Jakarta, (Analisa). Bank Indonesia menekankan pentingnya pengelolaan utang luar negeri (ULN) bagi korporasi non-bank sebagai pelapor lalu lintas devisa (LLD) yang merupakan debitur ULN.
“BI menerbitkan PBI No.16/21/PBI/2014 untuk mendorong kehati-hatian korporasi non-bank dalam mengelola berbagai risiko yang dapat timbul dari utang luar negeri,” kata Kepala Departemen Statistik BI Hendy Sulistiowati saat diskusi dengan wartawan di Jakarta, Kamis.
Peraturan Bank Indonesia No.16/21/PBI 2014 itu sendiri merupakan penyempurnaan ketentuan aturan dari PBI No.14/21/PBI 2014, untuk dapat lebih memantau kepatuhan korporasi non-bank.
Dalam PBI yang baru tersebut, korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri diwajibkan melaporkan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK).
Aturan tersebut mencakup mengenai tata cara penyampaian laporan. Untuk laporan KPPK dan laporan keuangan, disampaikan sejak data triwulan I 2015. Untuk laporan KPPK yang telah memenuhi prosedur atestasi, disampaikan sejak data triwulan II 2015. Sedangkan laporan informasi pemenuhan peringkat utang berlaku untuk ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak 1 Januari 2016.
“Selama tahun 2015 mekanisme pelaporan bersifat offline dengan menggunakan media email, compact disk (CD), flash disk atau media perekaman data elektronik lainnya. Sedangkan mekanisme pelaporan 2016 akan bersifat online, yakni menggunakan media internet pada website pelaporan di BI,” kata Hendy.
Sanksi Jika Tak Laporkan ULN
Hendy menuturkan, agar aturan ini berjalan efektif, terdapat sanksi yang membayangi korporasi non bank jika tak melaporkan ULN mereka ke bank sentral. Pengenaan sanksi atas laporan kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK) dan laporan keuangan mulai berlaku sejak pelaporan data triwulan III 2015.
“Jadi korporasi non bank diberi waktu dua triwulan untuk belajar,” ujar Hendy. Sanksi yang diatur, lanjut Hendy, misalnya bagi korporasi non bank yang laporan KPPK tidak lengkap atau tak benar dikenakan sanksi denda sebesar Rp500 ribu per laporan. Jika terjadi keterlambatan laporan KPPK yang telah melalui prosedur atestasi dan laporan keuangan juga dikenakan denda Rp500 ribu tiap hari kerja keterlambatan dengan maksimum Rp5 juta.
Sedangkan untuk sanksi bagi korporasi non-bank yang tidak menyampaikan laporan KPPK yang telah melalui prosedur atestasi dan laporan keuangan dikenakan denda sebesar Rp10 juta. Kedua sanksi ini juga bisa dikenakan teguran tertulis atau pemberitahuan kepada instansi berwenang.
Selain melaporkan KPPK dan laporan keuangan, dalam aturan ini korporasi non bank juga diwajibkan untuk melaporkan informasi pemenuhan peringkat utang (credit rating). Penerapan sanksi informasi pemenuhan credit rating ini mulai berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau diterbitkan tanggal 1 Januari 2016.
“Bagi korporasi non bank yang terlambat atau tidak menyampaikan informasi credit rating ini diberikan sanksi teguran tertulis atau pemberitahuan kepada otoritas atau instansi berwenang,” kata Hendy.
Berdasarkan data BI, ULN swasta saat ini berjumlah 161 miliar dolar AS. Angka tersebut terdiri dari ULN korporasi non bank sebesar 129 miliar dolar AS dan ULN bank sebesar 32 miliar dolar AS.
Jumlah korporasi non bank di Indonesia sendiri sekitar 2600 pelapor, namun hanya sekitar 200 pelapor yang mencakup 70 persen total ULN korporasi non bank. (Ant)