Oleh: Arbi Syafri Tanjung.
Sejarah dan sastra, adakah kaitan keduanya? Pertanyaan ini kiranya secara singkat dapat dijawab dengan: Ya. Keduanya saling terkait. Jauh sebelum waktu tulisan ini terbit, banyak tulisan terdahulu mengurai tentang keterkaitan itu. Baik dalam bentuk artikel ringan di surat kabar cetak dan online, makalah ilmiah serius, buku, bahkan hasil penelitian (skripsi, tesis).
Semoga tulisan ini tidak termasuk dalam “pengulangan” dari tulisan-tulisan yang telah ada. Tulisan sederhana ini hanya mengurai tentang peran “puisi” dalam mengisi ruang kosong langkanya sumber sejarah tentang keseharian masyarakat ‘awam’. Khususnya sumber untuk menuliskan sejarah sosial sebagai salah satu bidang sejarah yang ngetrend dibincangkan saat ini.
Sejarah Sosial atau Sejarah Masyarakat
Sartono Kartodirdjo (1921-2007) dan Kuntowidjoyo (1943-2005) dikenal sebagai sesepuh para ahli sejarah di Indonesia lebih cenderung menyebut istilah “Sejarah Sosial”. Joseph Jan Hecht (1891-1951) lebih memilih istilah “sejarah masyarakat” untuk kajian ini.
Sejarah sosial atau sejarah masyarakat mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Bambang Purwanto mengungkapkan, “sejarah sosial Indonesia sebenarnya telah dilabeli sebagai sejarah orang kecil seiring dengan perkembangan sejarah sosial dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang diperkenalkan oleh Sratono Kartodirdjo”.
Sayangnya sejarah sosial seharusnya mengungkap sejarah orang kecil tak mudah ditemukan dalam bentuk tulisan (historiografi) yang dihasilkan sejarawan Indonesia. Masa lampau seakan hanya milik para elit, penguasa atau kelompok yang dominan. Sejarah tentang merekalah lebih banyak dan “dianggap” penting untuk dituliskan. Kelompok “orang kecil” atau “orang kebanyakan” seperti tak punya masa lalu dan nasib merekapun setali tiga uang dengan “takdir” mereka dalam historiografi Indonesia.
Minim atau langka tulisan sejarah mengenai orang kecil dan kehidupan sehari-harinya. Lebih ditengarai karena kehidupan sehari-hari dianggap bukan merupakan sejarah. Sejarah hanya masa lalu yang dapat dikaitkan dengan institusional, politis, ideologis dan struktural saja. Alasan lainnya, sejarah sosial juga hanya dilihat dalam konteks struktural dengan melupakan hal-hal yang bersifat kultural, emosi, perasaan, atau pengetahuan individu atau kelompok (Purwanto, 2013).
Bambang Purwanto yang dianggap sebagai sejarawan “penerus estafet” dari Sartono dan Kuntowidjoyo. Dalam beberapa tulisannya terakhir menawarkan solusi yaitu merubah perspektif. Ini eranya, realitas masa lalu dari masyarakat miskin perkotaan. Kelompok minoritas baik tingkat lokal maupun nasional, perempuan, anak-anak, mereka yang terbuang, para pelarian, pengungsi dan sebagainya untuk mendapat perhatian dalam historiografi Indonesia.
Historiografi yang lebih mampu memahami secara kualitatif kehidupan sehari-hari orang kebanyakan. Dasar penelaahan terhadap keadaan baik material maupun intelektual dari keseharian pada saat bekerja,di rumah, di sekolah. Juga sedang bermain dan memasuki dunia dalam dari pengalaman populer dilingkungan tempat bekerja, keluarga, tetangga, sekolah atau semua yang dianggap sebagai bidang budaya (Ludke dalam Purwanto,2013).
Puisi dan Sumber Sejarah
Secara keilmuan, penelitian sejarah dibagi menjadi lima tahap yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan penulisan (historiografi). Ketika seorang sejarawan memilih untuk meneliti mengenai kehidupan sehari-hari dari “orang kecil”, di saat itu pula dia akan berhadapan dengan kelangkaan sumber yang umum digunakan yaitu dokumen instansi.
Rekaman perihal aktivitas “orang kebanyakan” itu boleh dikata tak punya tempat dalam catatan atau laporan-laporan dinas. Sumber apa yang dapat digunakan sebagai alternatif ?
Disinilah, disaat kebuntuan itulah kiranya puisi sebagai karya sastra atau karya fiksi dapat mengambil peran. Di contohkan Bambang Purwanto dalam tulisannya yang berjudul Menulis Kehidupan Sehari-Hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia. Pengakuannya lewat tulisannya itu menunjukkan puisi-puisi karya beberapa sastrawan semisal Rendra, Toto S Bachtiar, M. Hussyn Umar, Ajip Rosidi. Dia gunakan sebagai sumber sejarah untuk mengetahui keseharian ‘orang kecil’ di Kota Jakarta periode antara tahun 1940-1960.
Kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama orang kebanyakan dari lingkungannya dapat dengan mudah diketahui dari puisi demi puisi yang ada. Berikut tiga penggalan puisi yang di kutip Purwanto dalam tulisannya itu yaitu: pertama karya Toto S Bachtiar, 1951: Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari //Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan bertelandjang mandi // Disungai-sungai, o, Kota kekasih // Klakson Oto dan lontjeng trem saing-menjaingi // Udara menekan berat di atas djalan pandjang berekelokan.
Kedua karya M. Hussyn Umar, 1953: Di gerbong kosong, di dengkul djembatan // aku tjium bau orang-majat terdampar jang enggan mati // aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup // hanjut tergajut-gajut di aliran pergi penuh daki // tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking // dan baunja jang memaksa datang harapan-harapan jang enggan // dan malam inipun Sinah akan berdandan lagi mengibar bendera jang aus bolong dalam pangkuan //
Ketiga karya Ajip Rosidi, 1955: Kukutuk kau dalam debu keringat kota // Karena dibalik keharuan paling dalam // Mengintip malaria //
Purwanto menyebutkan keironisan, “bagi sebagian sejarawan Indonesia, puisi-puisi tidak lebih dari karya sastra yang menjadi konsumsi para penikmat seni. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kenyataan masa lalu dan sejarah sebagai sebuah konstruksi pemaknaan kekinian. Sebagian besar sejarawan Indonesia juga melalui pandangan konvensionalnya enggan memanfaatkan karya sastra sebagai sumber sejarah, karena dianggap sama dengan fiksi dari imajinasi para penulis”.
Meski ada ungkapan bahwa “Sejarah bukan sastra” tetapi bukan berarti sejarah tak ‘tergantung’ sama sekali pada sastra. Sastra (dalam hal ini puisi) menjadi bagian tersendiri dalam sejarah itu. Setidaknya terbukti dari penulisan sejarah kota Jakarta seperti uraian di atas.
Penulis; staff pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah Unimed dan UISU Medan, penggiat di Komunitas Gelanggang Sejarawan.











