Mencetak Duplikat Isma’il AS

Oleh: Muhammad Idris Nasution

Dari kepingan kisah Alquran episode pengurbanan Nabi Ismail AS, kita disuguhi pertunjukan menarik terkait ketaatan, keteguhan dan kesabaran seorang anak berusia belia dalam menjunjung perintah Allah SWT. Pertunjukan yang menghidangkan seabrek tuntunan dan segudang teladan bagi orang yang mencicipi dan menyantap hikmah dan ibrah yang tersaji di dalamnya.

Anak belia itu bernama Isma’il AS. Ia adalah seorang anak yang santun (Ash Shaffat: 101), seorang anak yang alim-cendikia (Al Hijr: 53), dan seseorang yang teguh menepati janji (Maryam: 54). Dia adalah seorang yang teguh menjalankan kewajiban, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pun mengajak keluarganya untuk melakukannya, Allah SWT pun telah meridhainya. (Maryam: 55) Al Quran menyebutkan dia adalah seorang yang saleh, dan Allah SWT telah meliputinya dengan rahmat-Nya. (Al Anbiya’: 86) Isma’il AS adalah gambaran sempurna untuk seorang anak yang menjadi idaman para orang tua. 

Sedikit informasi di atas menarik perhatian penulis untuk menelusuri bagaimana seorang ayah, Nabi Ibrahim AS mendidik dan membesarkanya. Tentu saja tanpa mengesampingkan peran besar dan signifikan ibunya sendiri, Hajar. 

Nabi Ibrahim AS Mendidik Anak

Dari dalam Alquran, sedikit banyak kita mendapatkan informasi mengenai hubungan Nabi Ibrahim AS dengan anaknya. Dari kepingan-kepingan kisah itu, paling tidak kita dapat menangkap beberapa pesan dan kesan mulia yang dapat kita jadikan sebagai teladan dalam mendidik anak-anak zaman kita. Dari doa-doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim AS untuk anak dan keturunannya juga memperlihatkan beberapa hal yang menjadi sorotan utamanya untuk anak dan keturunannya. Itu bukan hanya sekadar harapan, tetapi juga pesan agar kita tidak mengafalkannya dari anak dan generasi kita selanjutnya.

Pertama, menanamkan tauhid dan mengenalkan agama sejak dini.

Teladan ini secara jelas dan terang diungkapkan oleh Alquran. Dalam surah Al Baqarah ayat ke 132 disebutkan “Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub, “Wahai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Pun demikian dalam baris doa yang dia sampaikan, beliau amat peduli dengan akidah anak-anaknya dan sangat mewaspadai anak-anaknya jangan sampai tersesat. “Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak-cucuku agar tidak menyembah berhala. Ya Tuhan, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia. Barangsiapa mengikutiku maka ia termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku maka Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” (Ibrahim: 35-36)

Nabi Ibrahim bukan hanya sekadar mengenalkan agama, tetapi melibatkan anaknya dalam berbagai kegiatan ibadah dan keagamaan. Alquran mengabarkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail terlibat secara langsung ketika meninggikan pondasi-pondasi Baitullah, membersihkannya untuk orang-orang yang thawaf, iktikaf, orang yang rukuk dan sujud. (Al Baqarah: 125, 127) Hal itu pun nampak dari doa-doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim setelah menyelesaikan berbagai kegiatan agama, dia menggunakan “kami” bukannya “aku” seperti doanya yang lain. Ibrahim AS sebagai imam dan Isma’il AS sebagai makmumnya.

Dari sini kita juga dapat pelajaran berharga agar orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Karena orang tualah yang menjadi sekolah dan percontohan pertama bagi anak-anak.

Kedua, membangun keharmonisan dengan komunikasi intensif yang demokratis.

Kita dapat menangkap kedekatan dan keharmonisan hubungan antara ayah dan anaknya ini dari dialog antara keduanya yang diabadikan oleh Alquran. (Ash Shaffat: 102) Ketika menyapa Isma’il, Ibrahim menggunakan sapaan yang santun dan penuh cinta, “ya bunayya”, demikian pula Isma’il ketika menyapa ayahnya menggunakan lafal yang tidak kalah hormat “ya abati”.

Meskipun, penyembelihan Isma’il adalah wahyu Tuhan dan merupakan kewajiban yang mesti, tak dapat ditolak, untuk segera dieksekusi, tetapi lihatlah bagaimana Ibrahim menyampai-kannya kepada Isma’il, “fanzhur madza tara” Ibrahim malah meminta pendapat Isma’il. Ibrahim tidak menyebutkan bahwa dia telah diberitakan wahyu, dia masih menyebutnya sebagai mimpi. Meskipun dia telah yakin bahwa itu adalah wahyu. Demikian demokratisnya keluarga ini. Dialog terbangun dengan baik antara mereka. Ibrahim tidak mengekang, tetapi memberikan anaknya kesempatan untuk berbicara, dan dia pun khidmat mendengarkannya.

Ketiga, menyiapkan lingkungan yang kondusif dan ramah anak.

Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi perkembangan anak adalah faktor lingkungan. Kepedulian Nabi Ibrahim terhadap tempat tinggal anak cucunya itu tergambar dari doa-doa yang dia sampaikan. Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya, Hajar dan anaknya Isma’il di sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman. Untuk itu Nabi Ibrahim tak pernah lekang untuk selalu mendoakan agar Allah menurunkan berkah ke tempat mereka tinggal. dia menempatkan mereka di dekat rumah Allah agar mereka senantiasa dekat dengan ibadah.

Beliau berdoa “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Tuhan yang demikian itu agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 37)

Keempat, selalu mendoakan anak agar menjadi pribadi yang saleh dan taat.

Sebelum kelahiran Isma’il AS, Al Quran mencatat doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim AS, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang saleh.” (Ash Shaffat: 100) Cita-citanya dari sebelum kelahiran adalah untuk mendapatkan anak yang saleh, bukan ganteng atau kaya. Setelah memiliki keturunan, Nabi Ibrahim pun tak henti-hentinya untuk selalu mendoakan, khususnya ketaatan mereka. “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Teladan Nabi Ibrahim ini telah menjadi praktik para Ibadurrahman. Di antara doa yang selalu dipanjatkan oleh Ibadurrahman sebagai direkam dalam surah Al Furqan ayat ke 74 adalah “ Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Doa-doa yang disampaikan ini terus berulang-ulang disampaikan sampai tertanam dalam jiwa dan diri sendiri. Sehingga doa ini menjadi sebuah cita-cita dan melahirkan tindakan dan usaha untuk mendapatkannya. Itulah semangat dari setiap doa yang disampaikan.

Demikianlah beberapa poin penting teladan Nabi Ibrahim sebagai ayah, yang dapat diuraikan dalam tulisan sederhana ini. Semoga kita dapat meneladaninya sehingga terlahir generasi Isma’il-Isma’il yang baru. Wallahu a’lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi