Oleh: Jekson Pardomuan
“Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?”- Yakobus 2 : 20
Apa pendapat Anda ketika bertemu dengan orang bodoh? Mungkin yang ada di benak Anda adalah bahwa orang tersebut masih bisa diubah dan diarahkan kembali ke jalan yang benar dan mengatasi masalah kebodohannya. Bagaimana pula kalau bertemu dengan orang bodoh yang bebal? Nasehat apa pun akan masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan atau sebaliknya. Tak ada kata-kata yang tinggal dan bisa mengarahkannya untuk berubah menjadi orang yang benar dan taat terutama kepada Tuhan.
Orang bebal memang sering disamakan dengan orang bodoh. Kebodohan terbesar dari orang bebal adaah: ia berpikir dirinya pandai, bahkan ketika seorang bijaksana bicara dengan orang bebal, maka ada dua orang bebal yang sedang berbicara. Artinya orang yang bijak tidak ada untungnya untuk bercakap-cakap dengan orang bebal apalagi berdebat dengannya. Yang lebih buruk dari orang bebal adalah kesombongannya. Ia terlalu sombong untuk mendengarkan orang lain bahkan teguran atas dosanya, karena ia selalu merasa dan berpikir bahwa dirinyalah yang benar.
Pengalaman menarik hari ini adalah, ketika mengajar di depan sebuah kelas ada anak yang suka memotong pengajaran gurunya saat menerangkan mata pelajaran. Setiap kali guru menerangkan, maka si anak tadi acapkali memotong pembicaraan gurunya. Anak seperti ini akan menjadi bibit atau calon orang yang bebal yang tidak menghargai orang lain saat berbicara.
Anak seperti ini, jika tidak secepat mungkin diubahkan atau disadarkan, maka kelak ketika ia besar benih kebebalan yang sudah tertanam di otaknya akan tumbuh subur dan berkembang. Maka orang seperti ini kelak akan menjadi pembangkang, merasa diri paling benar, tak pernah mau mendengar nasehat teman atau orang yang lebih tua. Ironis! Kalau kita menemukan anak seperti ini, kita harus segera menggiringnya ke jalan yang benar dan ‘menyetirnya’ agar selalu di jalan Tuhan.
Perlu diketahui, bahwa orang bebal bukan hanya sekadar bodoh tetapi orang yang tidak mau ditegur atau tidak mau menerima ajaran yang benar. Ia adalah orang yang sombong dengan kebodohannya, dan dalam kebodohannya itu, ia merasa diri pandai. Sungguh sangat menyedihkan orang yang seperti itu.
Amsal 26 : 4 dan 5 menuliskan “Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia.” dan “Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak.” Kalau kita tidak menjawab, kita tidak mempunyai resiko jadi sama seperti dia, tetapi kalau kita menjawab, kita akan menghalangi orang bebal merasa dirinya pandai. Mungkin pelajaran disini adalah bagaimanapun kita bertindak menghadapi orang yang bebal, tidak akan ada untungnya bagi kita. Lebih lanjut dituliskan bahwa jika kita meminta tolong kepada orang bebal untuk menyampaikan pesan atau berita (Amsal 26 : 6), “Siapa mengirim pesan dengan perantaraan orang bebal mematahkan kakinya sendiri dan meminum kecelakaan.” Orang bebal selalu mengulangi kebodohan yang sama. Ia tetap tinggal pada kebiasaan dan kepercayaannya yang buruk, sehingga Amsal mengatakan bahwa orang bebal, “Seperti anjing kembali ke muntahnya, demikianlah orang bebal yang mengulangi kebodohannya.” (Amsal 26 : 11).
Sesungguhnya, tak ada seorang pun yang mau disebut bebal atau bodoh. Ketika kita membaca Alkitab tentang orang Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Kanaan, perilaku mereka kita katakan sebagai bebal. Kenapa? Karena mereka selalu memper-salahkan Tuhan, padahal mereka diselamatkan oleh Tuhan dari per-budakan. Melihat perilaku mereka yang bebal itu, Tuhan pun murka dan menghukum orang-orang Israel. Bumi terbelah, ada yang mati dipagut ular, kelaparan, kena tulah, dan hukuman lainnya.
Judul renungan ini “Janganlah seperti orang bebal” paling tidak mengingatkan kita untuk tidak memelihara sikap degil, sikap mau menang sendiri dan sikap merendahkan orang lain. Ketika hari ini kita merendahkan orang lain, kita tidak tahu dalam waktu tertentu kita yang akan direndahkan orang lain juga.
Belajar menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain adalah dasar utama dalam membentuk karakter kita menurut firman Allah. Dimana kita selalu berpedoman pada firman yang berkata “Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Lukas 10 : 27).
Kita harus sadar, bahwa pada dasarnya kebanyakan dari kita punya perilaku atau konsep hidup yang bebal. Buktinya, kita selalu mengaku takut akan Tuhan, tetapi perilaku hidup kita memperlihatkan bahwa kita tidak takut Tuhan. Artinya, takut Tuhan itu hanya sebatas mulut. Jika kita benar-benar takut Tuhan, mana mungkin gereja ribut, jemaat saling menjatuhkan dan saling menghancurkan? Kalau takut Tuhan, mana mungkin pengurus gereja terlibat korupsi, mana mungkin yang mengaku anak Tuhan melakukan perbuatan yang melanggar aturan firman Tuhan.
Janganlah seperti orang bebal, yang diingatkan selalu merasa paling benar. Ditegur merasa paling pintar. Firman Tuhan Galatia 5 : 14 menuliskan “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!"
Amin.