Jangan Marah, Ini tentang Kencing

Oleh: YS Rat, SH. Jangan marah, ini tentang kencing. Kencing, merupakan satu di antara banyak kata yang akrab dengan keseharian makhluk ciptaan Allah – dalam kesempatan ini yang dimaksud manusia. Kencing, yang berarti buang air kecil atau berkemih, justru perilaku teramat manusiawi dilakukan manusia.

Bayangkan, sesakit apa rasanya seandainya Anda – tentu juga saya – tak bisa kencing? Jangankan selamanya, sehari saja tak bisa kencing, pastilah tak mengenakkan. Jadi, kencing sejatinya perbuatan nan positif.

Sebagai satu di antara banyak kata, kencing pun sesungguhnya tak masuk kategori tak laik ditulis maupun diucap. Kalau tak layak ditulis atau diucap, pastilah kata kencing tak diikutkan jadi “penghuni” Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional – Balai Bahasa.

Meski demikian, ada pengalaman berkenaan penulisan kata kencing yang direspons sebaliknya dan bahkan timbul penolakan terhadapnya. Ini dipicu puisiku berjudul “Perkututku Perkutut Urakan” yang kubuat 3 Januari 1983, di dalamnya berisi kata kencing. Berikut kutipannya:

Perkututku bengal

siang malam dia terbang

peluru mengancam

dia malah berkata

“tembaklah aku dari situ

aku akan kencing dari sini

dan kau akan mati!” (bait 4)

Orang-orang dusun berkata

“kau kencinglah terus ke sawah dan ladang kami

biar wereng-wereng pada mati

dan bayang kami tidak jadi patung” (bait 9)

Nafsu-nafsu liar berteriak

“kau akan kutembak dengan nuklir!”

tapi perkututku memang bengal

dia malah berkata

“tembaklah aku dari situ

aku akan kencing dari sini

dan kau akan mati!” (bait 11)

Beralasan ada kata kencing dan mereka anggap itu tak sopan, petinggi – saat itu – Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud) Kotamadya Tebing Tinggi tak mengizinkan aku membaca puisi itu di antara puisi-puisi yang akan kubaca pada pertengahan 1991 di Gedung Olahraga Tebing Tinggi.

Meski melalui berita sejumlah surat kabar muncul reaksi tak sependapat dari kalangan seniman terhadap kebijakan tak diizinkannya puisi itu kubaca, ditambah alasan sebelumnya sudah pernah dibaca di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, tepatnya pada 30 Desember 1989, petinggi Kandepdikbud Kotamadya Tebing Tinggi tetap pada pendiriannya. Jadinya, walaupun ada izin membacakan puisi-puisiku yang lain asalkan jangan “Perkutuku Perkutut Urakan”, kuputuskan sekalian tak usahlah aku baca puisi di Gedung Olahraga Tebing Tinggi.

Mengungkap ulang kisah 23 tahun lalu itu, sama sekali tak dimaksudkan untuk bernostalgia tentangnya. Melainkan, karena – entah mengapa baru sekarang disadari – tiba-tiba terasa ada yang menyentakbalikkan ingatan pada penggunaan kata kencing yang malah “diagungkan” oleh para praktisi dunia pendidikan. Terkait ini, semogalah Anda ingat pepatah; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Berisi kata kencing, pepatah itu bermuatan makna positif yang sekaligus sebagai pengingat bagi para guru – termasuk tokoh panutan orang banyak – agar tak menebarsuburkan kelakuan buruk. Sebab, kesalahan yang dilakukan guru teramat mungkin akan dicontoh murid, malah tak mustahil murid akan melakukan hal yang lebih buruk dibanding yang pernah dilakukan gurunya. Jelas-jelas berisi kata kencing dan bahkan jadi penguatnya, pepatah; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kapan pernah ada yang bilang itu tak sopan kemudian melarang penggunaannya?

Sementara itu, sekarang kerap kabar media massa mengungkap perilaku jauh dari memedomani pepatah itu diperbuat tak sedikit guru atau kalangan pengajar. Kasus mesum guru terhadap murid bahkan guru bersama murid, guru menganiaya murid, dan beasiswa untuk murid miskin ditilap kepala sekolah, hanyalah segelintir contoh.

Karenanya, menyikapi kenyataan pepatah; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari akhir-akhir ini terkesan sudah tak dianggap oleh tak sedikit kalangan pengajar, apakah tak perlu dipopulerkan pepatah baru yang agak mirip cuma lain maknanya? Misalnya; Guru kencing berdiri, murid kencing berjongkok di depan guru. Mengacu padanya, jikalau guru kencing berdiri, hendaknyalah murid menyontohkan kepada sang guru agar berjongkok jika kencing.

Terlepas perlu-tidaknya pepatah pengganti itu dipopulerkan, syukurlah belum pernah ada kejadian menghebohkan disebabkan salah kaprah dalam memahami pepatah; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Begini misalnya; di berbagai hotel, restoran, plaza atau pusat keramaian, pengunjung terutama yang berkelamin pria – mungkin di antaranya guru, setidaknya pernah jadi murid – terpaksa menahan hasrat untuk kencing. Disebabkan salah kaprah memahami pepatah; Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, mereka dibebani rasa takut dianggap bersalah kalau kencing berdiri, sedangkan di situ tempat yang ada umumnya disiapkan khusus untuk kencing dalam posisi berdiri.

Gawat, kan, kalau sampai terjadi seperti itu?! ***

Penulis adalah sastrawan dan wartawan

()

Baca Juga

Rekomendasi