Oleh: Fatmin Prihatin Malau.
Ketika itu belum ada hotel berbintang dengan bangunan menjulang tinggi di depan Taman Bina Budaya Medan (TBBM). Kini bernama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) di Jalan Perintis Kemerdekaan (dulu Jalan Jati) Medan. Lalulintas di depan TBBM juga masih sepi, kenderaan umum melintasi jalan itu Sudako, Bemo dan Kobun. Di TBBM itu setiap petang ada kegiatan kesenian dan terkadang siang hari ada diskusi sastra.
Aktivitas sastra, tari dan musik lebih sering diadakan siang dan petang hari. Aktivitas teater dilakukan pada malam hari. Poster besar hasil lukisan Hadi RA tentang pementasan yang dipentaskan grup teater selalu terpampang di depan TBBM menghadap ke Jalan Perintis Kemerdekaan. Poster itu layaknya seperti poster film di gedung bioskop. Bentuknya hampir sama, ada judul pementasan, para pemain dan penata artistik serta jadwal pementasan.
Grup Teater Nasional Medan yang akrab disebut Tena paling sering terpampang poster pementasannya dengan menampilkan teater improvisasi. Para pemainnya harus mampu berimprovisasi dalam pementasan itu. Begitu ciri khas pementasan dilakukan Tena yang didirikan pada 28 Oktober 1963 oleh lima anak muda berjuluk Pandawa Lima yakni Burhan Piliang (alm), Mazwad Azham (alm), Iskak. S (alm), Rusli Mahadi dan Sori Siregar.
Kini, Tena sudah berusia 52 tahun dengan semboyan “akrab ke dalam, simpatik ke luar” mencatatkan dirinya sebagai grup teater modern tertua di Indonesia. Tena kala itu menjadi barometer bagi grup-grup teater lainnya di Sumatera Utara. Banyak grup teater lahir dari para anggota Tena.
Sejak didirikan, Tena banyak mentas dengan naskah drama karya penulis besar dalam dan luar negeri. Karya Taguan Hardjo berjudul “Garis Pisah” merupakan pementasan pertama Tena tahun 1963. Dipentaskan di Balai Prajurit Jalan Rumah Bola Medan (Kini menjadi Gedung BCA, Jalan Bukit Barisan Medan). Dua tahun kemudian mementaskan naskah karya Ionesco berjudul “Raja Mati.”
Berikutnya tahun 1966 naskah berjudul “Jiwa Dari Tanah Air” karya Emanuel Robles diadaptasi Djohan Arifin Nasution. Tahun 1968 “Rashomon” karya seorang penulis besar Jepang. Tahun 1969 karya Djohan Arifin Nasution berjudul “Ma Ma Ma, Ba Ba Ba, Wa Wa Wa” berlanjut dengan naskah berjudul “Sedetik Bersama Tuhan” karya Z. Pangaduan Lubis dan “Rimba Cermin-Cermin” juga karya Z. Pangaduan Lubis.
Berkat karya-karya yang dipentaskan Tena, tahun 1970 diundang tampil di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tena mementaskan naskah “Rashomon.” Tahun 1971 naskah berjudul “Yang Di dalam” karya Burhan Piliang dipentaskan di Gedung Kesenian Jalan Bali Medan dekat Titi Gantung.
Karya Arifin C. Noer berjudul “Kapai-Kapai” tahun 1976, naskah “Mega-Mega” karya Arifin C. Noer tahun 1977, naskah “Pencuri Kepincut” hasil saduran Taguan Hardjo dari karya Moliere tahun 1977, naskah “Nafsu Di Bawah Pohon Elm” hasil terjemahan Djohan A. Nasution dari karya George Bernard Show tahun 1978. Naskah “Dipenegoro” karya Taguan Hardjo tahun 1994, karya Ikranegara tahun 1988 berjudul “Tok Tok Tok,” dan naskah “Setan Dalam Bahaya” hasil terjemahan Ali Audah.
