Banda Aceh, (Analisa). Imbas insiden pekan lalu yang mengakibatkan seorang warga meninggal dunia serta beberapa orang mengalami luka serius, Kapolres Aceh Singkil AKBP Budi Samekto SIK dicopot dari jabatannya diserahkankan kepada AKBP Muhammad Ridwan.
AKBP Muhammad Ridwan sebagai Kapolres yang baru sebelumnya menjabat Kepala Detasmen A Pelopor Brimobda Bengkulu, sedangkan AKBP Budi Samekto selanjutnya menjadi Pamen di Polda Aceh. Pergantian tersebut berdasarkan keputusan Kapolri Nomor KEP/904/X/2015 tertanggal 19 Oktober 2015 tentang pemberhentian dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri.
“Pergantian ini sudah kita terima berdasarkan surat telegram Nomor Surat ST/2220X/2015 yang ditandatangani AS SDM Irjen Pol Drs.Sabar Rahardjo,”ujar Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi melalui Kabid Humas Polda Kombes Pol Saladin.
Mengutip pernyataan Kapolri di Jakarta, pergantian ini akibat Kapolres Aceh Singkil kurang mampu memonitor gejolak atau bibit konflik yang akan terjadi dan berakibat jatuhnya korban jiwa serta tidak memahami potensi konflik agama yang terjadi.
Padahal, sebelumnya Kapolda Aceh sudah mempertanyakan kepada Kapolres apa perlu penambahan pasukan dari Mapolda guna mengendalikan situasi begitu munculnya gejolak di wilayah paling selatan Aceh itu. “Soal pelantikan, kita tunggu keputusan Kapolda,” ujar Saladin saat dikonfirmasi Analisa, Selasa (20/10).
Sementara itu, situasi keamanan di Aceh Singkil dilaporkan makin kondusif dan aman. Meski demikian, kendali keamanan masih dipegang langsung oleh Kapolda Irjen Pol Husein Hamidi dan Pangdam IM Mayjen TNI Agus Kriswanto.
Pengendalian keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibamas) oleh Kapolda ini sejak Kapolri Jenderal Badrodin Haiti melihat langsung situasi pascainsiden di daerah tersebut, yang mengakibatkan korban jiwa serta dibakarnya rumah ibadah oleh massa.
Minta Copot
Sebelumnya, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) pernah meminta Kapolri mencopot Kapolres Aceh Singkil pascainsiden tersebut. Pencopotan ini agar pelajaran bagi Kapolres lain untuk tidak main-main dengan potensi konflik kecil yang berada di wilayah.
Koodinator YARA, Safaruddin mengungkapkan, dalam investigasi pihaknya, konflik tersebut adalah puncak kekesalan sebagian masyarakat Aceh Singkil atas lemahnya penegakan aturan. Apalagi di singkil banyak kasus-kasus yang masyarakat miskinnya menjadi korban.
Sebagai contoh, yakni adanya satu perkampungan korban tsunami yang sampai saat itu belum diberikan sertifikatnya oleh Pemkab Singkil. Kampung tersebut yakni Desa Lampahan Buaya, Kecamatan Kuta Baharu. Padahal, YARA sudah beberapa kali menyampaikan permasalahan tersebut ke Pemkab dan BPN Singkil, tapi sampai sakarang masih belum ada respon apapun.
Masalah rumah ibadah, lanjut Safar, sudah banyak mendapat keluhan dari masyarakat sejak satu tahun lalu. Masalah ini sudah pernah disampaikan secara lisan ke bupati, tetapi tidak ada tindakan konkrit untuk menyelesaikan. “Insiden yang muncul ini akibat masyarakat yang emosional dan frustasi kepada Pemkab Aceh Singkil,” beber Safaruddin.
Karenanya, YARA meminta kepada Pemkab Aceh Singkil agar responsif terhadap berbagai aspirasi warganya dan menghidupkan budaya musyawarah terhadap berbagai permasalahan. Karena dari hasil amatan, warga di Aceh Singkil sebenarnya sangat toleran dalam hidup berdampingan antar umat beragama.
“Saya sudah beberapa kali ke Aceh Singkil, bahkan sampai ke pelosok-pelosoknya dan selama ini tidak pernah melihat ada sekat sosial dalam bermasyarakat antara umat beragama,” katanya. (irn)