Oleh: Gewe Situmorang.
Pernah ada peristiwa—sebenarnya lebih tepatnya wacana—yang membuat saya geleng-geleng kepala. Wacana itu adalah mencuatnya perdebatan kering antara menghapus, mengosongkan, atau mewajibkan pembuatan agama pada KTP.
Saya semakin menggeleng lagi ketika ada sekelompok tertentu yang naik pitam kalau saja nanti agama benar-benar dihapus dari KTP. Kata mereka, negeri ini memang bukan negeri agama. Hanya, kata mereka lagi, negeri ini adalah negeri yang beragama. Saya bergurau dalam hati, apa sih agama negeri ini? Saya bertanya lagi, apakah membikin agama pada KTP menjadi indikator keberimanan manusia kepada Tuhan?
Aduh, banyak pertanyaan di kepala saya yang njelimet-nya setengah mamus. Maka, saya buka kembali KBBI. Di sana, saya tidak mau bertele-tele. Yang pasti, kata kunci agama versi KBBI adalah ajaran. Tentu pertanyannya adalah ajaran apa? Ajaran yang mengatur tata cara keimanan.
Sampai di sini, saya kembali menggeleng-geleng. Bagaimana tidak, ternyata KBBI mengartikan agama itu selayaknya sebuah seperangkat aturan. Dalam versi sekulernya, barangkali agama merupakan undang-undang yang apabila dilanggar akan menimbulkan celaka. Entah terlalu berlebihan, saya menganggap sikap mereka yang protes kalau agama dihilangkan dari KTP memang benar. Hal itu demi menjaga UU.
KBBI atau Oxford?
Akan tetapi, saya tidak puas. Saya meyakini bahwa agama itu bukan sesuatu yang dikonkretkan. Dia bentuk yang abstrak. Kalaupun ada tata caranya, itu bukanlah bentuk kaku. Maka, saya mencoba melihat pengertian agama dari kamus lain. Kali ini, saya membuka Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Di sana, agama diartikan tidak bertele-tele. Jika kata kunci agama versi KBBI adalah ajaran, pada versi kamus Oxford justru terletak pada iman dan kepercayaan. Iman pada apa? Pada keberadaan kekuatan adikodrati yang mencipta semesta.
Jadi, entah ini, sekali terlalu berlebihan, yang pasti saya lebih mengimani bahwa agama itu bukan semata ajaran. Dia adalah iman. Maka, tentu saja bagi saya KBBI dalam konteks agama menjauh dari esensi dan kamus Oxford malah mendekati esensi.
Di sisi lain—tentu saja ini masih menurut saya—KBBI menjabarkan agama itu secara serampangan. Lebih serampangan lagi ketika KBBI mengartikan agama secara luas, tetapi pada negerinya jumlah agama justru dibatasi sampai enam hingga detik ini. Lihatlah, dalam jabarannya, KBBI membentuk lima frase contoh agama, ada agama abrahamik, agama budaya, agama langit, agama samawi, agama timur, dan agama wadi. Akan tetapi, di sinilah masalah itu bersarang. KBBI mengakui banyak agama, tetapi negeri yang berfondasi pada KBBI justru mengakui 6 agama. Maka, marahlah para penghayat ketika agama mereka tidak diakui, setidaknya di KTP. Disuruh mengisi, mengisi apa? Disuruh mengosongkan, emangnya mereka atheis?
Sekali lagi, agama telah terlanjur didangkalkan maknanya. Agama yang adalah esensi digeser menjadi sensasi. Jadilah kalau mengekor pada KBBI, agama menjadikan kita berpegang pada agama yang mendewakan tata cara. Agama menjadi acara. Jika melebar, apalagi membelok dari tata cara, kita menyebutnya kafir. Dalam hal ini, agama menjadi semacam pesta. Terlepas pestanya huru-hara atau tidak, yang penting tidak lepas dari tata cara.
Beda halnya kalau mengekor pada kamus Oxford. Karena di sana agama dipersepsikan sebagai iman, tentu dia menghadirkan Sang Khalik. Urusan tata cara menjadi urusan belakangan. Bagi mereka, banyak jalan menuju Roma menemui maknanya yang paling hakiki. Di sini, yang beda tata caranya tidak lagi disebut sebagai kafir, tetapi sebagai saudara.
Dengan pengertian ini, kekerasan atas nama agama lantaran berbeda tata caranya menjadi sesuatu yang haram. Beda sekali, agama versi KBBI bisa dipelesetkan sebagai legitimasi menghakimi yang beda tata caranya, sedangkan agama versi Oxford menerima kenyataan perbedaan. Sekarang, yang mana kita pilih?
Redefinisi Agama
Saya tidak mau memaksakan. Saya pun tak mau masuk pada kontroversi. Hanya perlu bagi kita meredefinisi agama itu sebagaimana mestinya. Jika dulu patokan utamanya tata cara, ada baiknya kita berpatok pada iman. Jika harus berdebat, kita perlu memikirkan kembali dengan perumpamaan sederhana. Jika bapak dalam sebuah keluarga dapat dipersepsikan sebagai Tuhan dan anak-anaknya sebagai umat, apakah kita yang anak-anak dari bapak tadi mempunyai nama yang sama? Tidak! Lantas, apakah karena kita mempunya nama yang beda lantas memosisikan kita sebagai anak yang mempunyai ayah yang beda? Tidak juga, bukan?
Hanya, nama mereka kini berbeda sebagaimana kita merupakan anak-anak yang mempunyai nama masing-masing. Ya, begitulah agama. Dia nama yang indah, kitalah kemudian yang mengotorinya dan mengartikannya secara spesial pula menurut kita masing-masing. Maka, terjadilah keributan, termasuk karena KTP baru-baru ini. Oh!***
Penulis adalah alumnus FBS-UNIMED dan Staf Pengajar di Prosus Inten Medan.