(Bagian 2-Habis)

Posisi Bahasa Inggris di Indonesia Sangat Lemah

Oleh: Dr. Himpun Panggabean. Posisi bahasa Inggris di dunia dapat dikategorikan atas tiga yakni English as First Language (EFL), English as Second­ Language (ESL), dan English as  Foreign Language (EFL).

Di negara di mana bahasa Inggris digu­nakan sebagai bahasa per­tama (EFL), bahasa Inggris digunakan sebagai alat komu­ni­kasi dan sebagai bahasa resmi seperti di Amerika Seri­kat, Inggris, Australia, dan sebagian wilayah Kanada.

Di negara di mana bahasa Inggris menem­pati posisi seba­gai ESL, bahasa Inggris dipelajari dan digunakan secara luas se­bagai bahasa sehari-hari dan bahasa resmi seperti di Singa­pura, Malaysia, dan sejum­lah negara Afrika

Di negara di mana bahasa Inggris sebagai EFL, bahasa Ing­gris dipelajari di sekolah dan universitas tetapi tidak digunakan secara luas atau sebagai bahasa resmi seperti di Thailand, Jepang, dan Indonesia.

Secara sepintas, posisi bahasa Inggris di Indonesia sangat pen­ting karena masuk dalam kurikulum SD sampai PT serta dite­tapkannya TOEFL sebagai syarat masuk dan tamat di se­jumlah PT. Tetapi sesung­guh­nya bahasa Inggris masih diper­lakukan hanya sebagai salah satu cabang ilmu seperti mata-mata pelajaran lainnya dan sebagai bahasa asing, alih-alih sebagai alat komuni­kasi. Dalam konteks ini, bahasa Inggris di Indonesia bukanlah sebagai bahasa kedua  (ESL) melainkan sebagai bahasa asing  (EFL).

Dari segi politik bahasa, posisi bahasa Inggris di Indonesia tidak sepenting di negara-negara lain, bahkan dipandang sa­ngat lemah. Dalam Undang No.24 tahun 2009 tentang Ben­dera, Bahasa, dan Lam­bang Negara, serta Lagu Kebangsa­an, status bahasa Inggris sama sekali tidak disebutkan.

Dalam Undang Undang ini,  disebutkan bahwa alat komuni­kasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta adalah Ba­hasa Indonesia dan bahasa pengantar pendidikan, kecuali untuk tujuan khusus,  adalah Bahasa Indonesia.

Idealnya agar bahasa Inggris dapat menjadi ESL, seha­rus­nya UU tersebut memuat pasal yang membuka ruang bagi peng­gunaan bahasa Inggris secara lebih luas seperti di negara-ne­gara tetangga. Meskipun secara teoretis,  posisi bahasa Ing­gris di Indonesia sama dengan di Korea Jepang, Iran, dan Thai­land yakni EFL, penguasaan bahasa Inggris masyarakat Indonesia masih jauh berada di bawah penguasaan bahasa Ing­gris masyarakat di negara-negara tersebut.

Di samping kondisi itu,  politik bahasa di Indonesia  me­nem­­patkan  bahasa Inggris pada posisi yang sema­kin lemah dengan dihapuskannya mata pelajaran bahasa Inggris dari kurikulum 2013 SD dan diku­ranginya alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Inggris di tingkat SMA yang pene­rapannya dimulai tahun 2014.

Kebijakan ini kontras dengan kebi­jakan bahasa di Malaysia, Singapura, Thailand, Korea, Jepang, India, dan negara-ne­­gara lain di dunia yang mewajibkan bahasa Inggris dipelajari mulai dari SD sampai PT. Bahkan di Singapura, sejak usia dini, bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa resmi dalam pro­­ses belajar-mengajar.

Langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk meng­ha­puskan pela­jaran bahasa Inggris pada kurikulum SD dan mengurangi alokasi waktu untuk pelajaran tersebut pada kuriku­lum SMA  atas alasan bahwa pela­jaran bahasa Inggris telah melemahkan capaian siswa dan mahasiswa Indonesia dalam pelajaran bahasa Indonesia adalah keliru dan merupakan langkah mundur.

Panggabean (2015) mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing, termasuk bahasa Inggris tidak meng­hambat bahkan menguat­kan pengua­saan bahasa ibu, Bahasa Indonesia. Hal ini sangat logis atas dasar, gramatika dan kosa kata bahasa In­donesia sangat dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Semakin luas penguasaan lingusitik bahasa Inggris seseorang, semakin meningkatlah kemam­puan bahasa Indonesianya. Berda­sarkan hal itu, pengurangaan alokasi waktu untuk pelajaran bahasa Ing­gris di SMA tidak berdasar.

Sementara itu, selain kontras dengan kebijakan bahasa di ne­gara-negara lain, penghapusan mata pelajaran bahasa Ing­gris di SD sangat kontras dengan fenomena proses perolehan bahasa (language acquisition) yang menekan­kan pentingnya pemela­jaran bahasa pada usia dini.

Penfield (1959) dalam hipotesisnya, Critical Period Hypothesis,  menge­mukakan bahwa usia yang paling tepat untuk mem­pelajari bahasa asing adalah usia sepuluh tahun pertama  karena pada masa itulah otak manusia  men­capai plastisitas atau  fleksi­bilitas. Pada masa pubertas, otak manusia akan kehilangan elastisitas dan fleksibili­tasnya yang mengakibat­kan proses belajar bahasa asing semakin sulit.

Atas dasar itu, politik bahasa yang menghapuskan bahasa Ing­gris dari kuriku­lum SD akan menghambat sasa­ran Kemen­ris­tekdikti untuk mendorong PT mengha­silkan karya ilmiah dengan kaliber interna­sional dan menghimbau PT untuk go international.

Ketrampilan berbahasa Inggris, khusus­nya dalam penulisan kar­ya ilmiah tidak dapat dicapai dalam waktu singkat karena harus melalui  proses panjang,  yakni kegemaran memakai bahasa Inggris, latihan melalui trial and error, pembiasaan diri sampai pada proses pengajuan tulisan untuk dipub­lika­sikan yang pasti akan diwarnai dengan penolakan-penolakan dan revisi. Proses seperti itu sudah barang tentu harus dimulai sejak usia dini.

Kebijakan bahasa lainnya yang mem­batasi pemakaian ba­ha­sa Inggris di Indonesia adalah pembatasan pema­kaian ba­hasa Inggris dalam penyiaran seperti tercantum dalam Un­dang- Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam UU ini disebut­kan,  bahasa asing hanya dapat digunakan seba­gai bahasa pengantar sesuai dengan keper­luan suatu mata aca­ra siaran, berbeda dengan di Malaysia dan negara-negara lain­nya di mana terdapat banyak penyiaran yang sepe­nuhnya meng­­­gunakan bahasa Inggris.

Konsep dan Langkah Strategis

Walaupun terdapat pembatasan-pem­batasan, kita tidak boleh menunggu sampai kebijakan  pemerintah atau legislasi menem­p­atkan bahasa Inggris pada posisi yang sa­ngat urgen baru kita mulai belajar dan menggunakan bahasa Inggris.

Ada beberapa konsep dan langkah stra­tegis yang dapat kita lakukan untuk meng­akselerasikan  penggunaan bahasa Inggris dan meningkatkan kemampuan warga bangsa dalam menggunakannya seperti di bawah ini.

Pertama,  Masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa  menggunakan bahasa Inggris bukanlah wujud penja­jahan Amerika, Inggris, dan Australia. Tujuan kita menggu­nakan ba­ha­sa Inggris adalah untuk memba­ngun bangsa melalui penguasaan ilmu pe­ngetahuan, teknologi, ekonomi, dan buda­ya global yang terbungkus dalam bahasa Inggris.

Daya saing global Indonesia akan menjadi kuat jika rakyatnya menguasai bahasa Inggris. Jika bahasa global tidak kita ketahui, tidak mungkin kita bisa melakukan nego­siasi, berdebat, mem­pengaruhi negara lain, dan menyerap kemajuan yang berlang­sung sangat cepat.

Kedua,  Mempelajari dan mening­kat­kan frekuensi pema­kaian bahasa Inggris tidak berarti bahwa kita me­nyam­pingkan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pengem­bangan bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa inter­nasional dan meles­tarikan bahasa daerah  yang banyak di antaranya ter­ancam punah sama sekali tidak berten­tangan dengan pengua­saan bahasa Inggris.

Mengembangkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah se­cara bersamaan dengan memakai bahasa Inggris akan menjadikan rakyat Indonesia sebagai masyarakat multilingual seperti Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara Eropa, Afrika, dan Timur Tengah.

Ketiga, Indonesia harus mengubah posisi bahasa Inggris dari EFL menjadi ESL dengan menggunakannya sesering mung­kin, khusus­nya di sekolah-sekolah dan PT. Perlu diingat, language is a habit.  Melalui strategi ini, masyarakat Indonesia dapat menguasai bahasa Inggris mes­kipun tidak merupakan bekas jajahan Inggris.

Keempat, Bahasa Inggris tidak lebih sulit dari bahasa-ba­hasa lainnya, termasuk Bahasa Indonesia, bahasa Karo, bahasa Jawa, dan bahasa Aceh serta bisa dikuasai oleh setiap manusia normal  terlepas dari latar belakang daerah asal, suku, dan ciri biologis.

Kelima,  Di tengah semakin urgennya ba­ha­sa Inggris, ter­da­­pat  sekitar 700 variasi ba­ha­sa Inggris di dunia yang dina­ma­kan Englishes.

Termasuk dalam variasi ini ada­lah bahasa Ing­gris yang digunakan sehari-hari di Malaysia (Manglish) dan di Singa­pura (Sing­lish), bahasa Inggris Korea, bahasa Inggris Irak, dan lain-lain.

Berdasarkan hal ini, bahasa Inggris tidak harus seperti bahasa Inggris Amerika, Inggris, dan Australia. Masyarakat In­donesia harus mulai memakai bahasa Inggris yang berciri Indonesia sehingga akan lahir bahasa Inggris Indonesia, bahasa Inggris Batak, bahasa Inggris Madura, bahasa Inggris Papua, dan lain-lain.

Hambatan psikologis bahwa bahasa Inggris harus seperti bahasa Inggris Obama atau Pangeran Andrew, misalnya, harus dihilangkan dengan mengembangkan bahasa Inggris kita sendiri.

Yang penting dilakukan adalah memakai bahasa Inggris pada ruang dan kesempatan yang tidak terbatas, terlepas dari kesalahan pengucapan dan gramatika. Kondisi seperti inilah yang tercipta di Malaysia dan Singa­pura sehingga pemakaian bahasa Inggris meluas.

Untuk tahap pembelajaran awal, pema­kaian bahasa Inggris tanpa mempersoalkan kesalahan pengucapan dan gramatika dipandang tepat dan dapat dilakukan semua orang, khususnya di sekolah-sekolah dan  kampus-kampus.

 Untuk tahap berikutnya, mencapai kemahiran memakai bahasa Inggris  dalam negosiasi, pidato, konsep nota ke­sepahaman, seminar,  dan penulisan karya ilmiah, diperlukan latihan dan pembelajaran intensif dan terencana. ***

Penulis adalah Dekan Fak. Sastra Universitas Methodist Indonesia.

()

Baca Juga

Rekomendasi