Makna Ulos bagi Orang Batak

Oleh: Riduan Situmorang

ULOS merupakan salah satu benda bersahala yang dimiliki oleh orang Batak. Khususnya Batak Toba. Ulos juga sekaligus menjadi simbol Batak Toba selain tungkot tunggal panaluan, gorga, sigale-gale dan sederet benda-benda pusaka lainnya. Ada pula benda nonmateril seperti tortor dan umpasa, berikut filosofi catursila dan dalihan na tolu. Hanya memang sejak lama hingga kini, tortor sedang diklaim Malaysia sebagai kebudayaan mereka. Entah apa lagi yang akan mereka klaim. Saya khawatir, jangan-jangan mereka juga akan mengklaim ihan batak sebagai ikan Malaysia juga?

Mari, lupakan saja! Mari kita bahas masalah ulos. Adapun ulos posisinya begitu sentral di kita, terutama dalam kehidupan Batak Toba. Ulos menjadi strategis karena dapat dipastikan ulaon, dalam hal ini pesta, tidak akan bermarwah tanpa kehadiran ulos.

Beda dengan gondang. Ulaon tanpa gondang yang walaupun pada hakikatnya tidak dapat digantikan dengan musik modern seperti keyboard, setidaknya masih bisa ditangguhkan. Bahkan jika mendesak, ulaon tertentu pun boleh tidak dibarengi dengan gondang.

Begitupun harus ditegaskan, mengganti musik gondang sebenarnya bukan sebuah kebenaran, itu keterpaksaan. Beda halnya dengan ulos. Kita tak bisa menggantinya dengan selendang atau mandar.

Selain merupakan kesalahan besar, itu juga merupakan perbuatan biadab. Artinya, mengganti fungsi ulos sampai saat ini tidak bisa ditolerir oleh apa dan siapa pun. Fungsi dan kedudukan ulos itu sangat sentral dan strategis, terutama bagi Batak Toba.

Peranan yang Sama

Kita mungkin sudah tahu dan mudah-mudahan benar-benar tahu, rangsa ulos itu sangat beragam. Artinya, ulos itu tidak bersifat joker. Selalu ada fungsi khasnya. Misalnya, ulos mangiring atau ulos parompa hanya digunakan apabila maksud kita adalah agar orang yang kita berikan ulos itu beroleh keturunan. Jika tidak, beroleh tinododhon anak dan boru. Jadi, kalau maksud kita untuk memohonkan berkat kepada penerima ulos agar mendapatkan keturunan, tidak mungkin sekali memberikan ulos bolean.

Ulos bolean ini diberikan bagi mereka yang kemalangan. Dengan kata lain, ulos itu tidak sembarangan dan selalu mempunyai peranan khusus. Hal itu dapat diartikan, orang Batak Toba pada saat yang sama tidak boleh menjadi raja, dongan tubu dan boru. Lebih tegasnya, otoriter menjadi hal yang tidak dibenarkan dalam Batak Toba. Singkatnya, dalam Batak Toba tidak ada joker. Orang Batak bisa saja multitalenta, tapi hal itu tidak  mengisyaratkan bahwa orang Batak Toba menjadi otoriter dalam setiap pesta. 

Mungkin kita pun sudah tahu, filosofi ulos itu berkaitan erat dengan karakteristik Batak.  Secara tersirat, keinginan orang Batak Toba juga terpatri dalam simbol ulos. Ulos bukan sekadar benda sakral dan bersahala saja. Ulos itu menjadi cerminan perilaku nenek moyang orang Batak Toba dulu.

Orang Batak Toba, umumnya tinggal di daerah pegunungan seakan mengharuskan mereka untuk mencari kehangatan. Hal itu tidak berlebihan karena daerah pegunungan biasanya begitu dingin. Kehangatan itulah yang mereka cari sebenarnya dari ulos.

