Kepribadian Pendidik Muslim

Oleh: Sofyan

Dalam pandangan Islam pendidik mencakup siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan potensi anak didik baik potensi kognitif maupun potensi psikomotoriknya. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 6 pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Pendapat ahli pendidikan seperti Nur Ubiyati pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan bimbingan kepada anak didik untuk mengembangkan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaan, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. 

Dalam konteks pendidikan Islam pendidik memiliki enam makna, antara lain murabbi, muallim, muaddib, mudarris, muzakki dan ustaz. Keenam kata di atas walaupun memiliki makna pendidik tetapi yang terkenal dalam pendidikan Islam hanya tiga yaitu murabbi, muallim dan muaddib.

Kata murabbi dalam bahasa Arab bentuk ism al-fail dari: a) raba-yarbu yang berarti berkembang, b) rabiya-yarba yang artinya tumbuh dan c) rabba-yarubbu yang artinya memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik. Hal ini terdapat dalam firman Allah surat al-Fatihah,”Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 2). 

Menurut Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-‘Ulum term tarbiyah secara etimologi memiliki tiga makna yakni, nasy’at (pertumbuhan), taghhdziyat dan mengembangkan. Dalam teks ayat  Allah swt. menyebutkan; “ Dan ucapkanlah, wahai Tuhanku (ya rabbi)  sayangilah mereka berdua, sebagaimana ia telah menyayangiku semenjak kecil” (QS. Al-Isra’: 24).

Jika diaktualisasikan dalam konteks pendidikan maka murabbi sebagai pendidik memiliki makna yang luas, dia mendidik, memberikan bantuan kepada peserta didik agar berkembang potensi yang dimilikinya, bertanggungjawab dalam proses pendidikan, memperbaiki sikap dan perilaku anak didik, bahkan dia menjadi pengganti orang tua di rumah. 

Kata muallim artinya pengajar, dia berbentuk al-ism al-fa’il dari kata ‘allama-yuallimu-ta’lim yang diartikan mengajar, sedang mengajar dan pengajaran. Dalam istilah pendidikan kata at-ta’lim menurut Rasyid Ridha sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa ada batasan dan ketentuan tertentu.

Alquran menjelaskan keberadaan muallim dalam surat al-Baqarah ayat 151,”Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami dan Kami mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.”

Sesuai ayat di atas, mu’allim adalah orang yang mampu merekonstruksi bangunan ilmu secara sistematis ke dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan yang ada kaitannya dengan hakekat sesuatu.

Kata muaddib berasal dari kata addaba-yuaddibu artinya mendidik, mashdar-nya ta’dib yang berarti pendidikan dan al-ism al-fa’il-nya muaddib yang berarti pendidik atau orang yang mendidik. Dalam kamus Bahasa Arab Al-Mu’jam al-Wasith addaba memiliki makna mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin dan memberi tindakan. 

Secara literal muaddib adalah manusia beradab, maka seorang muaddib dimaknai dengan orang yang bertugas menyemai dan menanamkan adab ke mutaaddib (peserta didik). Kewajiban seorang muaddib memiliki adab terdapat dalam hadis Nabi saw. “Jika seseorang memelihara anak maka berikanlah pendidikan yang baik (fa ahsana ta dibaha)” (HR. Bukhari). 

Melalui konteks di atas maka seorang muaddib harus memiliki adab, yang dengan adab tersebut dia mampu mendisiplinkan dirinya sendiri dan orang lain dalam hal pengetahuan, keterampilan, jiwa dan perilaku bersyahadah kepada-Nya.

Kepribadian Pendidik Muslim

Kepribadian pendidik Muslim menjadi identitas yang harus dimiliki dan ditampilkan dari keseluruhan tingkah laku  lahiriah seperti berjalan, berbicara, makan, minum, berkomunikasi dengan yang lain maupun dalam bentuk sikap batin   seperti penyabar, ikhlas, penyayang, pengasih dan pemaaf. Semua sikap yang dimiliki oleh pendidik Muslim akan menjadi tauladan dan di contoh oleh peserta didik. Oleh karena itu seorang pendidik harus memiliki kepribadian yang baik. 

Dalam Islam kepribadian dikenal dengan al-syakhshiyah yang berasal dari kata syakhsh yang berarti pribadi. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shima’iy) yang berarti kepribadian. Kamus  Mu’jam al-Wasith menjelaskan kata syakhsiyah yaitu shifatun tumayyizu al-syakhsa min ghairih yaitu sifat yang membedakan antara seseorang dengan yang lain. 

