Oleh: Parada Muqtadir Siregar
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015 layaknya buah simalakama, bisa menjadi peluang sekaligus bencana bagi sektor pertanian, khususnya hortikultura. Sebab, buah-buahan dan sayuran dari negara tetangga akan lebih banyak masuk ke pasar Indonesia.
MEA bisa menjadi momok bencana. Ternyata ini bukan karena sebab atau alasan yang kuat. Sebab, sebelum diberlakukannya pasar bebas ASEAN saja sudah banyak produk hortikultura dari mancanegara yang bertubi-tubi masuk dari mulai ritel modern hingga ke pasar-pasar tradisional. Jika hal ini tak mampu disikapi secara matang bisa menjadi sebuah maha bencana bagi para petani buah lokal. Apalagi kalau nanti tidak ada hambatan tarif sama sekali, pasti makin banyak yang masuk.
Beberapa produk hortikultura dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam sudah terlebih dahulu menikmati hasil yang cukup memuaskan dari pasar Indonesia, melalui produk horti kebanggaan mereka, semisal jeruk, pir, apel, wortel, durian, mangga, kelengkeng, bawang putih, bawang merah, hingga cabai. Persaingan antara produk hortikultura lokal dan impor yang terjadi selama ini cukup sengit di pasaran. Sebab, beberapa harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
Jika berkaca dari kuantitas penduduk, tidak bisa dielakkan bahwa penduduk Indonesia cukup besar diantara negara-negara ASEAN, sehingga tepat sekali menjadi pasar yang seksi bagi negara produsen hortikultura. Dengan begitu, bisa dipastikan banyak produk hortikultura dari Thailand, Vietnam, atau negara-negara ASEAN lain yang merengek ingin segera masuk ke Indonesia di era MEA.
Jumlah penduduk Indonesia memang paling subur di ASEAN. Itu merupakan umpan yang begitu tepat untuk menyulut berdatangannya buah-buah impor dengan embel-embel harganya yang begitu ramah untuk dapur rumah tangga.
Namun, bukan berarti itu semua harus menjadi alasan kita menakuti MEA, karena pada hakikatnya MEA juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia. Sebab, era tersebut membuka jalan bagi Indonesia untuk memasarkan produk hortikultura yang bersaing ke negara lain. Dengan begitu, pasarnya tidak terbatas dilingkup domestik, tetapi juga regional.
Karena sampai saat ini, Indonesia masih bisa diandalkan perihal ekspor manggis, mangga arumanis, mangga gedong gincu, salak, nanas dalam bentuk kalengan, dan pisang. Alpukat dan sirsak pun tak kalah potensialnya,
Untuk sekarang ini kita boleh berbangga diri, karena saat ini buah lokal masih mendominasi pasar domestik. Buah impor dari berbagai jenis hanya mampu mengisi sekitar 5-7 persen pasar dalam negeri. Belum terlalu banyak. Karena tidak bisa dibohongi bahwa lidah orang Indonesia juga masih suka buah-buahan lokal yang memang enak walau sedikit lebih mahal.
Namun, di era MEA 2015 nanti, kita tidak bisa hanya berpangku tangan terhadap rasa enak yang tak luput dari embel-embel cinta produk lokal. Kedepannya perlulah meningkatkan daya saing produk hortikultura nasional seperti buah-buahan dan sayur. Dengan begitu, pangsa pasar produk hortikultura lokal tidak tergerus sejadi-jadinya dikarenakan masuknya hortikultura asing. Salah satunya dengan teknologi budi daya yang baik. Mulai bibit, pengolahan lahan, pupuk, hingga panen.
Harga Tinggi, Konsumsi Rendah
Keadaan pertumbuhan konsumsi buah nasional terbilang berjalan lambat. Tercatat, konsumsi buah per kapita per tahun hanya 45 kilogram (kg). Angka itu naik 10 kg saja per kapita setiap tahun bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Padahal, idealnya konsumsi buah mencapai 75-80 kg. bukanlah tanpa sebab semua itu bisa terjadi, bagaimana bisa produksi produk horti meningkat, bila kian hari lahan pertanian disulap menjadi bangunan beton pencakar langit.
Tingginya harga buah lokal memang merupakan persoalan tersendiri. Misalkan, harga apel lokal jauh lebih mahal ketimbang harga apel impor. Salah satu penyebabnya, produksi buah lokal tidak bisa mencapai economy of scale. Yakni, biaya per unit menurun sejalan dengan makin bertambahnya produksi.
Saat ini produksi buah lokal menggantungkan petani mikro dengan luas lahan terbatas. Agar bisa kompetitif, budidaya hortikultura tidak bisa hanya mengandalkan satu hektare, karena minimal harus lebih dari sepuluh hektare. Dengan begitu, cost bisa turun. Selain tidak efisien karena digarap petani yang berbeda-beda, kualitas produk menjadi tidak seragam. Makanya, buah lokal memungkinkan tidak lolos sortir.
Meski saat ini Indonesia minim investor yang menanamkan modal di sektor hortikultura, tidak berarti perkebunan komersial tidak bisa dikembangkan. Karena sejatinya untuk meningkatkan suplai buah lokal, perlu dukungan pemerintah. Terutama menyangkut benih, pupuk, infrastruktur, dan tanah. Tapi yang dirasakan petani saat ini, uluran tangan pemerintah sangat minim sekali didapatkan.
Memahami secara keseluruhan kelebihan dan kekurangan buah lokal dibandingkan buah impor dapat membuat kita semakin mengerti bahwa buah yang diproduksi di dalam negeri pun mempunyai nilai lebih jika dibandingan dengan buah impor. Tetapi, ada juga kekurangan dari buah lokal yang harus kita ketahui sehingga kita tidak akan mendapatkan dampak negatif dari buah yang kita konsumsi. Bukan hanya itu, buah-buahan yang mengandung nutrisi seperti vitamin dan mineral tinggi juga perlu dikonsumsi untuk menunjang kesehatan, entah dari mana pun ia berasal, produk lokal atau impor. Tetapi, terkadang ada beberapa jenis buah yang memang tidak dapat hidup dengan baik di Indonesia karena iklim yang tidak cocok. Lalu, apa sajakah yang perlu anda ketahui tentang buah lokal dan buah impor?
Dengan semakin terbukanya perdagangan bebas, maka buah-buahan pun kini banyak yang diimpor dari luar negeri. Bagi konsumen, tentu ini menyenangkan karena harganya dapat jauh lebih murah dibandingan buah lokal. Namun bagi petani, keberadaan buah impor justru dapat mematikan dan melumpuhkan usaha mereka karena mereka harus bersaing dengan buah impor yang harganya jauh lebih murah dibandingkan buah yang mereka jual. Sebenarnya, ada beberapa kalangan yang masih merasa enggan untuk mengkonsumsi buah lokal karena merasa gengsi. Satu hal yang perlu kita tahu adalah bahwa negara kita adalah negara agraris dan tentu saja sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah petani. Buah-buahan sebagai satu komoditas yang ditanam di dalam negeri terkadang belum dapat bersaing secara harga sehingga konsumen menjadi lebih tertarik untuk melirik buah impor. Walaupun sebenarnya, buah lokal pun tidak kalah dalam hal rasa. Hal ini disebabkan karena negara kita beriklim tropis dengan tanahnya yang subur sehingga dapat menghasilkan buah yang rasanya jauh lebih kuat bila dibandingan dengan buah impor. Jadi, kelebihan dan kekurangan buah lokal dibandingkan buah impor dapat dijadikan pegangan bahwa kita pun sebenarnya mampu menghasilkan buah berkualitas yang tidak kalah dengan buah dari luar negeri.
Buah Impor tidak Dapat Ditanam di Indonesia
Ada berbagai jenis buah yang memang tidak dapat ditanam di negara kita berkaitan dengan tanah dan iklim yang tidak cocok. Misalnya buah pear, kurma, dan kiwi. Jadi buah-buahan impor memang masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan buah yang terus melonjak dan karena kita tahu manfaat buah tersebut untuk kesehatan. Tetapi kini, ada banyak buah impor yang sebenarnya dapat tumbuh di Indonesia, hanya saja impor ini masih dilakukan karena kita masih bergantung dengan negara lain dan juga karena petani kita masih belum bisa memenuhi permintaan dalam negeri, seperti buah apel, jeruk, mangga, jambu, dan masih banyak lagi. Sebenarnya, buah lokal juga tidak kalah bila dibandingkan dengan buah impor dari segi kualitas dan rasa, hanya saja dewasa ini, konsumen sekarang lebih gemar untuk membeli buah dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan buah lokal yang biasanya harganya sedikit mahal. Jadi, semuanya kini bergantung kepada kebijaksanaan pemerintah dan petani dalam menyediakan kebutuhan buah dalam negeri setelah konsumen tahu tentang kelebihan dan kekurangan buah lokal dibandingkan buah impor.
Pemerintah berencana memutus rantai yang panjang dalam tata niaga buah-buahan di Indonesia. Panjangnya proses tata niaga, terutama dalam bidang transportasi membuat buah lokal kalah bersaing dengan buah impor. Persoalan transportasi dalam pendistribusian buah lokal menjadikan harga buah menjadi mahal. Ini yang menjadikan buah lokal kalah bersaing, karena buah impor dari sisi harga lebih murah.
Permasalahan lain yang membuat buah lokal kalah bersaing dengan buah impor ialah persoalan kontinuitas suplai buah, di mana buah impor mempunyai penanganan pascapanen dan store coverage sehingga bisa menyuplai sepanjang tahun. Padahal dari sisi kualitas, buah lokal jauh di atas buah impor. Nah, sampai saat ini kita belum mampu melakukan itu. Persoalan pascapanen ini juga perlu perhatian. Untuk itu, selain memutus rantai tata niaga perlu pula penanganan pascapanen. Maka, perlu ada penelitian bagaimana buah-buahan itu bisa ada sepanjang tahun, agar segenap permasalahan yang kerap menghinggapi petani kian teratasi, yang pada akhirnya produksi meningkat dan petani Indonesia sejahtera, Indonesia pun kian berdaulat.***
* Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Pertanian UMSU