Secara garis besar -menurut ompu si jolo-jolo tubu- unsur pendukung kehidupan manusia terdiri atas tiga unsur. Mudar (darah), hosa (napas) dan halason (kehangatan). Masalah darah dan napas itu menjadi hak mutlak Tuhan. Manusia hanya perlu menjaga supaya darah dan napas itu tetap terawat. Menurut ompu si jolo-jolo tubu, cara yang paling efektif untuk menjaga kesehatan itu adalah dengan menjaga kehangatan tubuh.

Uniknya, sumber kehangatan itu, dulu adalah hanya dari tiga sumber saja. Matahari, perapian, dan selimut. Akan halnya matahari tidak terlalu perlu diperhatikan karena matahari itu selalu timbul dan tenggelam pada waktu yang tetap. Masalahnya lagi, matahari tidak ada pada malam hari. Padahal pada malam harilah sebenarnya tubuh benar-benar membutuhkan kehangatan.

Lain lagi dengan perapian. Perapian yang menjadi tempat untuk marsisulu/berdiang tidak terlalu praktis. Bukan saja karena kita lelah mencari kayu bakar, melainkan juga karena perapian itu harus selalu dijaga. Kalau tidak, apinya bisa saja padam atau malah makin membesar. Jadi, perapian tidak praktis untuk menghangatkan tubuh.

Jagalah Kebudayaan

Yang praktis adalah selimut atau dalam bahasa Batak Tobanya disebut gobar atau ulos. Hanya saja, makna gobar secara semantis bergerak stagnan. Lain halnya dengan ulos. Kalau perubahan semantis gobar terkesan stagnan, ulos malah masuk pada panggung amelioratif. Ulos tidak lagi sekadar menghangatkan tubuh, tetapi juga menghangatkan jiwa si pemakai ulos.

Dengan begitu, cakupan makna ulos menjadi lebih luas, amelioratif, dan sakral. Selain praktis, ukuran kehangatannya juga dapat kita kontrol dengan baik. Kalau kita sudah kepanasan, kita bisa menyimpan ulos itu. Kalau kedinginan, kita juga bisa mengambil ulos itu kembali. Tidak seperti matahari dan perapian tadi yang rumit.

Bagi orang Batak, kehangatan itu sangat penting. Lihat saja bahasanya. Kalau dalam bahasa Indonesia, ungkapan kegembiraan adalah gembira, ria, senang, bahagia, tetapi dalam bahasa Batak Toba, arti senang dan gembira itu adalah las ni roha. Arti Las ni roha kata per kata adalah hangatnya hati.

Dalam bahasa Inggris beda lagi, disebut joyfull. Cermatilah, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris tidak menyentuh kata hangat atau las. Itu artinya, kehangatan menjadi unsur penting dalam Batak Toba. Arti turunannya, ulos merupakan hal yang sangat sentral karena di sana tersimpan benih-benih kehangatan.

Mungkin, itulah alasan mengapa orang Batak selalu hangat dan akrab dalam setiap perbincangan. Mereka selalu berbicara dengan dialek keras, tetapi makna yang kita tangkap sebenarnya sangat bersahabat. Lihat, mereka selalu ceria dalam guyonan dan nyanyian di kedai-kedai tuak. Mungkin benar pula pameo yang mengatakan, apabila ingin menghibur diri dan memecahkan masalah, pergilah ke kedai tuak.

Saya menduga maknanya bukan karena dengan minum tuak kita akan bahagia. Melainkan dengan hanyut dalam keakraban dan kehangatan pembicaraan di kedai tuak, kita akan semakin senang dan gembira dalam las ni roha.

Saya yakin pula, kehangatan Batak Toba akan selalu terpatri di balik ulos. Untuk itu, mulai saat ini, mari menghormati budaya kita sebagai sumber kehangatan, baik bagi tubuh maupun jiwa kita. Mari kita menjaga segala silsilah sebagai amanah karena bagaimanapun, silsilah juga merupakan produk budaya. 

Sebelum kita akhiri, mari kita kutip produk budaya Batak Toba melalui umpasa berikut; Sinuan bulu mambahen las, sinuan partuturan sibaen horas. Horas bagi kita pencinta kehangatan budaya!

Penulis; Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) serta Penggagas “Teater Z” Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi