bicara tentang pentingnya penyediaan pangan bagi rakyat. Menurut Soekarno kecukupan pangan menentukan "mati hidupnya bangsa kita."
Dan masalah pangan menurut Soekarno hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang yang sungguh memahami persoalan pangan, berlatar belakang pendidikan pertanian dan pangan. Soekarno mengetuk kesadaran pemuda Indonesia agar menempuh pendidikan pertanian di Bogor karena Indononesia saat itu sangat kekurangan kader di lapangan pertanian dan peternakan.
Pidato Soekarno itu rupanya mampu menggerakkan hati Ban Hong yang saat itu tengah menunggu untuk diwisuda pada tahun berikutnya 1953. Ban Hong mengaku terkesan dengan seruan Bung Karno yang menegaskan pentingnya pertanian tanah kering atau peladangan. Seruan itulah yang memantapkan hatinya mendalami ilmu tanah dan menekuni profesi peneliti ilmu tanah.
Keputusan Ban Hong mengabdi pada ilmu tanah selain didorong keinginan kuat mewujudkan visi Bung Karno tentang kecukupan pangan juga didorong oleh munculnya kesadaran filosofis dirinya bahwa hidup mati manusia berada di atas tanah. Karena itu, pendalaman, pengembangan, dan penerapan ilmu tanah sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Peneliti Tanah
Begitulah lakon hidup Go Ban Hong akhirnya mengantarkannya sebagai ilmuwan tanah yang dikenal kritis terhadap strategi pembangunan pertanian Orde Baru.
Tahun 1953, setelah lulus Sarjana Pertanian, ia mulai kerja di Balai Penjelidikan Tanah, Bogor, tepatnya mulai tanggal 31 Januari 1953. Ban Hong bekerja di lembaga itu dengan tujuan ingin mendapatkan gelar doktor. Sejak itu menjadi staf sampai kemudian diangkat sebagai Direktur Lembaga Pusat Penelitian Tanah dan Pemupukan sampai tahun 1971, dan terakhir tahun 1976 sebagai tenaga ahli Direktur Jenderal Pertanian, Departemen RI.
Tahun 2008, Profesor Go mendapat penghargaan Anugerah Sewaka Winayaroha dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan RI..
Pengabdiannya di Lembaga Pusat Penelitian Tanah dan Pemupukan Bogor, menjadikan Profesor Go menjadi ilmuwan peneliti tanah yang dikenal kritis terhadap sejumlah kebijakan pembangunan pangan ala Orde Baru.
Kelelahan Tanah
Ia misalnya dikenal sebagai penggagas konsep fenomena kelelahan tanah. Sebuah kritik pedas Prof Go terhadap strategi intensifikasi lahan pertanian untuk mencapai target swasembada pangan. Padahal menurut Prof Go, banyak kondisi tanah di Indonesia yang sakit alkibat a terus-menerus terkuras dijadikan alat untuk memroduksi beras.
Lewat berkali penelitian, ia menemukan bahwa tanah yang subur di Indonesia semakin langka. Daya produksi pangan semakin mundur. Humus tanah semakin terkuras karena irigasi dan pupuk kimia. Akibatnya tanah memadat dan mengeras. Karenanya ia menyarankan pemberian bahan baku kompos, pupuk kandang atau pupuk hijau, masa istirahat tanah diperhatikan, serta mengurangi kebutuhan air irigasi yang berkelebihan. Semua itu harus diperhatikan aggar keuburan tanah terjaga.
Menolak Alih fungsi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
Profesor Go juga merupakan salah seorang ilmuwan yang melontarkan kritik pedas saat pemerintah Orde Baru menelorkan kebijakan "menyulap" lahan gambut di Kalimantan Tengah demi memenuhi ambisi swasembada beras lewat strategi ektensifikasi. Kala itu ia mengingatkan pemerintah bahwa hutan gambut di Kalimantan Tengah merupakanhutan tropika basah gambut omrogen, yang mempunyai ciri hidup dari air hujan, miskin zat hara, dan di luar pengaruh pasang surut lautan.
