Wisanggeni dalam SGA

Oleh: Sartika Sari

PENCERITAAN kemba­li kisah yang telah menjadi milik masyarakat budaya ke dalam bentuk yang lebih modern. Menjadikannya tantangan yang lebih bagi seorang pengarang. Dia  memikul tanggung jawab untuk menyampaikan segala sesuatu yang telah dipahami masyarakat luas. Tentu dengan kadar yang tepat, mendekati realita yang ada. Pengurangan dan penambahan “bumbu” dituntut sesuai dengan yang seharusnya. Jika tidak, yang tercipta adalah bentuk-bentuk baru. Cenderung mengundang kekeliruan tafsir atau justru berujung pada perubahan esensi cerita.

Pada umumnya, pengarang dalam kerja kreatif seperti ini, cenderung lebih serius meman­tap­kan pengetahuan mengenai latar. Tak lupa suasana lingkung­an, kondisi sosial masyarakat budaya dan karakter tokoh. Kon­sep telah dimiliki dalam kisah sebelumnya menjadi pemantik. Kemudian diolah menjadi sebuah bangunan ilustrasi baru. Aktivitas ini, menurut Baudrillard, sebagai simulasi. Penciptaan kenya­taan melalui model konseptual atau se­suatu yang berhubungan de­ngan mitos yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan (Azwar, 2014).

Lebih lanjut, Baudrillad me­nyu­blim aktivitas tersebut dalam istilah hiperealitas untuk menje­laskan perekayasaan (dalam pe­ngertian distorsi) makna di dalam media. Hiperealitas komunikasi, media dan makna menciptakan satu kondisi, kesemuannya diang­gap lebih nyata daripada kenya­taan.

Dalam konteks yang sama, Wi­sanggeni, dalam perwayangan Jawa bertindak sebagai hypo­gram. Menurut Riffaterre, seo­rang kritikus sastra dan pakar semi­otika, merupakan sumber inter­teks. Landasan untuk mencipta­kan karya-karya yang baru, baik dengan cara menerima maupun menolaknya.

Dalam proses pengamatan dan analisis Wisanggeni yang di­tulis Seno Gumira Ajidarma (se­lanjutnya disebut SGA) dengan yang ada dalam perwayangan Ja­wa. Sudut pandang untuk mene­mu­kan bentuk-bentuk baru yang dimunculkan SGA sebagai penu­lis, beragam.

Dalam analisis ini penulis akan merujuk pada sudut pandang Bau­drillard. Dikarenakan banyaknya kemunculan simulasi yang men­dampingi dan membangun ilus­tra­si tokoh Wisanggeni SGA. Baudrillard menampilkannya se­bagai proses penciptaan bentuk nya­ta yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, penan­da sebagai duplikat dari dirinya sendiri, sebagai simulacrum.

Berdasarkan beberapa sum­ber ditemukan, Wisanggeni ada­lah nama tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata. Dia adalah tokoh asli ciptaan pujangga Jawa. Wi­sanggeni merupakan anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Dia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungan­nya seperti tujuh bidadari yang ju­ga hamil. Hamil sebagai anu­gerah Dewa kepada Arjuna yang membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.

Dalam hubungan Arjuna dan Dewi Dresanala, para Dewa me­larang lahirnya seorang anak. Karena Arjuna merupakan ketu­ru­nan manusia, dianggap tidak pan­tas memberi keturunan untuk para Dewa. Ternyata Dewi Dre­sanala mengandung. Kelahiran Wisanggeni membuat ontran-on­tran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama. Pembunuhan atas perin­tah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru. Dianggap menya­lahi kodrat. Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.

Ketika itu, Wisanggeni, dalam SGA dituliskan telah diculik dari hutan, beberapa saat setelah dia dilahirkan dan digigit oleh ka­kek­nya sendiri. Dikenai bisa, namun Wisanggeni tidak juga terbunuh. Dengan amarah yang meluap-luap, kakeknya melontarkan ke la­ut. Wisanggeni kemudian dite­mukan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lautan) dan Hyang An­taboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa.

