Oleh: M. Syamsul Arifin. Tidak terasa tahun sudah berganti. Tidak terasa juga tahun sudah berganti tapi indeks persepsi korupsi di Indonesia masih saja di bawah rata-rata indeks dunia dan negara ASEAN yang berada di angka 39. Transparency International pernah meluncurkan hasil indeks persepsi korupsi di Indonesia tahun 2014. Menurut lembaga ini, Indonesia mencapai peringkat ke-107 dari 175 negara dengan indeks 34. Posisi ini sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang berada di peringkat ke-114 dengan indeks 32.
Jika boleh jujur, prestasi itu masih jauh dari harapan kita bersama. Kita sudah bosan dengan penyakit yang satu ini yang-meminjam bahasa Busyro Muqoddas-secara perlahan merusak persendian negara yang tentu rakyatlah yang jadi korbannya. Kekayaan negara yang sebenarnya bisa sepenuhnya digunakan untuk membangun negeri dan mensejahterahkan rakyat Indonesia justru dimakan sendiri oleh para pejabat yang korup. Uang negara mereka gunakan untuk kepentingan pribadi.
Trias politika yang diharapkan mampu melakukan check and balances justru dibuat mandul akibat para pejabat yang bermental korup. Negara yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan mendasar rakyatnya justru abai. Rasa aman tinggal di bumi pertiwi ini seolah semakin mahal harganya. Janji mencerdaskan rakyatnya justru dilupakannya, padahal itu adalah janji kemerdekaan yang memang menjadi hak setiap rakyat untuk memperolehnya.
2015 Indonesia bebas korupsi, mungkinkah? Inilah pertanyaan yang bisa kita ajukan sebagai bahan evaluasi terhadap agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika presiden Jokowi pernah mengemukakan gagasannya untuk revolusi mental, maka kini janji itu kita tagih sebagai bentuk komitmen seorang pemimpin. Ada segelintir orang mengatakan bahwa revolusi mental adalah pencitraan semata, tapi menurut rakyat Indonesia terserahlah apa itu namanya. Yang terpenting adalah realisasi mewujudnyatakannya.
Jika penulis tanyakan pertanyaan itu kepada masyarakat, sebagian dari mereka mengatakan "itu semua tergantung dengan para pemimpinnya". Pernyataan itu bisa jadi ada benarnya. Ibarat tubuh manusia, kaki, tangan dan organ lainnya akan ikut dengan apa yang dikehendaki kepalanya. Jika kepala (baca: memori otak) menghendaki jalan maka kaki kanan dan kirinya akan melangkah dan organ lainnya pun akan ikut.
Namun demikian, pernyataan itu adakalanya kurang tepat, karena dalam masyarakat yang plural kebutuhan dan kepentingannya berbeda-beda. "Isi otak" manusia yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Sehingga ada manusia yang berprilaku ingin menang sendiri, rakus, dan lain-lain. Dalam konteks ini, pernyataan Thomas Hobes menemukan relevansinya. Dia menyebut manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Manusia seperti itu sebenarnya memiliki watak "serigala" tapi dalam bentuk lain. Perilaku korupsi yang terus menggurita adalah contoh perilaku hedonisme yang telah menjadikan koruptor sebagai "serigala" bagi manusia lainnya.
Ketua KPK Abraham Samad menuturkan, pemberantasan korupsi lebih banyak dilakukan dengan penegakan hukum kurang efektif karena kasus korupsi terus terjadi meski banyak tokoh publik, seperti anggota DPR, menteri dan kepala daerah, yang ditangkap dan diproses hukum (Kompas, 10/12/2014). Karenanya, izinkan penulis turut rembuk menyampaikan gagasan untuk memberantas korupsi di negeri tercinta ini.
Pertama, perlu meningkatkan kontrol sosial yang bisa menghentikan kecenderungan yang menyimpang dari ketentuan normatif hidup baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Sudah saatnya korupsi uang negara dipahami sebagai kekafiran baru. Jika gerakan ini disosialisasikan secara massif, niscaya gerakan ini akan menimbulkan perubahan yang signifikan, karena koruptor dianggap sama dengan kafir dan hukumannya dibolehkan untuk "dihukum mati".
Langkah pertama ini telah dilakukan oleh pemerintah Tiongkok dan terbukti makin berkurangnya koruptor secara signifikan. Buku berjudul "The China Business Handbook" telah memotret dengan lekap agenda pemberantasan korupsi di Tiongkok dan simplikasinya. Hingga tahun 2007 pemerintah Tiongkok telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Jika dihitung rata-rata per bulan sekitar 200 orang dan sekitar 7 orang per hari koruptor dihukum mati.
Kedua, meningkatkan sistem sosial yang dapat menghentikan kecendrungan-kecendrungan yang menyimpang dari ketentuan normatif hidup individual dan sosial manusia. Menurut Talcott Parsons (1902-1979), sistem sosial dilakukan dengan skema AGIL, yakni Adaptation atau adaptasi, Goal Attainment atau pencapaian tujuan, Integration atau integrasi, dan Latency atau pemeliharaan.
Ketiga, mematri mental para pejabat dengan mental bertanggungjawab. Jabatan itu ageman (bahasa jawa = pakaian). Kata ageman memiliki makna lebih dalam dari hanya sekedar pakaian. Ia sebuah keyakinan dan tradisi yang membuat seseorang berharga serta pantas dihargai, merasa percaya diri serta nyaman ketika bergaul dengan sesama. Tanpa ageman, seseorang akan merasa telanjang, malu pada dirinya dan orang lain. Dalam kajian psikologi, sehebat dan sepintar apapun seseorang ketika ditelanjangi di depan umum, maka kepercayaan diri dan martabatnya akan hilang seketika.
Jadi, siapa pun yang memiliki jabatan harus menjaga kehormatan diri dan merasa nyaman melaksanakan tugasnya. Jangan sampai kehormatan dan martabat sebuah jabatan dikorbankan hanya demi mengejar pangan atau kekayaan materi semata secara tidak wajar. Ini sama dengan berpakaian tetapi aib atau auratnya terbuka, membuat malu dan risih orang yang memakai atau melihatnya.
Keempat, sebagai langkah pencegahan untuk generasi muda, perlu diberikan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di lembaga pendidikan dan mengajarkan cerdas finansial. Mengajarkan PAK di lembaga pendidikan agar berdaya dan berhasil guna dalam misinya sebagai pendidikan koreksi budaya perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu metodologi penyampaian, materi, refrensi, dan evaluasi. Mengajarkan PAK itu penting, sebab sejatinya tugas pendidikan tidak semata-mata mengajarkan aspek kognitif, akan tetapi juga proses pembentukan karakter, mental dan spiritualitas yang moderat dan terbuka.
Para orangtua diharapkan mampu menyediakan waktunya untuk mendidik anaknya untuk cerdas finansial. Jika tidak, mereka akan begitu mudahnya menghabiskan uang orangtua dengan hal-hal yang tidak produktif dan kan terjebak pada hedonisme, pragmatisme, dan tidak piawai dalam mengelola uang.
Ini mungkin sangat sepele, tapi bagi perkembangan anak dan masa depan Indonesia mendatang bisa memberikan pengaruh positif. Sehingga diharapkan kelak ketika mereka sudah dewasa mampu mandiri dan jauh dari barang-barang korupsi.
Demikian, gagasan penulis sebagai rembuk untuk memberantas penyakit kronis ini. Besar harapan empat hal di atas bisa diterapkan sebagai langkah penindakan dan pencegahan makin merebaknya penyakit menyengsarakan rakyat Indonesia. Semoga tahun 2015 Indonesia benar-benar bebas korupsi. ***
* Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Yogyakarta.