Monster Abal-abal di Wajah Pendidikan Kita

Oleh: Syafri Nababan.

Ada yang tahu pengertian abal-abal? Kebetulan kata ini lagi menjadi monster menakutkan di negeri ini. Menurut kamus slang, abal-abal sama dengan ecek-ecek = palsu, tiruan, murahan. Biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak berkualitas.Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, abal-abal berarti: "penjahat kelas kakap".

Setelah heboh ijazah palsu menyelimuti dunia pendidikan kita beberapa waktu lalu, kali ini wajah pendidikan kita dihebohkan pula oleh praktek wisuda abal-abal. Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi baru saja mengungkap praktek wisuda abal-abal yang digelar Yayasan Aldiana Nusantara yang telah berlangsung selama tiga tahun. Mereka menggelar acara wisuda tanpa seizin Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dan tidak melapor ke pangkalan data pendidikan tinggi.Awalnya, wisuda diikuti dari perguruan tinggi di bawah yayasan tersebut, yakni 295 peserta dari Sekolah Tinggi Teknologi Telematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Tangerang (150) serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Suluh Bangsa (293). Totalnya, 738 peserta. Namun, pada hari wisuda, jumlah peserta menjadi 978.

Pembodohan

Wisuda abal-abal ini terkuak berkat laporan masyarakat kepada Tim Evaluasi, sebuah tim yang dibentuk Kementerian Riset untuk menelusuri dugaan jual-beli ijazah oleh University of Berkeley, Mei lalu. Dari penelusuran, selain di Jawa, Yayasan Aldiana membuka kelas jarak jauh di Sulawesi Selatan, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, tak ada proses belajar-mengajar di situ. Untuk mengikuti wisuda, peserta kelas mesti datang ke Jakarta dan membayar Rp 15 juta. Selain kasus Yayasan Aldiana, sebelumnya Tim Evaluasi juga berhasil membongkar wisuda abal-abal di gedung Manggala Wanabakti Kementerian Kehutanan pada 9 September lalu yang diikuti 460 peserta di mana sebagian besar adalah "mahasiswa" S-2.

Dini Nurul Hakim, 22 tahun, mahasiswa S-1 Teknik Informatika dari Yayasan Insani Subang, Jawa Barat, yang mengikuti wisuda dari Yayasan Aldian Nusantara ketika ditanyai terkait mata kuliah favoritnya selama proses pembelajaran,ia tidak mampu menjawabnya, bahkan ironisnya lagi ia tidak tahu mata kuliah yang ia sebutkan itu mempelajari tentang apa. "Apa ya, banyak deh pokoknya, yang lain saja deh pertanyaannya," ujarnya mengelak. Ia bahkan tak mampu menyebutkan secara jelas nama kampus tempat ia belajar. Sungguh menggelikan, ini menandakan telah perjadi proses pembodohan terhadap mahasiswa di civitas akademika yang merupakan simbol kecerdasan insani.

Menurut Ketua Tim Evaluasi Kinerja Perguruan Tinggi Kementerian Ristek Dikti, Prof. Dr. Supriadi, ia sudah melakukan pemanggilan terhadap Ketua Yayasan Aldiana yang menyelenggarakan wisuda itu dan mengakui bahwasanya wisuda tersebut ilegal dan mahasiswanya diakui tidak melakukan proses belajar yang benar. Pihaknya juga menyatakan tidak akan memberikan ijazah kepada peserta wisuda, bersedia mengembalikan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh peserta, dan bersedia tidak mengulangi melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bersedia taat azas menuju perguruan tinggi yang sehat.

Dalam hal perguruan tinggi, sejumlah peraturan sudah dikeluarkan pemerintah untuk mengatur pengelolaan pendidikan tinggi. Misalnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2013 tentang Perguruan Tinggi, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2014 tentang pengelolaan perguruan tinggi, dan Peraturan Menteri No 49/2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi yang mensyaratakan pendidikan di perguruan tinggi harus melaksanakan pembelajaran kepada para mahasiswanya.Untuk Sarjana Strata 1 (S-1) minimal harus mengikuti kuliah selama 4 tahun.

