Oleh: Rhinto Sustono.
PETUAH lama dari Laksamana Hang Tuah, “Tak Akan Melayu Hilang di Bumi” sepertinya sangat bertuah. Meski sudah enam abad berselang, ungkapan legendaris Melayu itu tak lekang oleh waktu.
Memaknai Melayu, kadang kita sering dibenturkan dengan sekat-sekat perspektif politik, geografi, bahkan etnis. Padahal sejatinya kita tidak mau terjerat pada pemahaman parsial. Melayu dalam hal ini adalah rumpun bangsa yang besar.
Sebagai rumpun bangsa, tentu Melayu mengalami alkulturasi di segala lini. Pengaruh asing, keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi komunikasi turut andil mencampuri. Namun yang terjadi, keluhuran warisan Melayu dalam wujud budaya dan tradisi tidak akan mati, justru menguratakar hingga saat kini.
Adalah Sri Astuti, melalui Sanggar Tari Cahaya Permata tetap berupaya memagari seni tradisional berakar Melayu khususnya seni tari agar tetap orisional. Bagi Sri yang menimba dasar seni di Kerawitan Patria dulunya, untuk mudah menarikan segala tarian etnis di Sumut semestinya harus terlebih dahulu bisa menari Melayu. Khususnya Tari Serampang Duabelas.
Di sanggar yang didirikannya dua tahun lalu, 60-an anak didiknya wajib mahir tari Melayu. Selanjutnya baru tarian dari berbagai etnis di nusantara yang diajarkan.
Mengembangkan tari tradisional yang berakar dari kearifan lokal Sumut, menjadi tantangan tersendiri baginya. Tantangan terberat karena semakin minimnya minat anak-anak dan remaja untuk belajar menari.
Kerja kerasnya di sanggar yang berlokasi di Jalan Tirtadeli, Tanjung Morawa bukan tanpa kendala. Begitupun upaya mengkreasikan tari tradisional dengan ragam gerakan harus terus terbarukan. Tari Sigale-gale yang khas Toba, menjadi andalan anak didiknya saat meraih juara umum di Deliserdang tahun lalu.
Menuju kejuaraan akhir tahun ini, bersama asuhannya ia tengah memperiapkan garapan baru dengan tarian yang bertajuk ‘Kasih Tak Sampai’. “Semua mengakar dari Melayu,” katanya.
Kecuali kesibukan di sanggar, agar Melayu tak hilang di bumi, ia juga melatih ke berbagai sekolah. Kini tidak kurang dari 20 remaja seusia SLTA dan mahasiswa yang bergabung di komunitasnya. Setingkat SD juga dalam jumlah yang sama, malah yang seumuran pelajar SMP jumlahnya lebih 30 orang.
Multi Talenta
Tidak jauh dari sanggar yang dikelola Sri Astuti, ada juga Sanggar Seni Tirtadeli yang juga memosisikan diri menularkan tradisi seni berakar Melayu. Bedanya, pada Sanggar Seni Tirtadeli tidak sebatas seni tari. Ragam talenta anak-anak dan remaja dikembangkan untuk membentengi diri dari pengaruh kesibukan yang tidak produktif.
Anak didik yang memiliki bakat melukis, diarahkan untuk mengeksplor imajinasinya sesuai kemampuan. Begitu juga dengan anak-anak yang punya talenta dan minat melenggak-lenggok di catwalk, dibimbing agar lebih percaya diri saat tampil sebagai model peraga busana.
“Iklim konsumtif yang menggejal di kalangan anak-anak dan remaja, perlu kita sikapi dengan menyuguhkan kegiatan produktif dan positif. Kalau pun hasilnya tidak sampai pada raihan prestasi, setidaknya generasi muda sudah kita arahkan untuk mengenal tradisi dan budaya leluhur kita,” ungkap Yunita Ramadayanti, AMd kepada Analisa, Kamis (1/10).
Yuni begitu dia biasa disapa, merintis sanggar itu sejak 13 tahun silam. Waktu yang tidak sebentar itu sudah melahirkan puluhan peserta didik dengan berbagai prestasi. Apalagi yang diasuh peraih Pemuda Pelopor Tingkat Nasional Bidang Seni Budaya dan Pariwisata 2010 ini, mulai dari anak usia dini (4 tahun) sampai mahasiswa.
Dari sanggar itu, beberapa kali terlibat pada pertukaran pelajar nusantara. Yuni menyebut di antaranya ke Kalimantan Timur (2009), Lampung, dan Bukittinggi (Sumbar). Bahkan peserta didiKnya juga terlibat dalam pertukaran pemuda di Batam dan Palu.
Tari Melayu
Baik pada pertukaran pelajar maupun pertukaran pemuda, mereka dikhususkan mempresentasikan seni tradisional lokal. “Tentu saja tari Melayu yang menjadi andalan, selain seni dan budaya dari berbagai etnis di Sumut lainnya,” imbuh Yuni.
Sebagai pimpinan sanggar, manajemen waktu sangat menentukan keberhasilan anak didiknya. Makanya sejak Jumat hingga Minggu, aktivitas di sanggarnya tidak pernah sepi. Untuk yang remaja, mereka bahkan berlatih hingga malam, khususnya pada Sabtu malam.
Layaknya penari dari sanggar mana pun, penggiat tari di Sanggar Cahaya Permata dan Sanggar Tirtadeli juga kerap diundang mengisi acara-acara resmi di pemerintahan daerah. Makanya setiap penari wajib mahir tari persembahan. Sebab tari Melayu yang satu ini memang dikhususkan untuk menyambut dan sebagai tabik salam kepada tamu kehormatan.
Mereka juga kerap mengisi acara yang digelar berbagai kalangan. Termasuk untuk resepsi pernikahan dan sunatan yang digelar warga. Baru lalu, Sanggar Tirtadeli tampil pada puncak perayaan tujuhbelasan di Kecamatan Tanjung Morawa. Sementara Sanggar Cahaya Permata membawa anak didiknya dari SMKN 1 Lubuk Pakam tampil sebagai pembuka lomba Cerdas Cermat Bidang Pertanan sejajaran Kodam I/BB di Balai Benih Induk Padi Murni, Selasa (29/9).
Gemulai lembut gerak jaka dan dara saat menari Melayu yang mengadopsi simbol-simbol alam, memanjakan mata yang sayang untuk dikedipkan. Siapa pun tidak ingin Melayu hilang di bumi. Masihkah kita tidak peduli dengan keberadaan sanggar-sanggar yang setia menjaga tradisi agar tetap lestari ini?