Kehidupan Wisanggeni dalam perwayangan Jawa secara tulisan memang belum penulis temukan. Dari beberapa sumber di­duga merupakan pihak kedua (penga­mat) kisah dalam perwa­yangan Jawa. Secara lisan Wi­sang­geni di­citrakan sebagai tokoh angkuh, namun baik hatinya dan suka me­nolong. Ini berkaitan dengan na­manya yang berasal dari wisa = bisa dan geni = api.

Tak peduli siapapun pasti di­bakarnya. Musuh atau saudara, teman atau tetangga. Kriterianya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya. Dalam hal ber­bicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan basa krama (baha­sa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang We­nang.

Alur dan konflik Wisanggeni dalam kancah perwayangan Jawa cenderung mirip dengan apa yang dituliskan SGA ke dalam teks. Jika pada umumnya secara lisan yang dituturkan para dalang berfokus pada dialog yang meng­hu­bungkan antartokoh, dalam Wisanggeni ditulis SGA. Deskrip­si suasana menjadi berperan pen­ting untuk mendukung pembentu­kan imajinasi dan interpretasi pembaca mengenai suasana pada masa itu.

Selayaknya tulisan-tu­lisan cerita modern, SGA memba­ngun deskripsi yang padu. Bentuk des­kripsi-deskripsi tersebutlah yang kemudian, menurut penulis, me­narik untuk ditelusuri sebagai ben­tuk simulacra. Beberapa deskripsi yang dianggap kuat di antaranya adalah sebagai berikut.

Padang  pasir panas dan sunyi dan debu mengepul dan berter­bangan dihembus angin kering. Dari balik muncul seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Berjalan tersaruk-saruk me­masuki kota yang mengakhiri lautan padang pasir itu. Ketika matahari menyemprot dengan ga­nas dan wajah lelaki itu terlindung oleh sebuah caping lebar. Telapak kakinya dialasi terompah yang terbuat dari kulit kerbau.

(Wisanggeni, hlm. 1)

Secara fisik, Wisanggeni da­lam perwayangan Jawa disebut­kan, adalah pemuda yang tampan dan sakti. Dalam SGA, ilustrasi fisik seorang Wisanggeni menjadi lebih utuh. Jika dikaitkan dengan kemunculan kembali Wisanggeni yang sebelumnya hidup di laut dan lapisan dasar bumi, tentu des­kripsi SGA ihwal tampilan Wi­sanggeni masih masuk akal. Ter­utama pada pakaiannya yang se­perti pengemis. Hanya menggu­nakan semacam cawet dan ca­ping serta penampilan fisiknya yang berewokan, tak terurusDa tidak berpakaian seperti manusia lain. Dengan adanya bangunan ilustrasi ini, pembaca lebih “du­duk” dalam memahami Wisang­geni.

Sadar atau tidak, deksripsi yang ditulis Seno berhasil mendekatkan pembaca dengan Wisanggeni. Mes­ki berasal dari berpuluh-puluh tahun yang lalu, melalui ketera­ngan yang diberikan Seno, jarak tersebut tersublim. Simulacra yang dibangun SGA sangat kuat. 

Seyogianya sebuah cerita baru, SGA juga menjawab pertanyaan banyak pembaca mengenai letak dan rupa “kahyangan” yang umum­nya merebak. Dalam peti­kan; Suralaya selalu sejuk dan ge­merlapan dan udaranya selalu cerah berkat kesaktian para dewa. Pembaca dengan mudah dapat menginterpretasikan bagai­mana keadaan kahyangan. Ke­mu­dian, dimanakah letaknya?

“Kahyangan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, Kahya­ng­an bukan sekedar nama suatu tempat. Hanya kesaktian dan ke­batinan tinggi, akan mampu men­jajakinya. Kemudian dilanjutkan dalam dialog, ‘Biarpun kau putari bumi sampai tujuh kali, kita tak akan sampai Wisanggeni,’ ujar Hanoman yang lahir dan dibesar­kan di Surlaya.”

