Jejak Prostitusi di Ipoh

Oleh Dedy Hutajulu

DUA gadis muda berjalan santai memasuki sebuah lorong di kota Ipoh, Malaysia. Kedua gadis itu mengenakan celana pendek. Jins biru. Sambil tertawa keduanya bergandengan menyelinap masuk ke sebuah toko bunga. Tawa dan bahak kentara dari dalam toko itu. Dari jauh, azan sayup-sayup terdengar.

Di sepanjang lorong itu berdempet rumah toko (ruko) milik orang Tionghoa. Ada yang jualan bunga, yang jualan kue-kue. Lainnya, berniaga mainan dan asesoris. Namun, ada yang ganjil, di pintu masuk lorong itu, terpampang selembar poster besar dari logam. Poster bergambar wanita muda berparas manis mengenakan kimono duduk dengan pose menggoda. Ada maksudnya?

Seperti mengerti rasa penasaranku, Abdul Najib, pemandu wisata angkat bicara. Katanya, lorong tersebut bernama Jalan Panglima. Di jalan ini terselip sebuah kisah prostitusi, perjudian dan narkoba 50-an tahun silam. Poster itu adalah penandanya.

Dulu, sambung Najid, sebelum menjadi kota yang makmur, Ipoh hanya sebuah perkampungan biasa di daerah pesisir, Malaysia. Dibukanya tambang biji timah telah mengubah perekonomian masyarakat dan kota itu. Jauh sebelum timah ditambang, masyarakat cenderung hidup dari bertani dan berladang.

Dan nasib-nasib peladang itu tak ubahnya dengan petani di negeri lain. Setiap kali panen, mereka kerap mabuk-mabukan. Di Jalan Panglima inilah mereka membeli alkohol, mencari wanita untuk melepaskan birahi dan bermain kartu.

Kala itu, terang Najid, lokasi Jalan Panglima dijadikan lumbung-lumbung hasil ladang. Dan prostitusi terjadi di antara tumpukan hasil ladang itu. Desah, keringat dan nafsu buru memburu dengan waktu. Segala aktivitas itu akhirnya raib ketika lumbung-lumbung itu runtuh digulung badai.

“Lumbung-lumbung itu dulu disewa dari seseorang. Ketika sudah runtuh pemilik lahan menjualnya dengan tarif sangat mahal. Tak ada dari petani itu yang sanggup membeli, sehingga dijual kepada orang China yang mampu membayarnya,” terang Najid.

Sejak runtuhnya lumbung itu, aktivitas prostitusi dan perjudian serta sarang opium pun raib dari lokasi tersebut. Orang-orang Tionghoa yang membeli lahan tersebut kemudian mendirikan ruko-ruko. “Saya sudah lama berjualan di sini. Orang ramai datang sekadar minum dan nongkrong,” kata John (60) dalam bahasa Inggris.

John, seorang bule yang mengaku pernah bekerja sebagai insinyur permesinan, lalu pernah bekerja di bagian navigasi militer AS, sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka toko minuman di kota Ipoh. Ia mengaku tak takut membuka usaha di pinggiran Lorong Panglima yang dulu justru, sarang prostitusi.

Jason Tio (30), pedagang kue tahu menyebut, Jalan Panglima kini justru telah menjadi lokasi favorit bagi pelancong karena di sana ditumbuhkan satu tradisi-tradisi makan ala tukang becak yaitu menggunakan bangku pendek sebagai tambahan untuk berjongkok di atas kursi panjang. “Prostitusi itu sudah lama sekali. 

Di sini sekarang tumbuh usaha niaga. Kami ingin mempertahankan kuliner-kuliner yang khas di kota ini,” ucapnya.

Abd Raheem Mohamad Managing Director dan CEO Destination Perak mengatakan, pihaknya sedang menjadikan bangunan-bangunan tua sebagai lokasi kuliner untuk tujuan wisata. Tak terkecuali jalan-jalan yang sarat cerita sejarah.

Dato’ Nolee Ashilin Mohamad Radzi, Pengurus Pelancongan, Kesenian dan Kebudayaan Perak menambahkan, Jalan Panglima dengan sejarah prostitusi di sana baku kait dengan sejarah tambang biji timah di Ipoh. “Daerah yang sarat sejarah, kami jadikan tujuan pelancongan supaya orang bisa menikmati sejarah dengan enak,” pungkasnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi