Oleh: Lea Willsen. LURUS kutatap sosok yang tengah duduk berhadapan denganku di kafe. Rambut abu-abunya terpelihara panjang, dengan bagian atas tertutup sebuah topi warna cokelat. Wajahnya panjang, dengan tulang pipi tegas, kelopak mata turun, hidung sedikit bengkok, lalu dua senti janggut yang juga berwarna abu-abu. Tubuhnya kulit membalut tulang, mengenakan sebuah kemeja lusuh warna hitam, dengan garis vertikal tipis berwarna putih. Beberapa kancing atas kemeja itu dibiarkan terbuka, memperlihatkan tulang dadanya yang samar terdapat sebuah bekas luka.
Dia seorang yang berasal dari kehidupan berbeda – kehidupan keras yang mungkin sudah terbiasa dengan kekerasan dan berbagai tindak kejahatan. Siapa dia? Untuk apa ia mencariku lagi?
Aku menghela napas dan membuang muka dengan pasrah. Siapa saja mungkin seperti diriku, frustrasi ketika tiba-tiba ada seorang asing yang muncul dalam kehidupan ini, lalu mengaku sebagai ayah, dan mulai melakukan berbagai pemerasan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak jelas.
Ini pertemuan keduaku dengan pria kurus kering, setelah bulan lalu ia tiba-tiba mendatangi rumahku, membawa bukti berupa beberapa foto kami bertiga—bersama almarhumah ibuku—di mana dalam foto itu aku masih bayi yang menurut penjelasannya aku baru berusia enam bulan. Aku tentu tak ingin percaya, seandainya perempuan dalam foto jamuran itu tak kuakui sebagai wajah ibuku. Dan aku tentu lebih tak ingin percaya, jika selama ini aku memiliki sosok seorang ayah kandung yang jelas.
Sayangnya, perempuan dalam foto itu memang mirip dengan ibuku, meskipun aku mustahil memiliki memori tentang sosok itu, selain mengenalnya melalui beberapa lembar pasfoto yang menjadi satu-satunya benda yang membuatku mengetahui wajahnya selama duapuluh sembilan tahun ini. Lagipula, selama ini aku memang tidak mengenal siapa ayah kandungku yang sebenarnya, selain dari cerita Papa – seorang pria berhati mulia yang mengasuhku.
Dengan mudahnya ia – si pria kurus – meyakiniku kalau ialah ayah kandungku. Ia menceritakan banyak hal-hal manis yang bahkan mustahil dibuktikan kebenarannya, seperti betapa bahagianya ia ketika pertama kali mendengar tangisku, membekap tubuh mungilku yang masih berwarna merah, hingga bagaimana pengalaman pertamanya ketika berusaha menjadi seorang ayah yang baik dan menjagaku semalaman suntuk.
Benarkah aku memiliki seorang ayah kandung yang demikian baik?
Sepintas sosok ayah kandungku memang memancing rasa iba. Ia terlihat seperti lansia yang tak berada, pekerja keras, pemikir, atau apa pun itu yang membuatnya bahkan terlihat lebih mirip seorang kakekku. Padahal ia mengaku usianya baru limapuluh satu tahun – lima tahun lebih muda dari Papa. Dan ia menyembunyikan fakta tentang pribadinya yang asli. Mungkin ia berpikir kalau aku tak pernah tahu semua itu, lalu aku masih akan menyambut kemunculannya dengan bahagia, membuatkan sebuah perayaan, atau bahkan menyiapkan sebuah kamar untuknya di rumah baruku, kemudian menperkenalkannya kepada istriku.
Tidak! Aku sulit menoleransi seorang pencandu dan pengedar narkoba, bahkan seorang pembunuh dan residivis yang telah akrab keluar-masuk jeruji besi.
“Aku difitnah,” jawabnya sebulan lalu, ketika aku memberanikan diri menanyakan kebenaran dari kasus pembunuhan yang menjadikan dirinya tersangka duapuluh delapan tahun lalu. “Kau dengar dari siapa?” tanyanya balik.
