Mesur-mesuri pada Budaya Karo

Oleh: Antomov Purba

BUDAYA suatu cara hidup, berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke ge­nerasi. Budaya terbentuk dari ba­nyak unsur yang rumit. Termasuk sistem agama dan politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakai­an, bangunan dan karya seni.

Be­gitu luas makna dari sebuah bu­daya, sehingga perlu senanti­asa dipublikasikan. Dia akan men­jadi pemahaman bersama. Sa­lah satunya budaya ‘Mesur-me­suri’ pada masyarakat Karo.

Budaya mesur-mesuri ini ma­suk dalam kategori budaya tua su­ku Karo. Sesungguhnya sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat karo pada umumnya.

Penting untuk diketahui, karena budaya mesur-mesuri ini memili­ki mitos sebagai pembawa kese­jahteraan dan kesehatan bagi yang melakukannya. Budaya ini biasanya dilakukan bagi ibu yang sedang mengandung tujuh bulan, atau dalam bahasa Karo disebut sedang ‘natang tuah’.

Tujuan dari budaya mesur-me­suri, untuk mempersiapkan si ibu secara psikis agar selamat da­lam melahirkan bayinya. Ba­rangkali ada tekanan-tekanan psi­kis selama ini yang dialami oleh calon ibu dalam rumah tangga­nya. Baik oleh suaminya, mertua­nya dan keluarga dekat lainnya.

Dengan demikian setelah dila­kukannya acara mesur-mesuri ini, segala beban yang ada selama ini sudah ditanggalkan dan selesai. Dalam acara ini diberikan berba­gai macam makanan dan buah yang disukai oleh pihak calon ibu maupun ayah.

Semua makanan disiapkan oleh pihak keluarga ibu dari istri yang menjalani acara mesur-mesuri. Dalam adat Karo disebut “Singalo Bere-bere” dan “Singa­lo Perkempun.

Makanan yang disajikan, biasanya makanan khas Karo utamanya satu ekor ayam utuh digulai dengan gulai khas Karo. Kue khas Karo seperti cim­pa unung-unung dan  tuang, buah kelapa muda utuh dan sebagai­nya.

Tak lupa sebelum menikmati makanan yang disajikan, didahu­lu dengan doa menurut agama dan kepercayaannya. Baru diberi kesempatan kepada pihak calon ibu dan calon ayah. Makan ber­sama beralaskan tikar putih bersih di ruang tersendiri/kamar, kemu­di­an disusul pihak keluarga lain­nya.

Tuhan tetap sebagai junjungan tertinggi dalam setiap budaya karo. Kepada Tuhan tetap dimin­takan keselamatan bagi Ibu, janin, begitu juga keluarga kedua belah pihak dan keluarga yang hadir. Biasanya doa dibawakan oleh petinggi agama, seperti pendeta, penatua atau pekerja pelayan di gereja. Dengan demikian semua­nya komplit baik dari segi budaya dan agama. Tidak ada aturan yang dilanggar dalam pelaksanaannya. Dengan senantiasa mengucap syu­kur kepada Tuhan dan mem­per­cayakan semuanya kepada­Nya diharapkan semuanya akan beroleh berkat dan anugrah yang luar biasa.

Petuah-Petuah

Setelah selesai acara makan bersama, dilakukan acara untuk memberi petuah-petuah. Petuah ini sangat penting. Sang Ibu dan ayah dapat siap mental. Tidak per­lu risau dalam mengha­da­pi persalinan maupun pasca persa­linan. Dalam melakukan perawa­tan terhadap buah hati yang telah Tuhan anugrahkan kepada kelu­ar­ga mereka.

Biasanya yang berbagi penga­la­man-pengalaman adalah para ibu yang sudah memiliki penga­laman waktu melahirkan. Dari semua keluarga yang hadir sesuai dengan posisi adatnya (Tutur Siwaluh) dalam keluarga terse­but, yang dipandu oleh “Anak Beru”.

