Oleh: Antonov Purba
LELUHUR (nenek moyang) merupakan figur yang harus senantiasa dihormati. Harus dihormati karena mereka merupakan cikal-bakal kelahiran generasi masa kini di dunia. Pada masyarakat Karo, salah satu budaya bertujuan untuk menghormati leluhur, dengan mengambil tulang belulang (bahasa Karo: muat tulan-tulan).
Leluhur yang meninggal dunia dikumpulkan tulang belulangnya untuk kemudian dipindahkan ke tempat yang dinamakan Geriten. Sebuah bangunan khusus, digunakan sebagai tempat mengumpulkan tulang-tulang tersebut. Begitu sakralnya kegiatan untuk menghormati leluhur.
Sayangnya kebudayaan ini sudah sering dilupakan. Kemajuan zaman dan perkembangan pesat teknologi, mengubah pola pikir sebagian masyarakat Karo. Ada mengganggap, kebudayaan ini bukan merupakan hal penting untuk dilaksanakan. Mereka lupa apabila leluhur tidak ada, mereka dan keturunan-keturunannya begitupun apa yang mereka miliki, tidak akan ada.
Ada juga masih memiliki kesadaran atas kebudayaan ini. Mereka melakukannya dengan cara yang lebih modern. Dulunya yang bertugas untuk menggali kubur dan mengumpulkan tulang belulang merupakan tugas keluarga. Kini pekerjaan tersebut dialihkan ke pegawai kuburan, tentunya dengan imbalan.
Kesakralan pelaksanaan penggalian dan pengumpulan tulang jadi terkikis. Langkah menghormati leluhur menjadi ternoda, karena sudah dikaitkan dengan rupiah. Keluarga yang ditinggalkan leluhur seolah-olah enggan untuk berinteraksi dengan tulang belulang moyangnya. Sebuah gambaran yang harus dirubah.
Budaya merupakan komponen penting yang harus dilakoni dan dihormati. Jelas terlihat, sebagian masyarakat Karo sudah mulai berubah paradigma berpikirnya perihal hidup beradat dan berbudaya.
Berdasarkan pengamatan, terlebih penulis juga pernah melakukan kebudayaan ini terhadap ayah penulis dan moyang penulis (kakek dan nenek). Banyak masyarakat Karo sudah lupa bagaimana cara untuk melakukan kebudayaan ini.
Ternyata, kebudayaan ini berikut dengan tata cara pelaksanaannya sudah mulai hilang dimakan zaman. Penulis pada waktu itu juga harus berkonsultasi dengan beberapa orang tua terkait dengan pelaksanaan kegiatan ‘muat tulan-tulan’ ini. Penulis mengasumsikan, keluarga yang ditinggal leluhur, mengetahui tata cara untuk melaksanakan muat tulan-tulan. Sebagai cara untuk menghormati leluhur, pasti mereka akan melakukannya. Selain tata cara, salah satu yang penulis asumsikan juga berpengaruh yaitu, keinginan dan kesadaran sekaligus niat untuk menghormati leluhurnya.
Ketika berbicara tentang muat tulan-tulan, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, memang berhubungan erat dengan religi atau faktor keagamaan. Terlepas dari itu semua, menurut pemikiran penulis, tidak ada agama manapun yang melarang manusia untuk menghormati leluhur atau nenek moyangnya.
Seyogianya masyarakat Karo pada khususnya, dapat menjaga kelestarian budaya muat tulan-tulan. Selain sebagai langkah untuk menghormati leluhur, juga untuk tetap menjadikan kebudayaan ini sebagai harta yang berharga untuk dilestarikan.
Budaya mengajarkan kita untuk senantiasa saling menghormati satu dengan yang lain. Tidak hanya menghormati sesama yang masih hidup, juga menghormati mereka yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Salah satunya dengan melakukan budaya muat tulan-tulan khususnya bagi masyarakat Karo.
Tata Cara
Dalam pelaksanaannya, setelah dilakukan penggalian kuburan dan tulang belulang telah dikumpulkan, semua tulang-tulang yang di ambil. Dicuci bersih, lalu di mandikan dengan lau penguras (air yang dibuat khusus untuk acara ini). D dibuat dari ramuan jeruk purut, air kelapa muda dan beberapa rempah lain.
Setelah bersih dan di mandikan dengan lau penguras, maka tulang belulang di susun sedamikian rupa dan dibacakan doa-doa. Kemudian di bungkus dengan dagangen (kain putih). Di sumpitken (dibungkus sedemikian rupa). Kemudian tulang-tulang, di bawa ke rumah sambil menunggu prosesi saudara yang lain selesai.
Setelah semua saudara berkumpul, tulang belulang di masukkan dalam peti kecil. Pada peti di buat nama sang leluhur. Diadakan acara adat namanya ngampeken tulan-tulan.
Biasanya pelaksanaan acara ngampeken tulan-tulan, dilakukan di jambur (ruang pertemuan). Selain keluarga dekat, biasanya akan diundang juga keluarga lainnya, yang masih memiliki kaitan kekerabatan dengan leluhur tersebut.
Prosesi ngampeken tulan-tulan, akan diisi oleh acara berbicara yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara bergantian. Biasanya akan berisi petuah-petuah, bahkan pujian-pujian terhadap keluarga yang menjalankan budaya muat tulan-tulan.
Setelah prosesi adat selesai, tulan-tulan tadi semua akan dibawa ke tempat persemayamannya untuk selama-lamanya. Dimasukkan ke dalam satu bangunan yang di sebut Geriten tadi.
Pelaksanaan acara ini, semakin memupuk kebersamaan sesama anggota keluarga. Memang lancarnya perjalanan budaya ini tidak terlepas dari kesiapan dana keluarga. Salah satu indikator, orang Karo telah memiliki budaya tinggi dan menjaga nilai kemanusiaan. Keleluhurnya yang telah meninggal dunia adalah kekompakan dan kesatuan pemikiran dengan sesamanya. Karenanya sudah menjadi kewajiban sesungguhnya melakukan prosesi menghormati leluhur ini.
Hendaknya kebudayaan muat tulan-tulan, bisa tetap diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Karo. Kebudayaan merupakan komposisi mahal, sehingga tetap senantiasa harus dijaga. Kebudayaan merupakan pemersatu antara sesamaa keluarga.
Dengan kebudayaan kita dapat dengan rutin berkoordinasi, bertukar pikiran, bahkan bekerjasama untuk mewujudnyatakan hal-hal yang penting dan berguna. Muat tulan-tulan, untuk menghormati leluhur sangat penting untuk dijaga. Setiap generasi muda masyarakat Karo dapat mengetahui dan melaksanakannya. Tanpa budaya, kita akan menjadi generasi yang hampa. Tanpa budaya kita akan kehilangan jati diri kita sebagai masyarakat.
Begitu besar posisi dan peranan budaya dalam kehidupan kita. Karenanya tidak ada istilah untuk tidak mengindahkan proses pelestariannya. Terlepas dari itu kebudayaan warisan turun temurun maupun warisan masa kini. Merupakan harga mati bagi kita untuk tetap senantiasa menjaganya. Tidak ada batasan usia untuk tetap menghargai budaya, karena budaya merupakan milik kita bersama. Mari hidup berbudaya.
Penulis; Staf Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan