Puisi adalah Jiwa Bagi Penyair

Oleh: Muhammad Husein Heikal

SESUNGGUHNYA, puisi adalah jiwa bagi penyair. Kata adalah darahnya. Diksi adalah dagingnya, makna adalah hatinya. Penyair dalam mencipta puisi harus mempunyai kesungguhan dan kreativitas tak terbatas.

Kahlil Gibran (1883-1931) mempresentasikan penyair dalam puisinya berjudul “Penyair” (bait 1).

Dia adalah rantai penghubung

Antara dunia ini dan dunia akan datang Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan, Dia adalah sebatang pohon tertanam, di lembah sungai keindahan. Memikul bebuah ranum. Bagi hati lapar yang mencari.

Seorang penyair memiliki kepekaan untuk mengeksploitasi estetika secara efektif. Cukup mengejutkan bila Sartika Sari mengatakan “penyair sama seperti masyarakat pada umumnya”. (“Puisi dan Identitas Penyair”, Rebana Analisa 20/9).

Saya kira, penyair tidak sama dengan masyarakat biasa. Penyair memiliki kekhasan dan keeksentrikan pada dirinya. Berbeda dengan profesi umumnya seperti guru, dokter, dosen, ataupun pedagang. Belum pernah saya temukan, penyair dicantumkan sebagai pekerjaan. Paradoksal kehidupan penyair dalam masyarakat disambung Gibran pada bait 11 dan 12.

Dan oh para penyair,

Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini: Telah engkau tundukkan abad demi abad termasuk tirainya.

Penyair. Suatu hari kau akan merajai hati-hati manusia Dan, karena itu kerajaanmu adalah abadi.

Bukankah jelas!? Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini. Bila ditafsir sederhana, penyair memiliki level “lebih” dari masyarakat biasa. Ditambah dengan “Suatu hari kau akan merajai hati-hati manusia” maka terang-benderanglah perspektif dalam kacamata masyarakat memandang penyair.

Sebab, seorang penyair dengan “tenaga” kata yang dimilikinya akan mampu mempesona bahkan “menenung” audiens atau pembacanya. Karena orang sudah tertarik atau terpikat dengan keindahan kata-katanya, akhirnya orang-orang dapat mempercayai atau meyakini kebenaran kata-katanya.

Teeuw, (l980:5) menulis: “Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair.” Karena keampuhan yang dimilikinya itulah maka seorang penyair dapat mempunyai pengaruh besar dalam sebuah masyarakat. Lihatlah bagaimana Lao Tse, Viyasa, Rumi, Goethe, Nietzsche, Iqbal, Pasternak, Solzhenitsin, mempengaruhi masyarakat sekitarnya, bahkan opini dunia. 

Manfaat puisi bagi penulisnya jelas, sebagai media ungkapan atau curahan isi jiwanya. Sepi, tangis, rindu, pilu, luka, amarah, dendam, cinta dituang penyair dalam puisi-puisi yang dihasilkannya. Puisi lahir dari rahim pengalaman dan imajinasi penyair, bukan dari ide ataupun tema. Pengalaman, juga didukung dengan pengalaman memperhatikan, mencermati, dan merenungkan, dan merangkainya ke dalam larik-larik puisi. Seorang memiliki pengalaman bahasa, pengalaman estetis, pengalaman artistik dan pengalaman ekspresi yang tinggi. Biasanya mampu menuangkan idenya dalam bentuk karya puisi. Dengan demikian, cara terbaik sebagai penulis puisi ialah menulis dan terus menulis. Membaca dan terus membaca. Mendiskusikan puisi yang dibuat dengan orang lain yang dianggap memiliki pengalaman lebih banyak dari dirinya.

Melalui puisi kita mengekspresikan pengalaman menjadi untaian kata yang puitis, artistik dan estetis. Ada baiknya kreativitas tersebut ditekuni secara serius dengan banyak mengekspresikan pengalaman dalam bentuk menulis puisi.

Menulis puisi memerlukan bahan-bahan yang relatif cukup agar memiliki wawasan yang banyak dan luas. Bahannya adalah realitas kehidupan. Pengalaman sehari-hari baik lahir maupun batin, biasa maupun luar biasa.

