Mendengar Suara Hati

Oleh: Saurma

 

Saya sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana dia bisa menjadi begini. Beberapa kali saya memang pernah curiga tetapi saat saya tanyakan, dia mampu menenangkan perasaan saya. 

Akhirnya saya menjadi bosan untuk curiga dan bertanya-tanya. Saya pasrah saja dengan jawabannya. Saya pun jadi terbiasa untuk menikmati saja semua fasilitas dan sarana yang ada tanpa merasa perlu berpikir apapun lagi. Saya mulai menganggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar dan saya menikmati semua itu. Sekarang, ketika dia harus mempertanggungjawabkan semuanya, saya merasa sangat sedih sebab nyata-nyata saya ikut menikmatinya. Suami saya mengakui kalau awalnya ia tidak begitu yakin dengan ajakan bosnya untuk menilap uang proyek kantornya. Tapi tetap dikerjakan karena tergoda ingin mendapatkan uangnya.  Sekarang suami saya menyesali semuanya, kenapa dulu ia tidak mau mendengar suara hatinya.  Sekarang ia harus berada di penjara. Seyogyanya saya juga harus ada bersama dia di sana, karena selama ini sayalah yang paling menikmati hasil korupsinya itu.”

Demikian antara lain cerita seorang istri dari pelaku korupsi yang akhirnya harus mendekam dalam penjara. Ia terlihat sangat terkejut, malu dan sedih ketika suaminya tercinta harus diikat pergelangan tangannya sebelum dibawa masuk ke mobil tahanan. Ia mengakui bahwa ia merasakan dan melihat ada sesuatu yang kurang wajar tetapi ia terlalu naif untuk mengabaikan semua itu demi tidak dianggap bawel oleh suaminya.

Situasi sejenis itu bisa saja terjadi pada seseorang yang mengabaikan seruan orangtuanya. Ia, misalnya, sudah dilarang untuk mengikuti suatu kegiatan namun tetap menjalankannya juga. Lalu, ketika suatu insiden terjadi, ia hanya bisa menyesali diri. Seandainya ia mau mendengarkan apa yang dikatakan orangtuanya, bisa saja ia tidak harus mengalami insiden itu.

Serupa dengan seseorang yang sudah diingatkan saudaranya untuk tidak meninggalkan pekerjaannya begitu saja  tanpa alasan yang cukup kuat dan prinsipil. Ia sudah dijelaskan tentang berbagai ancaman konsekuensi yang akan dihadapinya jika harus meninggalkan pekerjaan di saat dunia pekerja sedang dihantui momok pemutusan hubungan kerja (PHK). Seruan itu malah diperlakukan seperti angin lalu yang berhembus dan hilang begitu saja tanpa bekas. Lalu, saat kondisi yang diprediksi saudaranya terjadi, ia hanya bisa terdiam dan menyesali diri. Seandainya ia mau mendengar saudaranya tentu ia tidak harus kewalahan karena meski dua bulan sudah berlalu, ia masih belum mendapat pekerjaan barunya.

Suara Hati

Ya, seringkali tanpa kita sadari kita larut dalam suatu situasi yang sebenarnya dari awal bagi kita sudah kurang sreg. Suara hati kita sudah berteriak menyatakan sebaiknya kita menjauh dari situasi itu. Tapi, dengan berbagai alasan yang sesungguhnya cukup lemah, kita teruskan juga berada di sana.

Seperti kisah istri koruptor tadi, atau anak yang tidak mendengarkan seruan orangtuanya atau saudara yang mengabaikan masukan dari saudara kandungnya. Mereka hanya bisa terdiam karena tidak mengira apa yang diprediksi orangtua maupun saudaranya itu terjadi dengan cepatnya.

Ternyata, selain suara hati kita sendiri, kita juga patut mempertimbangkan untuk mendengarkan suara hati orang lain. Tetapi tentu saja tidak sembarang suara hati dan yang terutama adalah suara hati orang-orang terdekat yang selama ini terbukti sangat menyayangi kita. Kita bisa saja tidak mendengar suara hati kita, tetapi kita patut untuk mendengar suara hati orang-orang yang mengasihi kita, sebelum kita menyesali diri sebagaimana mereka tadi. Bagaimana menurut Anda?

 

()

Baca Juga

Rekomendasi