Gambut jenis menurutnya menjadi penyangga naik turun air sungai dan danau sehinggga tanah pemukiman terhindar dari banjir dan kekeringan. Menurutnya hutan gambut di Palangkaraya lebih cocok dijadikan suaka margasatwa langka. Air gambut menjadi tempat hidup berbagai ikan hias yang nilai jualnya tinggi.
Tetapi peringatan tersebut tak digubris pemerintah, yang tetap menytulap hutan gambut tersebut sebagai pengganti lahan padi yang hilang akibat pesatnya pembangunan. Akibatnya terbukti selama periode 1996-2009 hasil panen padi tak seperti diharapkan, bahkan saat musim kemarau tahun 2009, terjadi kebakaran hebat yang membuat masyarakat harus mengungsi dan semakin susah hidup mereka.
Sejak tahun 1970-an ia merupakan ilmuwan yang rajin mengampanyekan agar masyarakat tidak terlalu bertumpu pada beras sebagai sumber karbohidrat. I a membuktikan diri bisa hidup awet muda dan bugar tanpoa mengonsumsi beras sejak tahun 1970. Sarapan pagi Profesor Go cukup dengan pisang, sedangkan siang dan malam ia mengonsumsi umbi-umbian.
Sikap kritisnya terhadap kebijakan pembangunan pangan pemerintah, sempat menyulitkan kariernya sebagai PNS.
Ia pernah dicopot dari jabatan sebagai Direktur Lembaga Pusat Penelitian Pertanian dan diasingkan ke luar negeri.
Tolak Ganti Nama
Identitas ke-tionghoa-nnya juga sempat membuat pengangkatannya sebagai PNS terganjal. Tahun 1961 saat Ban Hong diberi amanah sebagai Direktur Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan di Bogor karena prestasi Ban Hong dalam melakukan sejumlah riset yang telah dilakukan, diantaranya penyelidikannya tentang neraca hara mineral dari padi sawah (1957) dan memelopori riset tentang pemupukan NPK untuk meningkatkan hasil panen padi di dataran rendah (1959), namun baru tahun 1963 sebagai pegawai tinggi petanian keluar.
Profesor Go lahir 21 Oktober 1925 di Gorontalo. Prof. Andi Hakim Nasution menilai Prof Go sebagai orang yang amat cerdas, di mana thesis S1-nya (tahun 1950an) hanya berjumlah 12 lembar, tapi daftar pustakanya tidak kurang dari 100.
Tahun 1967 saat pemerintah mmenerbitkan kebijakan ganti nama Indonesia bagi warga Tionghoa di Indonesia, Prof Go menolak tegas kebijakan tersebut. Ia siap menanggung resiko kehilangan status pegawai negri dan jabatan yang disandangnya waktu.
Bagi Profesor Go, nama adalah pemberian orang tua. Pada nama seorang anak juga terkandung doa kedua orangtuanya. Mengganti nama Tionghoa dengan alasan nasionalisme baginya juga dinilai absurd dan menggelikan. Nama “Indonesia asl” menurut penilaiannya sesungguhnya tidak pernah ada. Kenapa? Karena orang Indonesia terdiri dari beragam suku.
Pada tanggal 24 Januari 2008, Pak Go mendapat penghargaan Anugeraha Sewaka Winayaroha dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia. Tak lama setelah itu Profesor Go pensiun pada 21 Mei 2008. Ia menikah dengan Tji Sok Lan pada 26 Desember 1955.
Membaca otobiografi Prof. Dr. Ir. Go Ban Hong yang diberi judul “Kaya Kerja Otot, Miskin Kerja Otak”, kita akan mendapati gambaran tentang wujud rasa kecintaan seorang anak bangsa terhadap tanah airnya dengan memilih jalan karier di luar “kelaziman” stigma sosial terhadap mereka yang disebut Tionghoa.
Penulis bekerja di Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), Medan