Kesemuanya menandakan Tena terus mentas secara produktif. Ditambah dengan berbagai pementasan improvisasi yang kala itu sangat banyak peminatnya sebab tampil bersahaja, ringan dan lucu. Pementasan improvisasi memberi warna baru yang segar bagi para menikmat seni pertunjukan di Kota Medan.
Tena Terus Ada
Tena terus ada dalam usianya setengah abad lebih. Banyak anggota Tena telah meraih berbagai prestasi seperti Burhan Piliang (sutradara andal), Dahri Uhum Nasution (aktor dan sutradara), Idris Pasaribu (novelis dan aktor), Darwis Rifai Harahap dan lainnya. Buoy Hardjo pernah memimpin Tena membuat diperhitungkan di Indonesia, tidak sekadar produktif saja.
Sejumlah nama pernah singgah di Tena sejak era tahun 60-an yakni Taguan Hardjo (alm), Nuriah. D, Wido Hardjo (alm), Bimo Hardjo, Ifantiansyah Hakim, Rusli A. Malem (alm), Zatako (alm), Zakaria M. Passe (alm), Naswan Effendi (alm), Z. Pangaduan Lubis (alm), Syarief Siregar, N. Hairis, Ucok Subakti (alm), Sangkot Panjaitan, Zainuddin. A, Idris Pasaribu, Todung Mulya Lubis, Jaya Arjuna, Syamsul Bahri (alm). Pernah singgah juga Abdillah (mantan Walikota Medan), Surya Dharma Lubis (alm), Barani Nasution, Juliani Lubis, Armelia Bahtiar, Damiri Koto, Mawardi (alm), Nurjani, Buniah Selhaf, Bahrum Siregar, Yohaini Zahri, Slamet Khairi (alm), Lahmuddin Mane (alm), Aldian Arifin (alm), Gumriah Lubis (alm), Helmy, Buyung Sabren (alm), Yose Rizal Firdaus, Amran SD, Amran Azis, Debby Debora, Buyung Bizart, Lena Simanjuntak, Erwinsyah, AS Atmadi.
Kemudian Alex Latief, T. Najib Bahadur (alm), Wahidin Noor, Yusrin Yus, Ani, Taty Husein, Ryana Savitri, Sri Wahyuni, Ningsih, Lennny Syahreza, Farida, Dana Sastra, Muchsin Lubis, Bersihar Lubis (Pemred Medan Bisnis), Handono Hadi, Utoyo Hadi, Adek Nasution, Maimun, Ana Damanik, Buyung Bizard, Varah Tampubolon, Edy Tono, Yos Hardiyanto, Tetty Munthe (alm), Nasir Chan, Toto Zulfan (alm), Ady Fala (alm), Khalil, Donny Trisno (alm), Erwin Norman Siregar, Rizaldy Siagian, Zanna, S.Yono (alm), Lina, Hadi RA, Monos RA (alm), Adek Putri, Adi Parmin (alm), Syahrial Felani, Yenni, Rahma, Rani, Jamal, Apri, Yan Amarni Lubis, Burhan Folka, Rosnani Lubis, Wan Hidayati dan banyak lagi yang lain.
Tena terus ada maka kini menjadi sebuah keluarga besar yang harmonis. Menyatu dan ingin diwujudkannya dalam Hari Ulang Tahun ke-52 Tena. Keharmonisan keluarga besar itu diwujudkan dengan mengadakan Seleberasi HUT, Apresiasi Seni dan Pameran Foto Dokumentasi Tena di Ruang Pameran Taman Budaya Sumatera Utara pada 3 Nopember 2015.
Satu catatan penting, Tena didirikan 28 Oktober 1963 tepat pada Hari Sumpah Pemuda oleh lima anak muda disebut Pandawa Lima. Tepat pada Hari Sumpah Pemuda maka akan terus bergelora jiwa mudanya. Bila ini terjadi, maka Tena akan terus ada dari generasi ke generasi. Bukan terhenti pada kenangan penulis saja 28 tahun lalu, Teater Nasional Medan.
Penulis; Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan dan mantan Sekretaris Majelis Kebudayaan PW. Muhammadiyah Sumatera Utara, tahun 80-an aktif di Tena