Pentingnya Budaya Guro-guro Aron Bagi Permata

Oleh: Ramen Antonov Purba

UNTUK mengucap syukur ter­hadap Tuhan yang Maha Kuasa, setiap suku memiliki caranya ma­sing-masing. Memperi­nga­ti HUT Permata Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Ke-67, Permata Rg. Po­kok Mangga melakukan ucap syu­kur kepada Sang Khalik. Dia mem­berikan berkat dan rejeki ber­limpah. Rangkaian kegiatan buda­ya, puncaknya dengan melakukan Guro-guro Aron.

Guro-guro Aron, merupakan uca­pan syukur terhadap Sang Pencipta. AnugerahNya melalui alam semesta, menjadi tempat hidup manusia, khususnya dilaku­kan seusai musim panen.

Budaya Guro-guro Aron, sudah mulai ditinggalkan, karena ke­cang­gihan teknologi yang mulai masuk ke ranah budaya. Banyak pihak, khususnya masyarakat Karo, merasa kelimpahan hasil pa­­nen karena pengetahuan dan ke­canggihan teknologi yang dimi­likinya.

Pengertian Guro-guro Aron, dapat diartikan dari dua asal kata. “Guro-guro” dan “aron”. Guro-guro berarti main-main, jagar-jagar, bersenda gurau; dan “aron” artinya muda-mudi, anak perana dan singuda-nguda. Dalam tradisi mereka mengerjakan ladang ber­sama-sama.

Seiring berjalannya waktu, pro­sesi pelaksanaan guro-guro aron, sering disandingkan dengan gen­dang. Menjadi Gendang guro-guro aron. Kata “gendang” sendiri di­artikan sebagai sebuah kerja, pes­ta, upacara dengan tari-tarian.

 Jadi Gendang Guro-guro Aron merupakan kerja, pesta, upacara, diperuntukkan sebagai ajang mu­da-mudi erguro-guro. Bisa diba­yangkan ketika pelaksanaan Gen­dang guro-guro aron yang terlihat adalah suasana ceria, gembira dan sukacita. Penuh ucapan syukur.

Filosopi budaya Gendang guro-guro aron, dilaksanakan se­bagai bentuk ucapan syukur atas musim panen. Telah dilalui dan doa dan harapan agar musim selanjutnya seperti ungkapan "Mbuah page nisuan, merih manuk niasuh". (Padi berbuah banyak, ayam ber­kembang biak), sebagai salah satu simbol kemakmuran pada masya­rakat Karo.

Selain itu Gendang guro-guro aron juga bertujuan agar anak pe­rana & singuda-nguda bela­jar er­tutur dan mengetahui adat. Dalam pelaksanaannya beberapa anak pe­rana diangkat sebagai pengu­lu aron. Singuda-nguda jadi nan­de aron. Artinya mereka juga bi­sa berlatih kepemimpinan.

Gendang guro-guro aron, juga bertujuan agar semua tetap se­mangat dan rajin mengerjakan ladang. Terkadang dapat juga se­bagai wadah bertemunya pemuda dan pemudi, tempat pencarian  jo­doh. Sebagai tempat belajar mempercantik diri, bersolek, me­ma­kaikan kain-kain tradisional (metik).

Permata GBKP, merupakan ru­dang-rudang (bunga) di tengah-tengah Gereja Batak Karo Pro­testan (GBKP) memang diha­rap­kan sebagai pelopor untuk meles­tarikan budaya Karo yang sudah mulai terkikis.

67 tahun Permata GBKP, sejak Kongres I pada 12 September 1948, pada akhirnya ditetapkan sebagai hari lahirnya Permata GBKP. Harus mampu meningkat­kan pemahaman pemuda terkait dengan budaya-budaya Karo yang begitu beragam dan memiliki makna yang mendalam.

