Elementer Hijrah dan Spirit Kerja

Oleh: Muhammad Idris Nasution

Apa yang dicita-citakan dari sebuah hijrah, tiada lain adalah suatu perubahan. Untuk suatu perubahan kita butuh pergerakan. Albert Einstein mengatakan, “Nothing happens until something moves.”

Artinya, tidak ada yang terjadi sampai ada sesuatu yang bergerak. Hijrah adalah sebuah pergerakan aktif. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang diperkirakan lebih baik.

Bergerak meninggalkan kubangan keburukan menuju padang kebaikan.

Kita tidak akan bisa menjadi lebih baik dari sekarang jika kita tidak mulai bergerak.

Jika kita menginginkan sebuah perubahan, kita tidak bisa menggantungkan harapan kepada orang lain.

Gerakan hijrah menuntut kita untuk bekerja. Bekerja adalah nyawa dari gerakan hijrah. Omong kosong teriak-teriak perubahan, tanpa dibarengi semangat bekerja. Alquran menegaskan, “Manusia tidak akan memperoleh apapun kecuali hasil usahanya sendiri.” (An Najm: 39) Kerja dan usaha yang dituntut adalah sebuah kerja yang memiliki seperangkat nilai dan semangat.

Kerja yang dilakukan harus memiliki ruhnya untuk mendapatkan hasil maksimal, apalagi jika kita mengharapkan sebuah perubahan.

Dalam Alquran, kita dapat menemukan seperangkat nilai dan tuntunan dalam bekerja. Alquran bukan saja memberikan arahan, tetapi secara langsung menunjukkan pelakon utamanya.

Dialah Nabi Daud AS, seorang Nabi yang dilukiskan sebagai seorang pekerja keras yang cerdas dan ikhlas. Hasil pekerjaannya membawa dampak perubahan yang sangat besar, terutama digambarkan mengubah arah persenjataan dan kekuatan militer sebuah kerajaan.

Barangkali kita dapat meneladani prinsip kerja beliau untuk mengulangi sukses besarnya.

Teladan Nabi Daud AS

Kemampuan dan usaha Nabi Daud AS diabadikan dalam Alquran, salah satunya dalam surah Saba’ ayat ke 10 dan 11. “Demi sesungguhnya, Kami telah memberikan kepada Daud sebuah karunia, “Wahai gunung-gunung tunduklah bersamanya, dan juga burung. Kami lenturkan baginya besi.

Bekerjalah membuat besi dengan sempurna, sederhanakan anyamannya, dan berbuat kebajikanlah. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu lakukan.”

Dalam catatan Al Maragi, mengutip pendapat Qatadah, Nabi Daud adalah orang yang pertama kali memiliki kemampuan mengolah besi menjadi berbagai alat, seperti baju besi, pedang dan sebagainya. (Al Maragi, 1964:22/64)

Prinsip kerjanya tergambar pada ayat ke 11 di atas, sebagai berikut:

Pertama, “I’mal sabigat”. Menurut Al Maragi, kata “sabigat” berasal dari kata “as-subug”, yang bersinonim dengan kata “at tamam” dan “al kamal”, yang berarti sempurna. (Al Maragi, 1964:22/63) Penggalan ayat ini memerintahkan Nabi Daud untuk membuat baju besi dengan sempurna, jangan setengah-setengah. Alquran menekankan agar dalam bekerja selalu mengusahakan yang terbaik. Alquran menyebutnya dengan “ahsan amalan” Pekerjaan yang dituntut bukan hanya sekadar hasan atau baik, tetapi mesti ahsan, dengan menggunakan lafal ism tafdhil, yang berarti terbaik.

Nabi Daud bekerja dengan sungguh-sungguh dan fokus. Ar Razi mengutip sebuah kisah mengenai itu.

Al Hasan menyebutkan, Luqman Al Hakim pernah mendatangi Nabi Daud ketika sedang bekerja. Dia bermaksud menanyakan apa yang sedang dia kerjakan, kemudian dia pun diam.

Maka Daud pun tidak mengajaknya berbicara lagi dan sibuk mengerjakan olahannya, berupa baju besi, lalu dia memakainya. (Ar Razi, 1981:22/200)

Kedua, “qaddir fis-sard”. Al Maragi menafsirkan kata “qaddir” dengan “iqtashid”, yang berarti perintah untuk beraku sederhana. Sederhana adalah sikap diantara taqtir (pelit) dan israf  (berlebihan).

Bekerja itu tidak boleh berlebihan, dan juga tidak boleh meninggalkan cacat dan asal-asalan. Tetapi harus terukur dan sesuai.

Itulah hakikat dari kesederhanaan. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang kamu mengerjakan suatu pekerjaan, dikerjakannya dengan jitu.” (Shihab, 2013:308)

Ar Razi memiliki pendapat berbeda, menurutnya sederhana dalam bekerja adalah sesuai dengan keperluan. Harus dapat dibagi antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk beribadah.

Jangan mengisi seluruh waktu hanya untuk bekerja saja. (Ar Razi, 1981:25/247) Apa yang dikemukakan oleh Ar Razi ini jelas didukung oleh Alquran. Di mana Alquran memberikan pesan agar jangan sampai kehidupan dunia melalaikan kita dari amal ukhrawi. Dunia dan pengisinya adalah fitnah semata.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al Munafiqun: 9)

Ketiga, “I’malu shaliha”. Beramal saleh dan berbuat kebajikan.

Tuntunan ini mendukung kembali apa yang disampaikan oleh Ar Razi sebelumnya.

Kerja tidak boleh melalaikan kita dari beramal saleh dan melakukan kebajikan. Hidup harus diisi dengan amal saleh.

Beramal saleh adalah salah satu di antara dua tuntutan yang mesti ditempuh seseorang yang memenuhi harapannya untuk berjumpa dengan Allah SWT. (Al Kahf: 110) Beramal saleh adalah satu di antara empat tuntunan bagi seseorang yang tidak diselimuti kerugian. (QS Al Ashr: 3) Karena itu tepat sekali pernyataan Ar Razi “Kalian tidak diciptakan kecuali untuk beramal saleh, maka lakukanlah dan perbanyak melakukannya.”

Keempat, “Inni bi ma ta’maluna bashir”. Sesungguhnya Aku, kata Allah, Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Apapun yang sedang kita kerjakan, yakinlah bahwa Allah SWT melihatnya.

Ada dua malaikat yang ditugaskan oleh Allah SWT  untuk mengawasi dan mencatat setiap ucapan dan tindakan yang kita lakukan.

Ar Razi membuat suatu perbandingan, apabila seseorang sedang bekerja untuk seorang raja, sementara dia tahu bahwa dia sedang diawasi sang raja, tentu dia melakukan perkejaannya dengan bagus, melakukannya dengan jitu dan sungguh-sungguh.

Inilah ajaran teologi kerja. Dalam agama kita diajarkan untuk memelihara keimanan dan ketakwaaan dalam berbagai kesempatan dan di mana saja pun berada.

Hadis Nabi menyebutkan konsepnya dengan “ittaqullah haitsuma kuntum”, bertakwa di masa berada, dan Alquran menyebutkan “fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah” yaitu, menyadari kehadiran Allah ke mana saja menghadap.

Allah harus ada di mana-mana dalam segala lini aktivitas kita. Jangan sampai Allah hanya ada di masjid-masjid, kemudian hilang ketika berada di pasar dan di kantor. Kita harus merasakan selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Lebih dari itu kita juga harus secara konsisten mengikuti aturan-aturan Allah dalam bisnis.

Karena, konsekuensi kehadiran Tuhan adalah kepatuhan pada moral atau etika.

Demikianlah beberapa ajaran tentang prinsip kerja Nabi Daud AS. Prinsip ini tentu saja bukan hanya milik Nabi Daud. Alquran menginformasikannya kepada kita, agar kita dapat meneladaninya dan menerapkannya ke dalam segenap aktivitas kita.

Jika kita ingin berhijrah, maka kerja adalah elementer hijrah. Wallahu a’lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi