Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani
“Wahai manusia makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah : 168)
Membincangkan persoalan mengenai halal merupakan perkara yang akan terus menjadi makna urgensi dalam kehidupan manusia. Setiap validitas kepentingan umat mengenai persepsi halal akan terus menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang menjadi perhatian bersama. Kita sebagai umat Islam mestilah selalu memaknai urgensi halal dalam kehidupan kita. Sebab, halal merupakan bagian dari kepribadian kita sebagai umat islam, apa yang kita peroleh, apa yang kita konsumsi akan mencerminkan akhlak kita sehari-hari. Dan itu semua berawal dari makna halal dalam segala hal.
Masih segar dalam ingatan kita dengan pemberitaan yang dikeluarkan Analisa (6/10) mengenai desakan dari Majelis Ulama Indonesia kepada Pemerintah daerah untuk lebih mawas dan memperhatikan pengawasan makanan-makanan yang beredar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa segala apa yang akan dikonsumsi umat Islam sudah sesuai dengan koridor yang telah diatur oleh agama.
Dalam setiap agama pastilah ada hukum-hukum yang mengatur mengenai ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pemeluknya. Begitu juga dengan aturan yang telah ditentukan oleh agama Islam. Dan bagi pemeluknya, mentaati perintah tersebut merupakan bagian dari wujud penyerahan diri terhadap syari’at Islam. Pengertian Halal adalah istilah dalam bahasa Arab, akar kata dari halal, halaal, yang dalam agama Islam berarti “diizinkan atau boleh”. Istilah ini dalam kosakata dan dialek sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam agama Islam. Secara umum, halal adalah wujud kebolehan kepada makanan maupun minuman yang boleh kita konsumsi sebagai umat Islam. Segala sesuatu baik berupa tumbuhan, hewan, buah-buahan pada dasarnya memiliki kadar kehalalannya. Namun, sekali lagi semua itu akan dibatasi oleh nash al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Saw.
Agama Islam sangat mempertegas bahwa ukuran atau kadar kehalalan dari apa yang kita konsumsi. Mengkonsumsi makanan yang halal telah menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslim. Kadang kala seorang muslim kurang memperhatikan apa yang ia makan. Boleh jadi makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang belum jelas kadar kehalannya atau bisa saja haram jatuhnya. Tanpa disadari bahwa setiap makanan yang ia konsumsi akan berpengaruh terhadap psikis, kesehatan, tingkah laku, serta kualitas ibadah.
Dalam ketentuan hukum Islam atau syari’at Islam dalam membincangkan mengenai persoalan halal terhadap apa yang kita konsumsi adalah memerintahkan kepada setiap pemeluknya untuk mengkonsumsi makanan yang halal dzatnya, baik sifatnya, dan memperhatikan dengan jeli setiap apa yang akan kita konsumsi. Sebagaimana firman Allah swt di atas tadi, bahwa Allah swt memerintahkan kepada manusia agar mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik di muka bumi ini.
Setiap makanan halal dan baik yang dikonsumsi oleh seorang muslim akan berpengaruh terhadap kepribadian seorang muslim tersebut. Sebaliknya, tatkala seorang muslim mengkonsumsi makanan haram dan tidak baik akan berpengaruh pula kepada kepribadian muslim tersebut. Setiap butir kehalalan yang kita konsumsi akan melahirkan serta menempa pribadi –pribadi yang peduli, religius, bermoral, dan sehat secara jasmani maupun rohani. Tetapi, sebaliknya pula setiap butir keharaman yang kita konsumsi akan membentuk pribadi muslim yang tidak berkualitas, apatis, un-religius, tidak bermoral, dan merusak jasmaninya pula.
Pernahkah kita memperhatikan makanan kita dan bagaimana cara kita makan ? “Fal yanzhuril insaanu ilaa tha’aamihi... maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya” begitulah petikan firman Allah swt mengenai penegasan kepada setiap manusia bahwa memperhatikan apa yang akan kita makan adalah hal yang mutlak untuk kemashlahatan nantinya. Sebab, makanan yang halal lagi baik akan menempa setiap pribadi menjadi lebih berkualitas fisik maupun jiwanya.