Aku hanya termenung. Berpikir bagaimana cara agar aku dapat segera mengusirnya dari rumah, sebelum istriku kembali – sebelum keluarga baruku terpengaruh oleh keberadaannya.
“Kau mendengarnya dari Soetjipto?!” bentaknya dengan sepasang mata merah yang membuat bulu kudukku berdiri tegak. Aku membayangkan bagaimana kalau ia tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dan menghunjamkannya ke dadaku? Itu bisa saja terjadi, karena ia seorang pembunuh, atau mungkin juga psikopat.
Kuusahakan setenang mungkin. “Ya, Papa pernah menceritakan itu, dan ia tak pernah menyembunyikannya.”
Sekonyong-konyong si pria kurus melabrak meja dan membuatku tersentak. “Kau panggil dia apa?”
“Dia juga ayahku,” jawabku tegas, coba menantang tatapan matanya yang buas.
“Dasar putra tak berguna! Kau mengakui selingkuhan ibumu sebagai ayah, kau memanggilnya ‘papa’, dan kau percaya segala karangannya yang meracuni pikiranmu?!”
Alisku merapat. “Mama tak pernah berselingkuh!”
“Ke mana Soetjipto?!” desaknya beringas. “Aku akan meminta laknat itu mengakui semua ini!”
“Sudahlah!” bentakku tak kalah kuat. “Untuk apa kau…”—aku sengaja tak ingin memanggilnya ‘papa’—“…mencari seseorang yang telah meninggal untuk mempermasalahkan ini…?”
Aku menangkap perubahan ekspresi di wajah si pria kurus dengan jelas. Ia tersentak, hampir tertawa senang, meskipun tak jadi dilakukannya. Dan kulihat ia kembali fokus pada tujuan utamanya datang meminta pengakuan. Sikapnya kembali melunak, sesekali ia terisak-isak menceritakan hari-hari kelamnya setelah keluar dari penjara, lalu pembicaraan kami pun sukses digiringnya pada masalah rumah kontrakannya yang tak lama segera jatuh tempo, keinginannya untuk mencicil sebuah motor, dan entah apa lagi itu yang seketika membuat kepalaku berdenyut.
Syukurlah, aku berhasil ‘mengusir’-nya setelah menyerahkan sekian juta sesuai jumlah yang disebutkannya. Aku bukan tak berdaya. Hanya saja, aku mencoba memaknai tujuan Papa tidak merahasiakan keberadaan ayah kandungku. Justru, mungkin Papa ingin aku memiliki persiapan mental, suatu hari aku akan didatangi ayah kandungku dengan segala sisi buruknya yang mustahil kupungkiri. Dan aku harus menghadapi kenyataan.
Ah! Betapa aku berharap untuk tak lagi melihat ayah kandungku!
Ya, bila aku berhak mengambil kesimpulan secara sepihak, aku hanya ingin mengakui Soetjipto – seorang mantan penjual kue keliling yang telah membesarkanku – sebagai satu-satunya ayah yang kumiliki, walau dalam diriku tak mengalir darahnya.
Aku masih ingat percakapan yang terjadi antara aku dan Papa, ketika aku baru tamat SD. Malam itu, Papa menjahitkan tanda namaku pada sebuah seragam SMP. Kuperhatikan ia kelabakan mengerjakan pekerjaan perempuan. Matanya sudah rabun, dan postur buncit membuatnya kesusahan bekerja dalam posisi menunduk lama. Jangan membayangkan ia memiliki sebuah mesin jahit besar yang disertai dinamo yang meraung-raung kuat. Ia hanya mengandalkan sebuah alat jahit genggam yang menyerupai alat pemotong kuku. Satu pencetan menghasilkan satu jahitan. Dan untuk menghasilkan sebaris jahitan pendek saja, sudah membutuhkan entah berapa puluh pencetan!
“Kawanku dijahitkan oleh ibu mereka,” ceritaku seraya mengamati dari samping. Tanda namaku menjadi banyak lubang, gara-gara Papa melakukan banyak kesalahan menjahitnya.
“Dulu ini pekerjaan Nenek, kalau Nenek masih ada.”
“Mengapa Papa tak menikah dan aku punya seorang mama baru, Pa?” usilku, yang sebenarnya juga karena kala itu menyimpan rasa iri kepada teman lain yang memiliki ibu, sementara aku hanya mengenal Mama dari selembar pasfoto yang Papa perlihatkan. Demikian pun, Papa selalu menjelaskan kalau perempuan di pasfoto itu bukan istrinya. Jadi?
Ya, Papa hanya mengasuhku, setelah ibu kandungku meninggal, ketika aku baru berusia satu tahun. Cerita Kakek – ayah dari ayah asuhku – mereka dulunya sempat berpacaran, meskipun pada akhirnya hanya sebagai sahabat. Dan aku adalah anak dari suami ibu kandungku – si pria kurus.
“Siapa mau papamu?” tanya Papa balik. “Jelek dan miskin. Bisa menyekolahkanmu pun sudah hebat!” Pria buncit itu cekikikan dan mengisap rokoknya sejenak seraya mencondongkan kepalanya ke asbak, agar abu tidak berserakan di seragam SMP-ku.
“Ah, Papa…! Rokok itu, ‘kan mahal juga. Berhenti merokok saja pasti kita enggak miskin lagi. Merokok itu merusak kesehatan lo….”
“Kau benar!” Papa lekas mematikan rokoknya. Dia memang selalu lekas melakukan itu, setiap kalau aku memintanya berhenti merokok, atau mengeluhkan bau asapnya itu. Tapi, aku sebenarnya yakin ia tak bisa tanpa rokok. Selang tak lama pun ia sudah kembali merokok lagi.
Namun, pernah sekali Papa sebulan lebih tak merokok, gara-gara aku – ketika kelas SD 4 – menghabiskan banyak uangnya untuk biaya berobat tanganku yang patah akibat terjatuh dari pagar rumah tetangga yang menanam mangga di halamannya. Aku tahu Papa sangat marah mengetahui aku mencoba mencuri mangga tetangga, dan apalagi aku menghabiskan banyak uangnya. Tetapi Papa tidak menunjukkan marahnya dengan suara keras, apalagi memukulku, selain menunjukkan ekspresi ketidaksenangannya yang secara tidak langsung memberitahuku apa yang benar dan tidak benar.
Sejak saat itu, aku tak berani lagi memanjat pagar tetangga. Herannya, rumah kami menjadi lebih sering memiliki buah mangga! Ya, Papa ternyata menitip Nenek untuk membeli mangga di pasar. Jelang siang, terkadang ada pedagang yang menjual sisa dagangannya dengan harga miring. Papaku ternyata begitu perhatian kepadaku, kalaupun ia tidak mendatangkan seorang mama untukku.
Siapa ayahku?
Setiap ketika batinku mengulang pertanyaan tentang siapa ayahku, tanpa ragu kujawab Papa, Soetjipto si mantan penjual kue keliling yang seumur hidupnya selalu miskin, tetapi telah menyekolahkanku hingga lulus S1. Bagiku, ayah bukanlah sekadar seorang yang telah mendatangkanku ke dunia ini, tetapi juga seorang yang telah membesarkanmu di dunia ini.
Sayangnya, ketika kesuksesan mulai menghampiriku, Papa sudah pergi.
Untuk pria kurus di hadapanku – kembali mataku lurus menatapnya – ia juga ayahku. Namun, entah mengapa tetap saja ia bagaikan seorang asing yang justru memancarkan aura menakutkan. Meskipun ia kini keluar dari jeruji, meskipun diriku mengalir darahnya, aku tetap merasa takut kepadanya. Karena dia pembunuh Mama!***
Awal November, 2015