Oleh: Ali Damsuki. Momentum Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November selalu menjadi kultur masyarakat Indonesia sebagai ajang seremonial belaka, tanpa mengetahui refleksi makna dari hari nasional tersebut. Padahal esensinya, hari tersebut memiliki tujuan tak hanya mengenang jasa-jasa mereka, atas perjuangan mereka dan juga pengorbanan mereka dengan segenap jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan. Akan tetapi, mampu mengimplementasikan ke dalam seluruh lapisan masyarakat dengan konteks kekinian dan sesuai dengan kondisi yang ada.
Nilai kepahlawanan merupakan sesuatu substansial yang ada dalam jiwa pahlawan. Sebab, hal tersebut sebagai preferensi yang akan diimplementasikan kedalam masyarakat secara universal. Ketika flashback terhadap momentum ''Hari Pahlawan" dari tahun ke tahun yang bersifat seremonial. Bagaimana makna nilai pahlawan mampu memberikan kontruksi progresif, baik secara teoritis maupun praktisnya. Sehingga mampu termanifestasikan sesuai dengan esensi makna pahlawan itu sendiri. Hal tersebut merupakan sebuah tanda tanya besar.
Realitasnya, apatisme dari sifat elemen bangsa seperti elit politik yang ditampilkan di setiap performanya. Menunjukkan bahwasanya, nilai-nilai kepahlawanan tidak memberikan kontribusi sedikitpun dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, terjadi kontradiksi antara nilai-nilai kepahlawanan dan segala sesuatu yang dipertontonkan para elit politik kepada masyarakat. Seolah-olah esensi makna pahlawan telah tergantikan dengan kekuasaan dan materi yang cenderung sebagai sebuah euforia.
Padahal, kaum elit politik sebagai salah satu pemimpin dan opinion leader bagi masyarakat. Dan juga tokoh pemecah masalah bukan tokoh bermasalah. Jadi, secara garis besar menentukan baik dan buruk, serta mana yang patut dicontoh dan tidak dicontoh oleh masyarakat. Sehingga, tidak kehilangan panduan nilai-nilai kepahlawanan yang telah dibangun oleh para founding father pada zaman itu. Namun apabila para tokoh elit politik tidak mengindahkan nilai-nilai kepahlawanan tersebut, siapa yang akan menjadi pemimpin dan opinion leader yang mampu mentransformasikan ke dalam masyarakat secara inklusif.
Refleksi Bulan As-Syura
Dapat kita lihat secara faktual, bahwasanya kemerosotan secara mendalam telah terjadi di Indonesia. Nilai-nilai kepahlawanan mulai tersisihkan dari pandangan kaum elit politik sebagai pemimpin bangsa. Sehingga hilang nilai-nilai heroik kepahlawanan dari sanubari elit politik. Tak hanya itu, visi dan konsepsi kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila mulai ditinggalkan dan digantikan dengan arah yang tidak jelas, bahkan cenderung mengagung-agungkan liberalisme, materialisme, individualisme dan kapitalisme. Di lain sisi, ideologi-ideologi trans nasional seperti salafi-wahabi yang anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia juga melakukan intervensi.
Nilai-nilai pengorbanan yang mendasari perjuangan para pahlawan menjadi refleksi diri, pengorbanan jiwa, raga, dan materi dalam menghayati perjuangan para pahlawan tidak dapat diukur dengan apapun. Demi nusa dan bangsa mereka rela berkorban secara kontiniu. Dan juga tidak menjadikan tuntutan apapun bagi generasi selanjutnya.
Peringatan Hari Pahlawan ini, bertepatan dengan bulan Muharram. Ketika kita menilik sejarah, maka bulan Muharram merupakan bulan para lakon perjuangan melawan penindasan, kezaliman dan kebatilan diperankan dengan apiknya. Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib merupakan pahlawan yang mencontohkan nilai-nilai kepahlawanan. Beliau menolak menerima dan mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai pemimpin umat Islam saat itu.
Penolakan beliau bukan tanpa alasan. Yazid, yang mewarisi kekhalifahan dari ayahnya Muawiyah bin Abu Sofyan, banyak merubah syariat yang dibawa Rasulullah SAW. Yang haram dihalalkan, yang halal diharamkan. Yazid menobatkan dirinya sebagai Raja Arab yang tidak boleh ditentang walaupun salah. Oleh karenanya, Sayyidina Husein dengan tegas menolak berbai'at (bersumpah setia) kepada kepemimpinan Yazid.
Sayyidina Husein melakukan perlawanan keras terhadap Yazid dan anteknya yang akhirnya menyebabkan terbunuhnya beliau di tangan pasukan Yazid di satu tempat bernama Karbala pada tanggal 10 Muharam Tahun 61 H. Perisiwa inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Asyura. Asyura merupakan satu contoh revolusi paling dahsyat dan agung sepanjang sejarah manusia. Asyura merupakan simbol perlawanan terhadap kezaliman. Bagi Sayyidina Husein, apapun menjadi kecil nilainya jika disandingkan dengan ajaran Kakeknya, Rasulullah SAW. Karenanya, beliau rela mengorbankan dirinya, keluarganya dan para sahabat setianya.
Dalam konteks ini, apakah para pahlawan sudah melakukan perlawanan keras terhadap penjajah? Cita-cita mereka hanya satu, yaitu Indonesia yang bebas dari belenggu penjajahan. Kemudian, apakah nilai ini masih mencuat di kalangan elite politik dewasa ini? Karena, diantara ratusan elite politik, sangat jarang ada yang masih menunjukkan sikap tanpa pamrih dalam tugasnya, melainkan selalu dengan pamrih. Seperti, KKN yang membelenggu kaum elit politik di pemerintahan
Pahlawan Berdikari
Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih baik. Pahlawan berdikari mampu memberikan inspirasi terhadap rakyatnya, agar mengikuti jejak menjadi "Pahlawan Berdikari" pula. Sehingga, nilai-nilai kepahlawanan akan menggeneralisasi sampai anak cucu kelak. Dalam konteks Asyura dan Hari Pahlawan mengajarkan kita bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi kondisi ketidakadilan, penjajahan dan penindasan.
Dari lain sisi, Asyura dan Hari Pahlawan mengajarkan nilai-nilai untuk hidup dengan karakter, dengan rasa bangga pada keyakinan kita, pada bangsa kita dan yang paling penting, sebuah pelajaran yang membuat kita sadar bahwa kita punya sebuah tugas untuk menyuarakan keadilan dimanapun dan kapanpun. Tidak hanya di bulan Muharram dan hari pahlawan, melainkan setiap saat. Benarlah ungkapan Setiap hari adalah Asyura dan setiap bumi adalah Karbala. Artinya, kapanpun dan dimanapun, kita harus siap melawan segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan.
Sudah saatnya para elite melakukan introspeksi diri sejenak. Sejauh mana nilai kepahlawanan terinternalisasi dalam praktik hidup mereka. Karena, kendati kebutuhan semakin meningkat dan jaman semakin maju, namun justru disinilah semangat kepahlawanan dalam bentuk yang berbeda diperlukan. Elit politik sudah merasakan buah jerih payah para pahlawan.
Sebagai bagian penting dari elemen bangsa ini, mereka juga memiliki tugas untuk meneruskan nilai-nilai heroik itu. Wujud patriotisme yang dituntut tidaklah besar, melainkan dalam keberanian untuk berkorban demi rakyat, sikap peduli dengan situasi, mengedepankan rasa kebersamaan serta menjunjung tinggi kesahajaan dan hidup sederhana. Wallahu a'lam bi al-shawaf. ***
* Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang