Ekspresi Kepedihan

Oleh: Azmi TS. PEMATUNG wanita yang me­ne­kuni seni berdimensi tiga di nusantara ini. sedikit sekali. Karenanya sulit me­la­cak ke­beradaannya dalam beberapa de­­kade terakhir ini. Seiring dengan itu pe­matung pria juga sama, hanya masih dalam hi­tungan jari.

Beberapa pematung te­lah meninggal dunia, terkadang ber­alih ke bidang la­in, sehing­ga menambah deretan pan­jang langkanya para pematung. Me­mang menjadi pematung tun­tutan tek­nis lebih kompleks ka­rena harus mam­pu mengelo­la material dengan teliti ter­ma­­suk biaya membeli alat dan se­ba­gai­nya.

Ada salah satu pematung wa­nita, karyanya luput dari per­hatian karena material dari pe­runggu dengan bentuk cerita tentang kepedulian sosial. Pe­matung itu bernama Dolorosa Sinaga, berdarah Batak kelahi­r­an 31 Oktober 1953 di Sibol­ga.

Karya patung yang dicipta­kan­nya sebahagian besar ber­bahan logam de­ngan teknik cor dominan berkias ten­tang ekspresi kepedihan. Kiasan eks­presi itu berwujud seni pa­tung, unik ber­gaya abstrak, yang dibuatnya selama berta­hun-tahun.

Jejeran patung-patung lo­gam ter­sebut menggenapkan de­retan kisah kesedihan dan kenestapaan manusia. Wa­lau­pun ukuran patungnya tidak ter­lalu besar, tetapi sanggup menguak me­mori orang bila me­lihat karya pa­tungnya.

Patung-patung itu seakan meng­ingat­kan kembali kisah masa lalu, nasib anak yang selamat dari bencana alam Tsu­nami. Terpisahnya sanak ke­luarga itu dari huru-hara ke­rusuhan, kekerasan akibat pe­rang (daerah kon­flik) dan se­bagainya.

Dia mengakuinya, ide itu men­d­o­rong­nya menciptakan ka­rya-karya pa­tung ekspresi ke­pedihan, walaupun tak mut­lak harus seperti itu semuanya. Se­lain itu, dia juga punya ide selera hu­mo­ris yang tinggi. Muncul-lah patung figur yang unik.

Membandingkan karya pa­tung Do­lorosa tentang keper­du­lian sosial ini, ke­pada gore­san kepedihan seniman Edward Munch. Atau Kaethe Kolwitz yang melukiskan ke­jamnya perang dunia I.

Eks­presi pedihan dalam pa­tung Do­lorosa terangkum ges­tur, le­kukan be­rupa pahatan, serta kualitas tematiknya.

Di balik karya patungnya, juga ter­sirat makna tentang ke­kuatan bertahan hi­dup dan ber­usaha tegar. Menegakkan ke­pala ketika bala menghampiri ke­rasnya kehidupan di  dunia. Uniknya lagi, karya patung eks­presi Dolorosa bisa tampil dalam kehidupan fe­mi­nisme. Misalnya bicara tentang cinta (ka­sih) si-ibu kepada anak-anaknya. Se­mua hasil karya pa­tung ekspresi Do­lo­rosa ber­kat kerja kerasnya mendalami ilmu mematung di Institut Ke­senian Jakarta.

Perhatian yang penuh pada bidang ini mendorong hasrat­nya untuk me­lanjutkan belajar membuat patung dari bahan pe­runggu di St. Martin’s School of Art London, Inggris. Se­lan­jutnya dia juga belajar ke negeri Amerika Serikat pa­da Piero’s Art Foundry Berk­ley.

Media perunggu sebagai ma­terial pa­tung di pelajari lagi di Eropa tepatnya Karnarija Lubliyana, Yugoslavia. Pene­ta­pan bahan perunggu yang pilihnya ka­rena media ini bisa tahan lama, ber­cahaya serta ber­karakter.

Selain keinginan kuat Dolo­rosa sudah paham betul untuk menaklukan me­dia-media pa­tung padat lainnya. Karya yang berkarakter bangsa yang be­sar dan kuat, sudah terbangun pa­da ka­ryanya di Monumen Se­mangat Ang­katan 66. Patung megah itu kini men­jadi ikon di jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Karyanya yang lain ada di ka­wasan Gate of Harmony, Ku­ala Lumpur Malaysia dan juga terdapat di kota Hue, Vietnam berjudul The Crisis, di­bangun pada tahun 1998.

Selain mempertahankan karakter pa­tung perunggunya sekaligus dia salah seorang yang diberikan penghargaan ‘Citra Adikarya Budaya’. Dia juga pernah dipercayakan se­bagai duta bangsa proyek Asean Squan Sculpture Symposium tahun 1987.

Ini membuktikan hasil ka­rya pema­tung wanita tak kalah kualitas dari para seniman pa­tung pria. Selain aktif berka­rya, Dolorosa Sinaga juga mem­bagikan ilmu tentang pa­tung itu di alma­ma­ter­nya, hingga saat ini.

Sudah waktunya pula Dolo­rosa Si­naga memindahkan es­tafet ke­ma­hi­rannya ke genera­si muda agar le­bih giat, se­hingga mereka peduli pada pa­tung ini. Kelangkaan seniman wanita ber­­giat belajar patung, juga jadi per­ha­tian.

Apa yang menjadi hambatannya dan tentunya perlu pembenahan da­lam basis pendidikan. Seni patung punya ka­rakter dan da­ya pukau tersendiri, be­lum ter­lambat waktu kaum hawa coba memahaminya.

()

Baca Juga

Rekomendasi