Oleh: Heru Maryono. Kata simbol (lambang) berakar dari Symbolon dan Symballum. Keduanya didefinisikan batu atau koin dipotong menjadi dua bagian. Setiap potong disimpan orang yang berbeda. Di antara keduanya memiliki ikatan saudara kandung, sahabat atau ikatan lainnya. Misal, merasa senasib dan seperjuangan. Ketika berpisah, setiap potongannya menjadi tanda pengikat.
Kisahnya diceritakan kepada keturunannya. Ketika anak, cucu atau cicitnya berinisiatif menjumpai pihak lain, dibawalah potongan batu atau koin dimaksud. Saat bertemu dan ternyata cocok batas pemisah batu atau koinnya, ikatannya terbina hingga antar generasi.
Peran Symballum secara langsung berkaitan dengan kata simbol yang diartikan makna ke dua. Sebagai contoh, mayat yang sudah lama dikubur. Bila dibongkar kuburannya akan tersisa tulang-tulang dan tengkoraknya.
Ketika tengkorak digambarkan dan ditambahkan dua tulang menyilang membentuk tanda ’x’ di bawahnya, maknanya berubah menjadi tanda peringatan berbahaya atau mematikan. Sama berbahayanya kisah bajak laut. Gambar tengkorak juga menjadi simbolnya. Bedanya, keberadaan tulang yang menyilang berada di belakang tengkorak. Dengan kata lain, tertutup gambar tengkorak. Keberadaannya dalam lukisan, seperti dijumpai dalam karya Don Maitz, berjudul Forty Thieves.
Tengkorak itu menjadi contoh karakter representatif. Selain itu juga dijumpai karakter geometrik. Misalnya tanda ’T’ (lingkaran dengan garis horizontal di tengah). Digunakan sebagai simbol untuk menyatakan dilarang masuk.
Dari rumpun ini, dibedakan antara bentuk representatif dan geometrik. Bentuk representatif disebut allegoric, sedangkan geometrik disebut simbolik. Allegoric juga disebut personification symbol. Di dalamnya termasuk bentuk kombinasi. Misalnya kombinasi manusia dan kuda menjadi Centaur.
Sosok ini rekaan bangsa Yunani Kuno untuk melambangkan agresivitas bangsa Persia. Tampilannya dalam lukisan, seperti dijumpai karya Boris Valejo, berjudul Centaur. Bila sosoknya memegang panah, keberadaannya disebut Centaur Sagittarius. Contoh dalam lukisan, seperti dijumpai karya Johfra Bosschart, berjudul Jupiter Rules Sagittarius.
Kata Sagittarius berakar dari kata sagitta. Dalam bahasa Latin artinya panah. Zaman sekarang maknanya telah beralih menjadi simbol bintang Sagittarius dalam Astrologi. Keberadaannya untuk meramalkan nasib seseorang yang lahir dalam naungan bintang dimaksud.
Kombinasi representatif dan geometrik dijumpai pada penempatan lingkaran (halo) di atas kepala manusia. Tujuannya untuk melambangkan manusia suci. Sebagai contoh, seperti dijumpai dalam lukisan Fra Lippo Lippi, berjudul Adoration.
Penerangan sangat berharga saat listrik padam. Dapat mengakibatkan bencana kebakaran, juga menjadi pilihan untuk melambangkan sesuatu dalam lukisan. Benda yang menjadi penerang dimaksud adalah lilin. Bermula dari batang lilin yang panjang. Ketika dinyalakan berangsur-angsur memendek. Pada batas akhir, lilin pun habis. Diikuti dengan padamnya api penerang.
Secara simbolik, rangkaian prosesnya dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan. ”Ingat, kelak kamu akan mati juga”. Penyampaian pesan ini dalam lukisan disebut Memento Mori. Sebagai contoh, seperti dijumpai dalam lukisan Georges de la Tour, berjudul the New Born Child. Dalam lukisan terlihat seorang nenek memegang penerangan lilin untuk menerangi seorang ibu muda menggendong bayi di pangkuannya.
Sekilas lilin hanya sebatas penerang. Bila dihubungkan dengan tema Memento Mori, banyak kisah yang dapat disampaikan tentang kandungan makna lukisan.
Pemanfatan objek di atas, juga disebut Effigy. Definisinya pemanfaatan objek berkonten simbolik untuk melibatkan efek emosional anggotanya. Terkait Memento Mori sebagai salah satu tema lukisan keagamaan, maka kata anggota dalam definisi Effigy dapat ditafsirkan menjadi pemeluknya.
Mengonkritkan sesuatu (dari konsep Memento Mori menjadi lilin) juga disebut reifikasi (reification). Pilihan motif kotak-kotak baju yang dikenakan Jokowi saat berkampanye, juga dapat dijadikan contoh.
Prabowo tidak ketinggalan. Koalisi Merah Putih dibentuk. Garuda Merah digunakan sebagai simbol pengikat untuk mempersatukan partai-partai yang terhimpun di dalamnya. Secara emosional (sejalan dengan definisi Effigy), ikatannya benar-banar ampuh. Terbukti dengan terbentuknya koalisi permanen (spirit saat itu).
Pada akhir abad XIX muncul aliran senilukis dan dikukuhkan dengan nama Simbolisme. Aliran ini juga menampilkan karakter alegorik, Memento Mori dan effigy. Sebagai contoh, lukisan Odilon Redon berjudul Cyclops. Judul ini adalah nama makhluk mitologi bermata satu.
