Berguru Kepada Nabi Khidir AS

Oleh: Muhammad Idris Nasution

Tepat dua hari yang lalu (25/11/2015), kita memperingati Hari Guru Nasional. Salah satu hari nasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 78 Tahun 1994. Dalam pertimbangannya diakui bahwa guru memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Seorang guru memiliki kedudukan yang mulia. Saidina Ali dalam sebuah riwayat menyatakan ‘Saya adalah hamba bagi orang yang mengajariku meski satu huruf saja’. Guru adalah orang tua kedua. Tetapi karena kemulian guru, sampai-sampai dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim, ada sebuah pendapat yang menyebutkan bahwa guru lebih utama dari orang tua. Karena orang tua ‘menurunkan’ seseorang dari langit ke bumi, sementara seorang guru ‘menaikkan’ seseorang dari bumi ke langit.

Berbicara tentang guru, penulis tertarik mengulas perjalanan Nabi Musa AS bersama sahabatnya, Yusya’ bin Nun, untuk mencari seorang guru. Guru tersebut bernama Khidir AS. Kisahnya terpampang dan diabadikan dalam Alquran surat Al-Kahfi mulai dari ayat 60 sampai ayat 82.

Kisah ini bukan kisah yang asing di telinga. Barangkali kita sudah sangat hapal alur kisahnya. Kita terkagum-kagum dengan tingkah laku Khidir AS. Ironisnya, kadang kita sampai lupa meneguk hikmah di dalamnya. Oleh karena itu, penulis bermaksud menggali sepercik, hanya sepercik saja hikmah dari kisah panjang ini. Karena penulis melihat deretan ayat ini mengajarkan berbagi macam prinsip dalam belajar dan berguru. Mulai dari semangat dan motivasinya, sampai bagaimana adab dan etikanya.

Pertama, diceritakan bahwa Nabi Musa AS agak sedikit takjub dengan ilmu yang dimilikinya. Bahkan dalam satu riwayat, beliau sampai mengatakan ‘Adakah orang yang lebih alim daripadaku?’ Allah kemudian memerintahkan untuk menemui seseorang di tepi pantai, tempat bertemunya dua lautan, tepat di dekat sebuah batu besar. Orang yang dimaksud adalah Nabi Khidir AS.

Ketika pertemuan itu terwujud, Nabi Musa meminta Nabi Khidir untuk mengajarinya. Khidir malah menjawab, “Cukuplah untukmu kitab Taurat, sementara wahyu terus mendatangimu. Wahai Musa, sesungguhnya aku memiliki suatu pengetahuan yang tidak selayaknya engkau ketahui, dan engkau mempunyai suatu ilmu yang tidak seyogiyanya aku ketahui. Demi Allah, ilmuku dan ilmumu di hadapan ilmu Allah, hanya seperti tetes air yang diambil paruh burung ini dari lautan.”

Pesan Nabi Khidir ini mengajarkan agar Nabi Musa dan kita merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Bahwa setinggi apapun pendidikan kita, sebanyak apapun gelar akademik kita, itu tidak berbanding sedikit pun dengan ilmunya Allah. Firman Allah, “Kamu tidak diberikan pengetahuan kecuali hanya sedikit.” (QS Al-Isra’: 85)

Inilah salah satu tujuan menuntut ilmu dan berguru. Agar kita tahu, di atas langit masih ada langit. Firman Allah, “Di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” (QS Yusuf: 76) Ilmu itu semestinya membuat orang semakin tawadhu’. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. 

Kedua, Alquran mencatat semangat membara yang terucap dari bibir Nabi Musa ketika akan berangkat mencari sang guru. “Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.” (QS Al Kahfi: 60) Ayat ini menggunakan kata “huqub” yang menurut satu pendapat berarti delapan puluh tahun. Artinya, bukan setahun dua tahun, tetapi Nabi Musa berjanji pada dirinya untuk menemukannya meski akan memakan waktu puluhan tahun.