(Wisanggeni, hlm. 58)

Dalam deksripsi tersebut, secara implisit, SGA menerang­kan dimana sebenarnya Kahya­ngan itu. Sebuah tempat yang se­lama ini dipertanyakan ternyata di­perjelas oleh Seno. Selain des­kripsi-deskripsi, SGA tu­rut mem­ba­ngun ilustrasi tentang dewa pe­ngatur kehidupan jagad raya, ter­sembunyi jauh dari manusia awam. Dalam tulisannya, SGA menyebutkan:

“Sanghyang Pramesti yang se­lalu bertaburkan cahaya gemilang sehingga membuat silau yang me­lihatnya itu kini meninggalkan ekor cahaya yang panjang bagai­kan sebuah komet. Bau dupa dan taburan bunga yang selalu mengi­rinya buyar di ruang angkasa yang sunyi tak berpenghuni.”

(Wisanggeni, hlm. 63)

Simulacra diciptakan SGA melalui narasi. Dialog dan des­kripsi terhadap tokoh-tokoh dalam cerita Wisanggeni berikut suasana yang terjadi pada masa itu membangun. Bangunan utuh ten­tang Wisanggeni dengan lebih nya­ta daripada jika secara lisan yang kita dengar dari para dalang. Seno Gumira Ajidarma  “mendu­duk­kan” segala perseteruan, tin­dakan dan kondisi kisah Wisang­geni. Terkesan lebih “baru” dan rill. Sebagai penulis (kedua) se­telah kisah perwayangan asli, SGA berhasil melakukan naturalization. Pembaca tidak merasa asing dengan tokoh dan suasana yang diceritakan.

Selain bentukan simulacra pa­da penggambaran tokoh dan su­asana, menarik dilakukan SGA yaitu pada teknik penceritaan. Salah satunya ketika memperte­mukan Batara Guru dengan Pak Semar. Diceritakan sebagai ka­kaknya yang merupakan seorang petani. Kelihaian SGA dalam me­nulis cerita memang sudah tidak diragukan lagi. Cerpen dan novel yang dia tulis membawa karakte­ristik khas. SGA tidak hanya lihai menghadirkan tokoh-tokoh yang kuat dalam cerpennya. Juga lihai meliuk-liukkan alur, sehingga ter­kesan lebih menarik dan menan­tang.

Keberanian SGA dalam mene­gas­kan karakter tokoh-tokoh da­lam novel Wisanggeni Sang Buro­nan menjadi salah satu kekuatan­nya. Seno, secara sa­dar juga me­nyebutkan, ada pengaruh dari ba­bonnya, R. A Kosasih dan  Lahirnja Bangbang Wisanggeni (Bandung: PT Melodi, 1970, 4 jilid a 82 hala­man). Tentu saja, kemudian hal ter­sebut berperan besar dalam pro­ses kreatif penulisan kisah ini.

Wisanggeni, dalam perwaya­ng­an Jawa dikisahkan memiliki akhir hidup yang mengharukan. Dia merelakan diri menjadi tum­bal demi kemenangan para Pan­dawa menjelang meletusnya  pe­rang Baratayuda. Beberapa waktu kemudian bersama Antasena, men­capai moksa. Musnah dari ja­sad mereka. SGA tidak melaku­kan hal yang serupa.

Fenomena seperti ini, menurut Damono (dalam Sastra Banding­an, 2009 : 21) merupakan kecen­de­rungan dimiliki sastrawan untuk meminjam langsung atau tak lang­sung. Sumber pinjaman itu ber­ma­cam-macam. Mulai dari ka­rya sastra sampai berbagai jenis teks kronik dan sejarah. Kenya­ta­annya, hingga saat ini kemunculan berbagai jenis karya sastra terins­pirasi atau terpengaruh karya sas­tra klasik semakin banyak. Salah satunya adalah novel Wisanggeni yang ditulis SGA.

Sastrawan yang juga merupa­kan seorang jurnalis, secara gam­blang menyebut­kan. Kisah Wi­sanggeni merupakan hasil penelu­surannya terhadap tokoh-tokoh per­wayangan Jawa. Ketertarikan Seno pada tokoh Wisanggeni bu­kan berarti tanpa alasan. Jika pada umumnya kisah wayang terkenal sebagai kisah cenderung membo­san­kan. Seno hendak melakukan perubahan pada stereotip tersebut. Seno menghadirkan kembali tokoh Wisanggeni dengan senya­ta-nyatanya. Berikut dukungan penggambaran suasana yang je­las. Alur menarik dan teknik bercerita yang jauh lebih modern.

Alhasil, membaca Wisangge­ni yang ditulis SGA sangat mengu­rangi beban membaca dan mema­hami teks aslinya. Tidak sebatas itu, SGA turut melakukan sejum­lah inovasi-inovasi lain yang me­narik.

Puncaknya terjadi pada ujung cerita. Barangkali jenuh dengan kesamaan akhir cerita dengan to­koh-tokoh wayang yang lain, ter­masuk Wisanggeni dalam cerita aslinya, SGA melakukan perom­bakan total.  Wisanggeni dalam SGA tidak mengakhiri hidupnya de­ngan moksa. SGA memba­ngun­kan kembali Wisanggeni dari ‘tekanan batin’ yang ia rasakan. Keberadaannya ang mengundang banyak huru-hara. Keterasingan dia rasakan kemudian memba­wa­nya pada satu-satunya pilihan. Dia tidak bisa merasakan kebaha­giaan hidup bersama ayah dan ibu­nya. Satu-satunya dia lakukan, hidup seperti manusia biasa. Me­ng­anggap hidup di bumi adalah kodratnya.

Melalui perenungan cukup pan­jang, dia memutuskan untuk hidup di suatu kota yang dilihatnya. Tulisan SGA, cukup bagus dengan sebuah istana terletak di antara alun-alun. Kota terletak di antara dua alun-alun. Kota terletak di antara gunung dan laut. Ketika Wi­sanggeni sampai pada kota itu, dia mendapati kerumunan warga masih menonton wayang.

Seno, dengan lihai kemudian me­nempatkan tokoh Wisanggeni sebagai tokoh yang menonton pen­ceritaan dirinya sendiri dalam perwayangan Jawa yang sedang dimainkan oleh dalang. Dia me­nelusup di antara orang-orang yang beberapa di antaranya itu su­dah tertidur.

Pada ujung cerita, ketika wa­yang Wisanggeni dikatakan telah moksa oleh dalang,  Wisanggeni justru terbahak-bahak melihat ki­sahnya sendiri. Dari barisan pe­nonton, suaranya terdengar sa­ngat keras. Orang-orang merasa terganggu dengan suaranya. Be­ramai-ramai menyeret lelaki gon­drong yang pakaiannya seperti pengemis itu, menjauh dari arena pertunjukan.

Rupanya Wisanggeni tak ber­henti tertawa. Suaranya makin ke­ras. Orang-orang pun semakin geram. Mereka beramai-ramai menyeret dan menendangi Wi­sang­geni. Wisanggeni tetap ter­bahak-bahak. Dari jauh suara Ki Dalang masih terdengar diiringi gamelan dengan suara rebab yang menyayat-nyayat. Wisanggeni tertawa terus. Entah karena telah berada pada puncak kesedihan atau dia sedang belajar melupa­kan pesakitan.

Wisanggeni dalam dua penulis berbeda berakhir pada cerita yang berbeda pula. Perbedaan ini seka­ligus menjadi bukti, kemunculan karya sastra tak bisa lepas dari pengaruh peristiwa atau kisah yang sudah ada.

Penulis; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran

()

Baca Juga

Rekomendasi