Islam sangatlah urgen dalam masalah memilah dan memilih makanan, mengapa ? sebab sesungguhnya apa yang masuk ke dalam tubuh kita berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Karena setiap makanan kita akan diolah dan diproses untuk menghasilkan energi. Energi yang halal niscaya akan membentuk pribadi yang baik, demikian sebaliknya.
Sesungguhnya kearifan dan kehati-hatian kita dalam memilih makanan akan mengakibatkan implikasi berupa kesehatan yaitu dikaruniai gizi dan kebersihan. Menghindari makanan yang beracun serta membahayakan tubuh juga termasuk pola tingkah yang harus kita lakukan manakala ingin memperoleh kebaikan. Rasulullah Saw bersabda: “Setiap tubuh yang tumbuh dari barang yang haram, maka neraka lebih baik (utama) baginya”. Kita perlu menyadari bahwa setan senantiasa pula dapat mengalir melalui peredaran darah manusia. Menajamkan komitmen dalam menjaga dan terus istiqomah dalam pola memilih makanan yang halal lagi thoyyib (baik) tetap menjadi prioritas utama. Dampak berikutnya manakala kita selalu mengonsumsi yang haram, maka Allah swt tidak akan menerima do’a hambaNya yang makan dan minum dari barang yang haram, “Innallaha thayyibun laa yaqbaluu illaa thayyibaan... Sesungguhnya Allah swt itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik...” (HR. Muslim)
Konsep halaalan hoyyiban sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Al-Qur’an mestilah menjadi pedoman dan ingatan kita bersama untuk dilakukan guna mencapai insan kamil. Menjadi manusia yang paripurna adalah capaian yang dimulai dari hal-hal kecil seperti mengintegrasikan konsep halal dalam setiap kehidupan. Bila kita mencermati perilaku konsumen di pusat-pusat perbelanjaan modern atau ditempat lain, setidaknya dapatlah disimpulkan bahwa masih banyak manusia khususnya umat Islam yang masih mempertimbangkan faktor harga, dengan kata lain apabila murah langsung dibeli tanpa ditelusuri dahulu sumbernya. Namun, banyak juga yang masih memegang konsep halal itu, mereka yang memegang konsep halal itu akan senantiasa memilih makanan yang berlabel halal karena memandang ketentuan yang sudah diatur dalam agama Islam.
Apakah yang halal itu pasti sehat ? atau semua yang sehat itu halal ?. Menurut pandangan Dr Hasbullah Tabrany, pakar kedokteran dari Universitas Indonesia, bahwa halal itu tidak selalu identik dengan sehat. Karenanya pengharaman islam terhadap suatu makanan bukan merupakan faktor kesehatan, melainkan lebih karena faktor keimanan. Namun, begitupun sehat dan halal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Memakan makanan yang bergizi disamping halal merupakan konsensus yang harus dilakuakn guna memperoleh kebaikan manusia itu sendiri. Makanan yang bergizi merupakan makanan yang dibutuhkan untuk memperoleh kualitas kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas akal dan rohani.
Makanan halal dan bergizi atau halalan thoyyiban amat penting dalam kehidupan umat manusia untuk menempa kepribadian manusia seutuhnya.
Hal itu bukan hanya sekedar di dapat dilihat dari bendanya saja namun perlu diperhatikan bagaimana cara memperolehnya. Sebagai contoh, makanan tersebut baik dan bergizi, namun diperoleh dari hasil mencuri atau korupsi, maka makanan tersebut akan jatuh derajatnya menjadi haram, walaupun halal zatnya.
Oleh karena itu, memilah dan memilih makanan yang halal lagi baik (halaalan thoyyiban) adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Intinya, bila apa yang kita konsumsi baik dan halal niscaya perbuatan kita akan baik dan melahirkan kepribadian yang baik pula. Baik bagi diri sendiri maupun baik bagi orang lain. Semoga kita sebagai insan yang berharap kemuliaanNya selalu ditunjuki jalan yang benar guna mengabdikan diri kita kepada Sang Ilahi Robbi, Allah swt. Semoga ada manfaatnya. Wallahu A’lam.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah & Hukum Jurusan Siyasah, UIN-SU Medan, & Kru LPM Dinamika UIN-SU Medan.