Sejalan dengan uraian di atas, keberadaannya dilukiskan sebagai figur alegorik. Personifikasi simbol yang disampaikan mengandung pesan berkaitan dengan tema Memento Mori. Tujuannya untuk mengingatkan.
”Bila semaunya melakukan seks bebas, kelak setelah mati akan menjadi penghuni neraka.” Cyclops yang kejam dan jahat, akan selalu mendampingi setiap saat. Mau?
Menakut-takuti untuk kembali ke jalan yang benar (agama), mencerminkan ciri effigy. Kepentingan Odilon Redon melukis tema seperti ini, karena beliau berkedudukan sebagai pemuka agama. Statusnya ganda, sekaligus merangkap peran kreator (senilukis) dan melahirkan Symbolism (Simbolisme). Tujuannya untuk mereaksi Realisme yang telah terkontaminasi pornografi akibat pengaruh Psikoanalisa.
Psikoanalisa lahir bersamaan dengan Realisme pada abad XIX. Ajarannya menyatakan. Perilaku manusia berlandaskan Id. Tersusun dari Eros dan Tanatos. Eros adalah dorongan seksual, sedangkan Tanatos perilaku agresif. Naluri id inilah yang mempengaruhi kemunculan Realisme Pornografi. Buktinya terlihat pada karya Gustave Courbet berjudul Sleep. Lukisan ini berkisah tentang lesbian. Lebih vulgar, lukisannya berjudul the Origin of the World. Menampilkan organ vital perempuan.
Reaksi Simbolisme sebatas moralitas dan etika. Memasuki abad XX, lahir lukisan abstrak (Modernisme Abad XX). Contoh lukisan abstrak murni dijumpai pada karya Piet Mondrian, berjudul Composition RGB. Kebangkitannya secara total mereaksi Realisme. Berlaku hukum absolut. Bila tidak dikehendaki muncul lukisan porno, secara total melukiskan objek apapun ditolak.
Di balik itu, tujuan utamanya mengikis habis Art Nouveau. Konsep imperialistik Art Nouveau yang menyerap artefak budaya koloni, dianggap memalukan bagi keagungan budaya Eropa. Dengan demikian, tidak akan ada lagi tiruan dari Timur (yang menjadi wilayah koloni). Seperti dijumpai tiruan Reog Ponorogo dalam karya Alphonse Mucha (seniman Art Nouveau), berjudul ”Salammbo”. Ironinya, (keagungan) budaya imperialistik (Eropa) yang menghisap kekayaan alam koloni bercirikan seperti yang dilakukan Art Nouveau.
Art Nouveau pun tamat riwayatnya dalam kancah Sejarah Senirupa Abad XX. Kebesarannya pada abad XIX seolah-olah tidak pernah ada. Salah satu bukti kebesarannya (kekuasaan imperialistik) dijumpai pada bangunan tua peninggalan zaman kolonial di kota Medan. Terlihat berderet dari Kesawan, hingga Kantor Pos. Balai Kota yang berhadapan dengan Lapangan Merdeka menjadi pusat perhatian. Mengikuti jejak Modernisme yang Anti Imperialistik, apakah seolah-olah juga dianggap tidak ada?
Fakta sebaliknya menunjukkan. Seperti tidak tergerus zaman. Bangunan Art Nouveau bernama Sagrada Familia, dibangun sejak Abad XIX, hingga sekarang (Abad XXI) belum selesai. Ulasannya telah ditulis Asmi TS, dalam artikel berjudul ”Sagrada Familia, Karya Agung Antoni Gaudi dari Barcelona”, di harian Analisa, 14 Desember 2014.
Art Nouveau (dan Art Deco) kelihatannya perlu ditambahkan untuk materi ajar ’Seni Budaya’ di sekolah. Dari SD hingga SMU. Sasarannya untuk upaya penyelamatan bangunan tua. Dengan asumsi, pengenalan sejak dini dapat memberi informasi seutuhnya tentang Art Nouveau (dan Art Deco).
Sebagai hasilnya, informasi tentang karakteristiknya akan sangat bermanfaat ketika berhadapan dengan realitas kondisi bangunan di kota Medan.
Tumbuhnya sikap empati (rasa ikut memiliki), akan mendorong hasrat untuk melestarikan. Tidak menutup kemungkinan. Hasrat berinovasi membangun yang baru juga akan tumbuh.
Kerangka analisisnya dapat merujuk identifikasi Ante Mortem (data-data sebelum wafat) dalam musibah. Dalam hal ini, (musibah yang menjadikan) kondisi kritis bangunan tua di kota Medan, diidentifikasi dengan karakter bangunan yang cocok. Tidak ada yang lain. ’Garis Keturunan’ yang cocok bersumber dari Art Nouveau (dan Art Deco).
Tidak terkecuali, lenyapnya Art Nouveau dalam perkembangan Sejarah Senirupa Abad XX. Perlu investigasi dicari akar persoalan. Temuannya dapat dirujuk untuk pengembangan yang baru.
Patut disayangkan, bila terjadi pengabaian konsep karakter visual bangunan tua di kota Medan. Padahal ada di depan mata dan menjadi bagian hidup sehari-hari. Tidak ada salahnya dipelajari untuk dijadikan materi ajar dalam Kurikulum Pendidikan sebagai Muatan Lokal.
Penulis, dosen senirupa Unimed