Liberalisasi Pendidikan

Saat ini kurang lebih dari 4.300 perguruan tinggi yang terdaftar dengan 22.000 lebih program studi. Sekitar 3.100 perguruan tinggi berada di bawah Dikti/Kemristekdikti (120 PTN dan sisanya PTS), sisanya perguruan tinggi agama dan kedinasan. Sedangkan jumlah mahasiswa keseluruhan sekitar 6.9 juta orang, sekitar 4,2 juta di bawah Dikti.

Maraknya animo untuk membuka universitas dan menyerap mahasiswa merupakan bagian dari efek liberalisasi pendidikan yang tidak saja menuntut peningkatan sumber daya berbasis kompetisi, namun akhirnya secara tidak langsung juga menuntut komoditifikasi simbol-simbol pengetahuan berbasis atribut/gelar sebagai bentuk kebutuhan pengakuan secara institusional formal maupun sosial. Hal ini membuat masyarakat tidak punya pilihan alternatif, selain berlomba-lomba masuk dan berkompetisi di dalam sistem pendidikan yang cenderung kapitalis dan kooptatif.

Demi merespons animo tersebut, Perguruan Tinggi Negeri (PTN)tidak kalah gesitnya berlomba menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dengan berbagai jalur kemudahan, baik berbasis prestasi,latar belakang ekonomi hingga sosio-kultural untuk menegakkan prinsip education for all. Tak heran jika Indonesia menjadi negeri dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak ketiga, setelah India dan AS.

Luasnya otonomi PTN yang diberikan pemerintah dalam mengelola dirinya ternyata tidak sebanding dengan kondisi PTS yang kerap dianaktirikan oleh pemerintah. Padahal jumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia mencapai 70 persen sementara perguruan tinggi negeri hanya 30 persen. Apalagi dalam UU sistem pendidikan nasional, pemerintah memang tidak bertanggungjawab pada sekolah/perguruan swasta. Akibatnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) harus peras keringat dan putar siasat sendiri untuk bagaimana tetap bisa membuat asap dapur lembaganya terus mengepul.

Segala cara pun terpaksa ditempuh untuk menyiasati pasar bebas pendidikan agar tetap bisa menghidupkan roda operasionalisasi sehari-hari seperti menggaji dosen, menggaji karyawan, membayar biaya pemeliharaan gedung/fasilitas dan sebagainya, tak terkecuali dengan memperjualkan ijazah palsu hingga wisuda lancung, tanpa lagi peduli pada kualitas out-put sumberdaya manusianya. Benih-benih diskriminasi ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Misalnya, soal penambahan gedung dan fasilitas sekolah negeri setiap tahun, yang ini tak dialami oleh sekolah swasta. Atau dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di mana kuota sekolah negeri selalu saja ditambah dari tahun ke tahun sehingga mematikan pilihan dan proyeksi calon mahasiswa terhadap PTS. Selain itu, di perguruan tinggi, PTN diberikan ruang yang besar untuk menyelenggarakan pendidikan di luar kampus, namun jika itu dilakukan PTS, bakal dikenai sanksi.

Dengan kata lain diskriminasi pendidikan yang "didesain" secara tak sadar ikut mereproduksi kultur jalan pintas, pragmatis, dan kianmemperteguh terjadinya komersialisasi lembaga pendidikan yang sangat bertentangan dengan filosofi dasar pendidikan Paulo Freire, yakni sebagai ajang untuk memanusiakan dan memerdekakan manusia seutuhnya.

Dimejahijaukan

Pemerintah tidak boleh membiarkan keadaan timpang seperti ini terus terjadi jika tak ingin bangunan pendidikan kita coreng-moreng. Negara harus memberikan perhatian yang proporsional terhadap PTN dan PTS agar akses dan pemerataan pendidikan tidak dimonopoli sehingga tidak justeru melahirkan efek negatif komersialisasi pendidikan.

Namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Ristek Diktiharus menyikapi tegas fenomena wisuda abal-abal tidak saja dengan sanksi administratif kepada pengelola kampus tapi juga diserahkan kasus tersebut ke meja hijau sebagai konsekuensi dari perbuatan yang melanggar aturan, agar menghasilkan efek jera dan juga menyelamatkan wajah pendidikan nasional kita dari degradasi moral dan karakter. ***

Penulis adalah Peneliti Koridor Institute.

()

Baca Juga

Rekomendasi