Jika seorang nabi saja memiliki semangat seperti ini, bagaimana dengan kita? Agama mengajarkan ‘Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahad’, ‘Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri China’. Karena menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Jadilah seorang pembelajar seumur hidup.

Ketiga, sebagai seorang murid yang hendak menimba ilmu, Nabi Musa menunjukkan adab dan etika yang mulia. Hal tersebut tercermin dari ungkapan yang beliau sampaikan ketika menawarkan dirinya kepada Nabi Khidir untuk mengajarinya. “Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS Al-Kahfi: 66)

Dari satu baris kalimat ini, Ar-Razi mengungkap betapa anggunnya adab dan penghormatan yang ditunjukkan oleh Nabi Musa terhadap gurunya ini. Ada dua belas poin yang ditunjuukan oleh Ar Razi yang sepatutnya menjadi teladan bagi setiap murid untuk menghargai gurunya. Beberapa di antaranya adalah 1) Pertama-tama Nabi Musa menawarkan dirinya untuk menjadi pengikut Nabi Khidir. Setelah itu baru dia meminta untuk diajari. Rasa-rasanya prinsip ini sudah mulai tergerus zaman. Banyak murid yang berpikir bahwa sudah tugas guru untuk mengajar, haknya adalah mendapatkan gaji. Sehingga penghormatan nomor sekian, apalagi membaktikan diri.

2) Nabi Musa menyebutkan “supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” Pilihan kata yang digunakan oleh Nabi Musa adalah min, yang berarti tab’idh. Artinya, Nabi Musa mengakui bahwa ilmu yang akan diajarkan gurunya kepadanya hanyalah sebagian saja dari ilmu yang dimilikinya. Nabi Musa menyanjung gurunya memliki segudang ilmu. Ironis denga kelakuan sebagian murid yang merasa lebih pintar dari gurunya. Di mana bertanya pun hanya untuk mengetes-ngetes saja.

Keempat, ketika sedang merayu Nabi Khidir untuk menjadi gurunya, Nabi Musa berjanji, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun." (QS Al-Kahfi: 69)

Ayat di atas menunjukkan dua syarat utama dalam berperilaku terhadap guru, yaitu bersabar dan tidak mendurhakainya. Jika seorang guru dituntut untuk bersabar terhadap murid-muridnya, maka seorang murid juga dituntut untuk bersabar terhadap gurunya. Contoh kecil, sabar tidak mendahuluinya di jalan, sabar tidak memotong pembicaraannya, sabar tidak membantahnya, dan sabar tidak mendurhakainya.

Sesungguhnya dua syarat yang dijanjikan oleh Nabi Musa ini sangat berat, terutama bagi mereka yang telah memiliki bekal ilmu. Bahkan orang sekaliber Nabi Musa saja, sebagaimana ditunjukkan ayat tidak mampu melakukannya. Ketika Nabi Khidir melakukan sesuatu yang menurutnya ganjil, dia mengkritiknya dan tak sabar untuk menunggu penjelasannya. Bahkan lebih jauh Nabi Musa langsung menunjuk gurunya itu, “Sesungguhnya engkau telah melakukan kesalahan yang besar” “Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar.” (QS Al-Kahfi: 71 dan 74)

Apa yang ditunjukkan oleh kisah ini sebenarnya menggambarkan perilaku yang juga sering sekali menimpa sebagian kita. Jika kita berada di posisi Nabi Musa ketika itu, barangkali kita tidak akan mampu menahan kesabaran selayak beliau. Jangankan menghadapi persoalan seberat itu, dalam masalah-masalah yang lebih ringan, sebagian kita tidak bisa bersabar memvonis sesat, kafir, bid’ah dan sebagainya, sampai menghalalkan darahnya. Meskipun kadang yang melakukannya adalah seorang ulama.

Demikianlah beberapa poin yang dapat penulis sampaikan. Tentu saja masih bertebaran mutiara hikmah yang terkandung dalam untaian ayat-ayat ini. Wallahu a’lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi