Defamiliarisasi sebagai Tugas Penyair

Oleh: Muhammad Husein Heikal

PUISI merupakan produk buatan penyair. Sebagai produsen, tentu penyair “bebas” meracik pui­sinya sedemikian rupa. Bisa saja puisi yang dihasilkan dalam bentuk in/konvensional, ir/rasio­nal, kongkret, kontemporer, bah­kan kacau-balau.

Afrizal Malna, memanfaatkan “hak”-nya sebagai penyair, yaitu memproduksi puisi dengan cara “sebebas-bebasnya”. Seseorang menulis untuk keluar dari aku/ dan ia berjalan/ menuju sebuah pagar tinggi. tebal. tebal menjadi seekor binatang dalam kata berlalu.

Jelaslah, penyair memiliki “ke­bebasan” menggunakan kata-kata dalam berkarya. Penyair secara pro­ses juga mempunyai tugas se­bagai seorang defamiliarisasi. Kon­sep ini awalnya dikemukakan Victor Borisovich Shklovsky (1893-1984), menyatakan: “Defa­mi­lia­rization is found almost everywhere form is found.”

Kutipan tersebut berarti “Hal-hal yang sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari di­ubah fungsi ataupun pemahaman­nya menjadi asing dan ganjil atau aneh.” Tujuannya agar pembaca lebih tertarik, dan lebih menyadari hal-hal yang luput disekitarnya.

Dalam penelitiannya terhadap sastra, Shlovsky memandang ka­rya sastra berdasarkan kesastra­annya. Bukan sekedar isi kulitnya saja. Sifat kesastraan ini muncul dengan cara menyusun dan me­ngolah bahan cerita yang bersifat netral atau biasa (fabula).

Cara pengolahan atau penyula­pan ini akan menghasilkan karya sastra yang indah (suzjet). Dimak­sud dengan fabula adalah bahan dasar berupa jalan cerita menurut logika dan kronologi peristiwa. Se­dangkan suzjet, sarana untuk men­jadikan jalan cerita menjadi ganjil atau aneh. (Dick Hartoko, 1989: 33).

Mengaitkan puisi dengan teori suzjet, memang begitulah seharus­nya. Puisi harus bisa menjadi karya sastra yang unik, menarik dan aneh. Penyair dalam meracik ra­muan puisi harus menjadi “pa­wang” bagi kata-kata dalam pui­sinya.

 Memilih kata-kata (diksi), sehingga dapat menyadarkan, menggemaskan, menjengkelkan, memabukkan, bahkan meracuni pembacanya. Dengan demikian, barulah penyair tersebut dianggap cerdas dan “berhasil” meramu pui­sinya. Gaya, teknik, bahasa yang menonjol atau menyimpang dari yang biasa, menggunakan ca­ra yang baru. Membuat sesuatu yang umum menjadi asing, akan membuat puisi itu menjadi “agre­sif” dan berpengaruh (setidaknya pada jiwa) pembacanya.

Licentia Poetica

Puisi terbentuk dari bahasa. Tanpa adanya bahasa, tidak akan terbentuk puisi. Bagi penyair, ada semacam istilah kewenangan is­timewa dalam memperlakukan ba­hasa. Istilah ini dikenal sebagai licentia poetica. Terangnya, licentia poetica ialah “kebebasan” seorang sastrawan untuk menyim­pang dari kenyataan. Dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehen­daki (Shaw, 1972:291).

Pada sisi lain (Sudjiman, 1993: 18) menyatakan, licentia poetica kurang tepat jika diterjemahkan se­bagai “kebebasan”. Mungkin lebih tepat “kewenangan”. “Kebe­basan” memiliki konotasi semau-maunya, sedangkan “kewena­ng­an” bermakna ada keabsahan.

Mendasari dua pendapat di atas, istilah licentia poetica me­nyiratkan adanya semacam dis­pen­sasi bagi penyair untuk tidak mematuhi tata/norma kebahasa­an. Dispensasi yang diberikan pa­da penyair, agar penyampaian ga­gasannya dalam usaha menghasil­kan efek diinginkan dalam puisi yang dihasilkan. Dengan kelong­ga­r­an dari norma tata bahasa ini, apakah penyair bisa menjalankan tugas sebagai defamiliarisasi? Belum tentu!

Kebebasan (saya lebih sepen­da­pat versi Shaw) dari aturan ba­hasa konvensional, tidak dapat di­jadikan tonggak. Apakah puisi ter­sebut berhasil “mengungkap apa yang tidak terungkap.”

Penyair William Worthworth pernah mengatakan, puisi sebagai the best words in the best order (ka­ta-kata terindah dalam bentuk terindah). Tidak harus begitu se­benarnya. Indah dalam pandangan Worthworth terlalu terpokok pada segi struktural atau tipografi puisi. Padahal, puisi haruslah memiliki pesan dan “efek samping” bagi pem­bacanya.