Beberapa teori menyebutkan, menulis puisi harus dimulai dari tema sebab tema adalah sesuatu yang hendak diungkapkan oleh seorang penulis. Itu yang menyebabkan kita sibuk untuk merumuskan tema. Misalnya cinta, kemelaratan, kemarahan, keadilan dan sebagainya.

Walau tema sudah ditentukan terkadang masih terdapat kebuntuan dalam menjabarkan tema tersebut dalam larik-larik puisi. Menulis puisi tidak harus berangkat dari tema! Ide dan tema bisa menetas kapan saja, inspirasi yang tak terduga. Perjuangan kaum penyair, untuk menaklukkan kata-kata. Masalah tema serahkan saja kepada kaum linguis.

Proses kreatif dapat bermula dari mana saja, yang penting bermuara pada kreativitas yaitu puisi yang diciptakan. Kenyataan dan pengalamanlah yang efektif dalam mengawali penulisan puisi. Tjahyono (1999) berpendapat, beberapa pengalaman kongkrit apapun dapat menjadi inspirasi awal menulis puisi.

Kaitan pengalaman kehidupan begitu eratnya dengan puisi yang dihasilkan seorang penyair. Membentur kita pada pertanyaan: Mengapa seseorang bisa menulis puisi? Jawabnya: Pada dasarnya semua orang bisa menulis puisi! Hanya saja, terdapat perbedaan/perbandingan (halus-kasar) setiap penulis puisi.

Contoh pada siswa SD atau SMP, bila ditugaskan guru Bahasa Indonesia-nya untuk membuat puisi bertema religius (agama). Dapat saya pastikan 80 persen siswa menulis kira-kira begini: Tuhanku// Engkau begitu agung/ tidak ada yang lebih sempurna/ selain Engkau//… Terjadi kelahiran “kembar seribu” pada karya puisi mereka.

Ini disebabkan karena para siswa menulis puisi biasanya terikat pada bentuk dan isi konvensional. Terutama, masih minimnya pengalaman hidup, membuat tidak mengalirnya pembaharuan pada puisi yang dihasilkan.

Pada siswa SMA atau mahasiswa, karya puisi yang diproduksi lebih berbobot dan berenergi. Inovasi dan kreativitas mulai berkembang, seiring dengan latihan rutin dan pengalaman yang semakin banyak.

Kemapanan menjadi penyair tidak dapat diukur dengan alat apapun. Begitu pula taraf kreativitas dan keberhasilan puisi. Menjadi tugas “berat” seorang redaktur puisi menyeleksi karya-karya puisi yang diterimanya.

Penyair dengan puisi-puisi ditulisnya tentu harus memiliki “misi”. Berhasrat memperjuangkan dan memenangkan konsepsi yang diyakini benar. Walaupun pada posisi tidak memiliki kekuasaan secara langsung, sebagaimana misalnya pemerintah, untuk mengubah segala “kebobrokan” itu.

Inilah sebuah dilema, akan menimbulkan masalah baru yang kemungkinan membentur dinding-dinding kejiwaan penyair. Karena walau bagaimana pun, penyair adalah manusia. Bahkan bagian dari masyarakatnya itu sendiri. Memiliki harapan, kekecewaan, kebahagiaan dan putus asa. Penyair sekali-kali tak bisa memaksa, meskipun dia memiliki harapan, rasa senang dan kecewa.

Konsepsi benar yang diyakini penyair, tak selamanya disetujui pembaca puisi. Pertentangan antara puisi yang ditulis penyair setulus isi jiwanya dengan pembacanya. Bahkan pembaca yang tiba-tiba langsung mengecap puisi itu “tak bermakna”.

Keterlibatan penyair menjadi penting. Penyair bisa mengomunikasikan puisi yang dibuatnya dengan tafsir pembacanya. Karena, walau bagaimana pun sebuah puisi terbuka untuk berbagai penafsiran selagi ia memberikan argumentasi (logis maupun tidak) yang layak diterima.

Bila terjadi kesalahpahaman pembaca dengan puisi, itu bukan menjadi kesalahan penyair. Sebab, ada penyair yang mementingkan pembaca. Ada yang mementingkan makna dan ada yang egois hanya mementingkan jiwanya. Sampai-sampai ada yang mementingkan absurditas dalam puisinya. Hanya semua itu bergantung pada kepentingan penyair masing-masing.

()

Baca Juga

Rekomendasi