Anak beru berperan sebagai pro­tokol yang memandu acara adat mulai dari awal sampai se­lesainya acara. Tujuannya agar acara pemberian petuah (ajar) ter­hadap pasangan yang akan dikarunia keturunan dapat terlak­sana dengan baik dan teratur (er­torosen).

Pada acara memberikan petu­ah, di lakukan tak ubahnya seperti acara adat pesta perkawinan Adat Karo. Setiap posisi adatnya (Tutur Siwaluh) pada keluarga, membe­rikan nasiha-nasihat agar sang ibu telah siap mental. Secara phi­sik dalam menghadapi persalinan termasuk kepada suaminya agar lebih memperhatikan istrinya yang kemungkinan bisa saja lahir diluar dari perkiraan semula.

Semua petuah-petuah harus di­dengarkan (tinggelken) oleh ke­dua mempelai demi kebaikan me­reka dan demi menghormati se­mua keluarga yang hadir. Dalam adat Karo tingkatan-tingkatan posisi adat (tutur) memiliki makna yang sangat berharga (mehaga). Karenanya harus dihormati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Pada akhir acara, sebelum ke­luarga pulang ke rumah masing-masing, khusus untuk keluarga dari pihak calon ibu baik “Singalo Bebere” dan “Singalo Perkem­pun” diberikan beras secukupnya. Juga uang sebagai pengganti pem­belian ayam yang dimasukkan ke dalam Sumpit (kantong beras dari anyaman pandan). Karena segala makan dan minuman khusus untuk calon ibu dan calon ayah merupa­kan tanggung jawah mereka untuk menyiapkannya.

Tempat dan makanan maupun minuman dan undangan termasuk makanan kecil untuk keluarga yang hadir dalam acara tersebut menjadi tanggung jawab dari ke­luarga calon ayah.

Mulia

Betapa sakral dan mulia se­sungguhnya budaya mesur-me­suri ini. Karena tujuannya yakni untuk kesejahteraan dan keseha­tan yang melakukannya.

Selain itu juga memupuk rasa persaudaraan yang semakin erat. Karena pelaksanaannya mem­bu­­tuhkan partisipasi dari semua pihak. Baik keluarga lelaki (ayah) maupun keluarga perempuan (ibu). Tak lupa acara tersebut juga meminta berkat dan rahmat, serta anugrah dari Tuhan yang Empunya kehidupan.

Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya penting dan sakral seperti ini. Tujuannya agar setiap mereka yang mengandung serta memasuki masa kandung­an di usia tujuh bulan, senantiasa sehat. Mendapatkan berkat dan rahmat yang berlimpah dari Tu­han.

Selain itu juga mendapatkan petuah-petuah dan tukar penga­laman yang tentunya memiliki makna berarti bagi mereka yang akan menjalani persalinan se­telah usia kandungannya sembi­lan bulan. Mreka yang membe­rikan pengalaman serta pe­tuah, pastinya tak lupa senan­tiasa men­doakan mereka yang akan meng­hadapi persalinan. Agar tidak ta­kut dan senantiasa memohon kekuatan kepada Tuhan.

Karenanya generasi kini dan akan datang harus segera meng­gali budaya mesur-mesuri. Budaya ini masih dapat terus di­wariskan dan dilakukan kapan pun dan dimanapun.

Kepada para tetua yang me­nguasai secara jelas dan tepat uru­tan demi urutan pelaksanaan budaya mesur-mesuri ini. Agar membuat buku sebagai panduan bagi generasi yang lebih muda.

Dengan demikian budaya ini akan terus hidup dan tidak terkikis seperti budaya-budaya yang lain. Harapan kita budaya Karo akan terus dapat eksis sebagai wadah untuk mempererat persatuan dan kesatuan (kiniersadaan) masya­rakat Karo dan masyarakat dari latar belakang budaya yang lain. Selain itu nama Tuhan juga se­makin dipermuliakan dan diting­gikan dari pengetahuan dan bu­daya yang kita miliki. Kita yakin budaya yang terus terjaga akan membawa kita menjadi lebih ba­ik dan berkarakter. Semoga.

Penulis; Penggiat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi