Oleh: Anthony Limtan/Julihan Darussalam. Di penghujung tahun 2014 lalu, saya dan teman-teman memilih Aceh Tengah sebagai destinasi wisata yang kami jajali. Sebanyak 25 peserta dengan iring-iringan 5 mobil, kami begitu menikmati sepanjang perjalanan. Begitu mobil kami meninggalkan Besitang yang merupakan perbatasan Sumut- Aceh, ruas jalan yang kami lalui cukup mulus dan lebar. Arus lalulintas juga lengang, kondisi ini membuat kami begitu menikmati wisata akhir tahun yang kami sebut dengan Tour de Takengon.
Mungkin, Anda bertanya apa yang istimewa dinikmati di kota Takengon? Beberapa teman yang sudah belasan tahun lalu pernah ke daerah ini mengatakan, kota ini biasa-biasa saja. Tapi tungguh, itu kan cerita dulu.
Pasca konflik separitis GAM, kondisi keamanan Aceh Tengah, khususnya kota Takengon sudah jauh lebih baik dan kondusif. Aktifitas perekonomian yang umumnya didominasi para pendatang.
Kota ini memang sangat populer dengan kopi Gayonya, sehingga rasanya tidak sah kalau ke Takengon tidak menyeruput kopi Gayo. Demikian juga suasana kota begitu hidup, ada supermarket, pertokoan dengan arsitektur modern, kantor-kantor intansi pemerintah tertata juga cukup baik. Demikian juga untuk wisata kuliner, seperti restoran franchise juga hadir di sini yang menandakan kota ini menggeliat sepanjang hari menyambut wisatawan.
Soal kebersihan kota juga saya acungkan jempol. Taman-taman kota berhiaskan tanaman hijau yang menyejukkan mata, pulau jalan yang membelah dua jalur jalan umum juga tertata apik. Lampu penerang jalan bersinar terang di malam hari. Padahal, Takengon adalah sebuah ibukota kabupaten, namun mampu merias wajah kotanya lebih apik dari kota Medan yang beribukota Provinsi Sumatera Utara. Sepertinya, Dinas Pertamanan Kota Medan perlu juga blusukan studi banding ke kota yang Pendapatan Asli Daerahnya jauh lebih kecil kota Medan.
Gayo Highland
Kota Takengon juga punya landmark seperti kalimat yang bertuliskan Hollywood di Amerika. Di daratan tinggi, persisnya di sebuah bukit dapat kita lihat dari kota Takengon terdapat kalimat bertuliskan Gayo Hightland. Sedangkan dibawah bukit itu adalah Danau Lut Tawar yang membentang dengan luas 5.472 hektar dengan panjang 17 kilometer dan lebar 3,219 kilometer.
**
Perjalanan ke kota Takengon kami lakukan 25 Desember 2014. Sebelumnya, salah seorang rekan kami, Burhan Wibawa bertanya, apakah sepanjang jalan yang akan kami lalui aman? Soalnya dalam pemberitaan media, banjir melanda sebagian daerah Aceh, khususnya di Aceh Timur dan Aceh Utara.
Kami hanya berdoa dan berharap perjalanan kami lancar, namun tetap waspada dan berkordinasi dengan wartawan Analisa di sepanjang kota Kabupaten maupun kecamatan yang akan kami lalui.
Ketika sampai di Langsa, kami istirahat sekaligus sarapan pagi di sebuah restoran Jalan Islamic Centre. Tampak di beberapa sudut kota masih tersisa genangan banjir. Jalan hotmix yang tadinya mulus juga banyak yang terkelupas akibat gerusan banjir. Wartawan Analisa, di Langsa, Sudirman menginformasikan, pada 24 Desember 2014 genangan banjir di kota Peureulak sangat tinggi dan menghentikan aktifitas lalulintas di sana. Namun, pada 25 Desember air sudah agak surut.
Banjir
Ketika kami melewati kota ini yang jaraknya sekitar 47 kilometer dari Langsa, memang genangan banjir masih tinggi. Kalau kendaraan seperti sedan, sudah pasti ‘tenggelam’.
Titik rawan banjir kedua juga berhasil kami terobos ketika iring-iringan mobil kami memasuki kota Lhoksukon. Dalam catatan Analisa, kota ini yang paling parah diterjang banjir. Aktifitas perekonomian juga lumpuh total karena genangan air. Ketika kami lalui ketinggian banjir hampir mencapai satu meter. Dengan menarik nafas dalam-dalam sembari berdoa, iring-iringan mobil kami berhasil menerobos banjir di kota ini. Lampu depan mobil kami juga hampir terendam air.