Pemahaman itu, membawa Permata GBKP Rg. Pokok Mang­ga, merupakan bagian dari Perma­ta GBKP. Melaksanakan Gen­dang guro-guro aron dengan bebe­rapa rangkaian kegiatan budaya. Adanya tarian mbuah page, tarian lima serangkai, dan menghadirkan gundala-gundala Karo.

Transformasi Pengiring

Gendang Guro-guro Aron me­mang memiliki hal spesial bila di­bandingkan dengan pesta lain­nya dalam budaya suku Karo. Biasanya, Gendang Guro-guro Aron, diiringi dengan Gendang Lima Sendalanen. Sebuah perang­kat musik tradisional Karo yang terdiri dari lima alat musik; Sarune (alat musik tiup), Gendang Singin­dungi, Gendang Singanaki, Gong dan Penganak (gong kecil) sebagai pengatur ritme.

Beberapa tahun terakhir, teknologi dibidang musik, pelaksa­naan Gendang gu­ro-guro aron su­dah banyak yang menggunakan hanya kibot Karo (Organ tunggal). Terkadang kolaborasi kibot de­ngan Gendang Lima Sendalanen.

Ditambah dengan kehadir­an Per­kolong-kolong (biduan yang bisa menari dan menari). Bi­asanya dalam acara ini ada se­pasang dan pada kesempatan khu­sus mereka “diadu” dengan lagu-lagu Karo, seringnya me­nyampai­kan lawakan.

Tarian Aron dalam acara ini memiliki hal spesial dengan tari biasanya. Aron landek (menari) dengan cara berbeda, sering orang menyebutnya tari Tonggal Tan (Tonggal: satu; Tan: tangan).

Giliran yang menari dalam aca­ra ini juga menunjukkan tujuan peng­khususan pada muda-mudi dengan jatah menari Aron dan orang tua menjadi sama. Pada aca­ra biasa, giliran menari untuk anak muda hanya diberikan hanya sekali, atau sisa waktu ketika se­mua tegun (kelompok) sudah me­nari.

Acara lebih memfokus­kan pada Aron. Biasanya menjadi hajatan yang ditunggu-tunggu dan dihadiri oleh semua orang di kam­pung tersebut. Bahkan ada yang datangi oleh warga-warga dari de­sa tetangga.

Gendang guro-guro aron Per­ma­ta GBKP Rg. Pokok Mangga, dihadiri oleh hampir 1500 orang berasal dari unsur pemuda dan orang tua.

Secara eksplisit tergambar tu­juan mulia dari pelaksanaan Gen­dang guro-guro aron untuk me­ningkatkan pemahaman terhadap budaya leluhur masyarakat Karo. Masyarakat muda memiliki mak­na/hasil. Permata Rg. Pokok Mangga, memiliki tujuan agar pemuda dan orang tua yang hadir diingatkan kembali akan budaya karo yang sudah mulai terlupakan.

Ada Kepanitiaan

Kepanitiaan dalam masyarakat Karo juga mencerminkan kebu­dayaan nenek moyang. Dulunya untuk menyelesaikan sebuah ke­giatan, masyarakat Karo melaku­kan runggu atau musyawarah. Berbentuk kepanitiaan karena ada yang dituakan sebagai koordinator.

Budaya runggu selalu dilaku­kan oleh masyarakat Karo ketika akan menghadapi beberapan momen penting. Seperti pernikah­an, pemilihan kepala desa, juga ke­tika akan melakukan ucapan syukur kepada Sang Pencipta da­lam bentuk pelaksanaan budaya Guro-guro aron.

Kepanitiaan bekerja untuk mempersiapkan rangkaian acara begitu juga pencarian dana demi berlangsungnya kegiatan dengan terstruktur dan baik. Kondisi ini juga menggambarkan betapa pen­tingnya acara runggu dalam kehi­dupan bermasyarakat. Terlebih dalam kondisi-kondisi membutuh­kan pemikiran dan persiapan.

()

Baca Juga

Rekomendasi