Menurut Al Rasyidin menjelaskan makna syakshiyah yaitu sifat-sifat atau ciri khas yang dimiliki seseorang dan ditampilkannya secara konsisten dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Dari sini dapat dipahami bahwa ada dua unsur pokok kepribadian yaitu sifat-sifat dan ciri khas yang ada pada diri individu. Sifat dan ciri khas tersebut melekat dan ditampilkan oleh individu secara konsisten dalam interaksinya dengan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu perilaku yang ditampilkan oleh seseorang merupakan wujud nyata dari kepribadian seseorang.

Pendidik Muslim adalah orang yang memiliki kepribadian mulia, patuh dan tunduk pada perintah, menjauhi larangan Allah swt serta alim (berilmu) yang takut kepada-Nya. Dalam  Alquran Allah swt. menjelaskan,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ulama (orang-orang yang berilmu pengetahuan).” (QS. Fatir 28).

Menurut ayat di atas kedudukan pendidik memiliki derajat yang sama dengan ulama yang memiliki tugas mengantarkan peserta didik untuk berfikir dan menganalisa alam semesta sehingga membawa manusia semakin dekat dengan Allah swt. 

Rasulullah saw. sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh swt. beliau sebagai pendidik pertama dalam pendidikan Islam telah berhasil melaksanakan tugasnya yaitu mendidik manusia agar bahagia di dunia dan akhirat dalam masyarakat yang adil dan makmur, lahir dan batin.

Keberhasilan beliau dalam mendidik umat patut untuk ditiru dan kepribadian beliau yang mulia sebagai seorang pendidik layak untuk ditelusuri dan dijadikan tauladan. 

Menurut  Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury dalam bukunya Sirah Nabawiyah Rasulullah saw. suka mengasingkan diri di Gua Hira di Jabal Nur. Pilihan beliau untuk mengasingkan diri termasuk salah satu ketentuan Allah atas diri beliau sebagai langkah menerima urusan yang lebih besar lagi. Menurut Syaikh Ruh manusia manapun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan. 

Nilai pendidikan yang dapat kita ambil di sini bahwa apa yang dilakukan oleh Rasul saw. sebelum mendidik yaitu mensucikan diri (tazkiyah an-nafs) yang mengantarkan beliau untuk siap dididik (di-ta’lim, di-tarbiyah atau di-ta’dib) oleh Allah swt. Apa yang dilakukan Nabi menjadi tugas yang beliau emban sebagai pendidik umat dengan cara membacakan ayat Allah, men-tazkiah manusia baru kemudian mendidik mereka dengan al-hikmah. 

Dalam konteks pendidikan Islam seorang pendidik Muslim harus memiliki kepribadian yang baik sebelum mendidik anak didiknya. Langkah awal yang harus dilakukan oleh pendidik Muslim yaitu melakukan tazkiyah al-nafs (mensucikan diri)  terlebih dahulu dengan membersihkan akal, hati dan dirinya dari perangai buruk. Apabila seorang pendidik memiliki jiwa yang suci maka akan memberikan kemudahkan   mendidik anak didik.

Merujuk makna pendidik sebagai murabbi, muallim, muaddib, mudarris, muzakki dan ustaz maka seorang pendidik harus memiliki kepribadian yang baik seperti memiliki kemampuan membimbing anak didik, memiliki ilmu pengetahuan, berakhlak mulia, ahli dalam bidangnya, serta bersih hati, pikiran dan jiwanya. 

Lebih jelas menurut Al Rasyidin seorang pendidik harus memiliki karakter dan kepribadian antara lain: memiliki watak dan sifat rabbaniyah yang diimplementasikan dalam perilaku dan pola pikirnya, bersifat ikhlas, bersifat sabar dalam mengajarkan ilmu kepada peserta didik, jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya, senantiasa membekali diri dengan ilmu dan bersedia untuk terus mengkajinya, mampu menggunakan berbagai variasi metode dalam mengajar, mampu mengelola siswa, tegas dalam bertindak, mengetahui kehidupan phisikis peserta didik sesuai perkembangannya, tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola pikir peserta didik, memiliki sikap adil terhadap peserta didik.

Akhirnya penulis ucapkan selamat hari guru (25 November), semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan kemudahan untuk mencerdaskan umat, ingat pesan Rasul,“tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada darah syuhada”(HR. Abu Daud). Wallahu a’lam. 

*Penulis dosen di STAI Darularafah

()

Baca Juga

Rekomendasi