Syukurlah...., mobil rombongan kami berhasil melewati titik rawan kedua yang merupakan medan tersulit yang akhirnya berhasil kami terobos sekitar pukul 17.00 WIB. Setelah melewati genangan banjir, wartawan Analisa di Lhoksukon, Marzuki melaporkan, begitu kami berhasil melewati banjir arus deras itu, genangan makin tinggi sampai mencapai 1,2 meter. Kondisi ini membuat lalulintas kendaraan bermotor tidak bisa bergerak sampai larut malam.
Sekitar pukul 18 WIB, kami tiba di kota Lhokseumawe dan di kota ini kami menginap satu malam. Segala keletihan dan rasa was-was sepanjang jalan kami jejali kami tumpahkan di kasur empuk hotel. Aspek petualangan benar-benar kami nikmati sepanjang perjalanan meskipun dalam kondisi cuaca yang kurang mendukung. Namun itulah seni dan indahnya adventure secara rombongan. Kenikmatan bukan selamanya pada tujuan wisata, tapi juga terdapat sepanjang jalan yang kami lalui.
**
Pagi sekitar pukul 10.00WIB kami sudah meninggalkan Lhokseumawe. Sebelum beranjak, saya lebih dahulu berkordinasi dengan wartawan Analisa yang berada di Takengon, Julihan Darussalam. Ia mengatakan, kondisi cuaca lembab dan gerimis agar tetap waspada sepanjang jalanan, beberapa dinding bukit juga ditemukan longsor, bahkan menurut warga setempat, kondisi sehari sebelumnya, jalan harus buka dan tutup karena beberapa ruang bebukitan longsor dan menutupi sebagian badan jalan.
Selama 3 jam perjalanan menuju Takengon, kami melewati jalan tanjakan berbukitan namun ruas jalan tetap lebar. Di sebuah desa sentra alpukat, bernama Desa Benar Meriah, Simpang Balek, kami istrirahat sejenak sembari mengamati pasar buah. Kami istirahat sembari mencicipi martabak di desa yang baru kali ini kami kunjungi.
Sekitar setengah jam sebelum tiba di kota Takengon, udara sejuk mulai menyergap. Panorama alam bukit barisan membentang cukup indah dapat kita tatap dari pusat kota. Nun jauh di atas sana terlihat Gayo Hightland.
Kesan pertama mencecahkan kaki di kota Takengon, kami semua begitu mengagumi penataan kotanya yang tampak bersih dan apik.
Sore itu sekitar pukul 15.00 WIB cuaca di Kota Takengon, agak mendung dan sedikit hujan. Rombongan kami disambut jurnalis Analisa Julihan Darussalam. Setelah makan siang di rumah makan Minang yang terletak di Simpang Lima, yang merupakan jantung kota Takengon, kami pun cek in di Hotel Renggali yang terletak di pinggir Danau Lut (laut) Tawar. Jarak hotel tempat kami menginap ke pusat kota sekitar 3 kilometer.
Setelah usai makan siang, kami pun bergerak menuju salah satu destinasi tempat penyimpanan benda-benda sejarah asal daerah itu. Namanya Museum Gayo, museum ini merupakan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Aceh Tengah.
Dalam museum yang kontruksinya tahan gempa itu, menurut penjaganya, Hery (28), menyimpan berbagai koleksi benda-benda dan corak budaya serta sejarah yang digunakan oleh masyarakat Gayo. Terdapat juga foto-foto peristiwa gempa berkekuatan 6,2 SR yang terjadi 2 Juli 2013 di daerah itu.
Manusia Prasejarah
Namun yang cukup menarik perhatian pengunjung yakni, terdapatnya casting kerangka manusia prasejarah berikut alat - alat yang digunakan yang diperkirakan telah berumur 7400 tahun yang lalu. Kerangka manusia digali oleh Tim Balai Arkeologi (Balar) Medan Sumatera Utara dan ditemukan di Ujung Karang dan Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan. Temuan ini semakin dikuatkan adanya kedekatan antara masyarakat Gayo dengan kerangka manusia prasejarah itu melalui hasil tes DNA.
Menurut Ketua Tim Balar, Ketut Wiradnyana, bangsa Gayo pada masa itu juga sudah memiliki peradapan, ini terbukti dengan adanya temuan anyaman, gigi yang rapi dan penguburan dengan cara kedua kaki dilipat dan bagian dada ditindih dengan batu besar.
Setelah puas melihat dan mengambil beberapa foto serta banyak mendapat informasi penting tentang Museum Gayo, rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi penemuan manusia prasejarah di Teluk Mendale, Gua Puteri Pukes di Kampung Mendale Kecamatan Kebayakan dan wisata Ujung Paking, Kecamatan Bintang. Kami juga meninjau lokasi Gua Peteri Pukes berjarak 4 kilometer dari Kota Takengon tepatnya sebelah Utara jalan lingkar Danau Lut Tawar.
Goa Puteri Pukes
Kami juga mengunjungi Goa Peteri Pukes. Cerita Puteri Pukes yang ada di Gayo dipahami sebagai cerita rakyat secara turun temurun. Dalam gua terdapat sebongkah batu yang dipercaya sebagai penjelmaan seorang puteri, terdapat sumur, kendi, tempat duduk untuk pertapaan, alu tumbukan, alat pemotong dari batu, batu yang menyerupai manusia dan binatang. Sayangnya ada beberapa bagian gua luar dan dalam gua yang telah ditambal semen sehingga terlihat kurang begitu asri lagi.
Kepada pengunjung, Abdullah (51) penjaga gua menceritakan kalau batu penjelmaan tersebut setiap hari menangis dan lama kelamaan kian membesar. Sementara sumur setiap tiga bulan sekali mengering, saat sumur penuh airnya sering diambil untuk obat oleh orang pintar. Sedangkan kendi pernah dicuri dan dikembalikan lagi karena pelakunya merasa gelisah, sementara orang dahulu juga melakukan pertapaan dalam gua tersebut. Adapun alat pemotong sebagai pisau terbuat dari batu merupakan peninggalan manusia yang ditemukan dalam goa.
Warga Gayo menganggap bahwa cerita legenda Puteri Pukes memang pernah terjadi di jaman dulu
Setelah puas melihat-lihat dalam Goa Puteri Pukes, kami pun memanfaatkan waktu yang kian senja untuk mengnjungi lokasi wisata Ujung Paking di Kampung Kelitu Kecamatan Bintang. Disana kami hanya mengambil beberapa foto dengan latar belakang Danau Lut Tawar saat senja hari. Sekembali dari sanakami menyeruput kopi sejenak di Cafe ASA Blang Kolak I, Kecamatan Bebesen.
Pantan Terong
Dua hari bertandang ke Takengon betul-betul kami manfaatkan untuk mengunjungi sejumlah objek wisata. Kami juga mengunjungi Puncak Pantan Terong yang terletak di Kecamatan Bebesen pada ketinggian sekitar 1600 mpdl. Kondisi jalan menuju Pantan Terong tidak nyaman karena banyak lubang dan sempit, namun dapat terobati setelah sampai dipuncaknya. Hampir seluruh kota Takengon dan Danau Lut Tawarnya terlihat dengan jelas dari ketinggian itu. Di sana terdapat bangunan rumah kayu berbentuk vila yang dipersiapkan khusus untuk pengunjung.
Kami sengaja berlama-lama menatap keindahan alam di puncak Pantan Terong, udaranya sangat dingin dan bila sore hari diselimuti kabut tebal. Masyarakat lokal di Pantan Terong memanfaatkan lahan untuk menanam wortel, kubis dan kentang. Kami pun mengabadikan moment indah itu hingga berulangkali untuk kenang-kenangan.
Kami juga menyempatkan menuju bukit Gayo Highland tempat terpasangnya landmark kota Takengon. Dari ketinggian ini, kami dapat melihat seluruh kota Takengon dari ketinggian. Angin berdesir-desir. Nun jauh di sana bukit barisan, Danau Lut Tawar, suasana kota dan pertapakan sawah warga setempat.
Kami juga melihat perkebunan nenas warga di sebuah pebukitan. Sejenak kami mencicipi nanas Toa yang rasanya sangat manis itu.
Sebelum kembali ke Medan, kami bertemu dengan Wakil Bupati Aceh Tengah, Drs. H Khairul Asmara. Selain banyak mendapat informasi agenda wisata yang disiapkan Pemkab setempat menyambut wisatawan, kami juga dijamu makan siang dengan makanan khas ala Gayo. Intinya, H. Khairul Asmara mengatakan, Aceh Tengah sedang giat-giatnya mempromosikan destinasi wisata favoritnya.