Tentunya untuk menimbulkan dampak ini harus diolah dalam kata-kata indah sedemikian rupa oleh penyair. Puisi itu layaknya per­mainan kata, menjadi me­dium antara penulis dengan pembaca­nya. Disinilah tugas penyair se­bagai defamiliarisasi.

“Membuat sesuatu yang fami­liar/mudah dicerna menjadi tak be­gitu saja ditangkap maknanya dengan sekali baca.” (Yusri Fajar, Horison XLIX/2/2015).

Dengan tugas defamiliarisasi, terungkap kompleksitas penyair se­sungguhnya. Sebagai produsen puisi, penyair juga harus memper­timbangkan fungsi/manfaat bagi pem­baca. Contoh dalam puisi “Sal­ju” karya Wing Kardjo (1937-2002).

Ke manakah pergi/ mencari matahari/ ketika salju turun/ pohon kehilangan daun.// Ke manakah jalan/ mencari lindungan ketika tubuh kuyup/ dan pintu tertutup.// Ke manakah/ lagi mencari/ api, ketika bara hati// Padam, tak/ berarti./ Ke manakah/ lari selain mencuci diri.

Perasaan yang terkandung da­lam puisi diatas, (tafsir pribadi saya) cenderung pada nilai religiu­sitas (ketuhanan). Kehidupan pe­nyair yang lama mukim di Jepang, terpresentasikan dalam puisinya. Nilai kepercayaan pada yang suci, (ke manakah/ lari selain mencuci diri). Menunjukkan eksistensi manusia selalu akan kembali kepada yang suci. Inilah yang di­sebut “bermanfaat bagi pemba­ca”. Memberi penerangan bahwa saat telah pergikehilanganmen­carikuyuptertutup, dan tak ber­arti, hanya mencuci diri-lah se­bagai solusi atas segala cobaan yang dihadapi.

Identitas Penyair

Seni (dalam hal ini puisi) adalah ruh manifestasi keindahan manu­sia yang dituangkan dalam proses penciptaan. Dia lahir bersamaan de­ngan kelahiran manusia itu sen­diri. Art is a old as mankind (seni berumur setua manusia).

Dengan seni, manusia berima­ji­nasi. Dapat melahirkan karya se­suai keinginannya, berupa lukisan, patung, puisi dan lainnya. Melalui karya lukisan dia disebut pelukis, dengan patung dia disebut pema­tung, dengan puisi dia disebut se­bagai penyair.

Identitas penyair selama ini menjadi absurditas. Seorang pe­nyair tidak perlu orang mengakui bahwa ia adalah penyair. Dia juga tidak perlu mengukuhkan diri se­bagai seorang penyair. Tidak ada istilah pelantikan penyair. Penyair itu manusia bebas, begitulah pan­da­ngan masyarakat.

Tak jarang, persepsi publik ter­hadap penyair berorientasi negatif. Seseorang memilih jalan hidup menjadi penyair, tersebab dia tak memiliki keahlian dan kemampu­an apapun! Benarkah demikian? Saya kira tidak!

Taraf imajinasi setiap orang ten­tu berbeda. Seorang penyair haruslah mempunyai daya imaji­nasi yang tinggi. Imajinasi yang di­hasilkan bisa aneh, asing, ek­sentrik atau bohong. Imajinasi tetap berpijak pada realitas.

“Mana mungkin ilham me­nyam­barmu dan imajinasi mengu­rai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu rea­litas” tulis Sutardji dalam sebuah esainya. Dengan didasari realitas pula seseorang memantapkan diri menjadi penyair. Bukan hanya de­ngan angan-angan belaka, sese­orang berangkat menjadi penyair.

Identitas pada diri penyair yang tidak bersungguh-sungguh menja­di penyair bisa memunculkan ke­gelisahan. Seringkali penyair “jadi-jadian” ini mempertanyakan jati diri kepenyairannya.

Benarkah aku memilih jalan penyair? Bagi yang mengukuhkan niatnya menjadi penyair akan tetap tegar bagi karang. Chairil Anwar sejak di Medan pada usia 15 tahun dengan sepenuh hati memantap­kan dirinya masuk dunia kepenya­iran. Baru pada tahun 1941 dia per­gi ke Jakarta sebagai penyair yang matang, sekaligus dengan sikap dan kepribadian yang ter­arah.

Sekitar dua-tiga tahu di Jakarta dia meledakkan “bom” yang di­bawanya dari Medan. Chairil men­jadi seorang penyair besar, ter­nama dan buah bibir dimana-ma­na. (Damiri, 2014:101).

Demikianlah, ke-revolusioner-an penyair yang memliki kepia­wai­an mengolah kata-kata menja­di luar biasa. Semua berawal dari sikap dan kesungguhan meman­tapkan diri menjadi seorang pe­nyair. Jadi sekarang tentukan, apa­kah anda memilih menjadi penyair atau tidak!? Jika tidak, yang bukan penyair tidak ambil bagian!

()

Baca Juga

Rekomendasi