MANA yang sebaiknya diwarisi orangtua kepada anak, harta atau ilmu? Pertanyaan ini sering diajukan terhadap orangtua yang ‘sibuk’ mencari harta, sehingga pendidikan anaknya tidak terurus. Maka bila pertanyaan itu ditujukan kepada orang yang workcholic (orang yang gila bekerja) maka bisa jadi ia akan menjawab, harta. Namun ada juga yang menjawab kedua-duanya. Dan bila kita tanya kepada orang yang memang tidak mempunyai kerja atau istilahnya mocok-mocok (kadang-kadang kerja kadang kadang tidak) maka ia akan menjawab, “Boro-boru mikirin harta dan ilmu untuk anak, bisa makan saja ini hari sudah lumayan.”
Jadi memang setiap pertanyaan, bisa jadi ada jawabannya bisa jadi tidak, tergantung siapa yang ditanya. Tetapi secara umum, ada dua protetipe manusia dalam memberikan warisan kepada kepada anaknya, yang pertama adalah memberikan harta, ini biasanya orang-orang kaya dan orang yang mewariskan kepada anaknya ilmu.
Dalam kondisi sekarang, kedua-duanya memang sangat sulit untuk diraih, baik harta maupun ilmu. Kalau dulu orang-orang kaya sepertinya begitu membanggakan hartanya, tetapi sekarang bisa-bisa mereka yang selalu membanggakan hartanya tersebut terjerat kasus korupsi, akibatnya bukan harta kekayaan yang akan diwarisi kepada keluarga dan anaknya tetapi sebaliknya rasa malu yang muncul akibat orangtuanya dipenjara di terali besi akibat melakukan korupsi uang negara.
Sementara itu, jika kita ingin mewarisi ilmu, mau tidak mau, orangtua juga harus banting tulang membiayai pendidikan anaknya, apalagi untuk masuk pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi semuanya memerlukan uang yang tidak sedikit.
Tapi kalau mau kita arif dan bijaksana, apa yang sebaiknya ditinggal orangtua kepada anaknya maka jawabannya adalah ‘ilmu’.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berpesan kepada sahabatnya Kumail bin Ziyad an Nakhai.
“Ya Kumail, ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sementara engkau yang menjaga harta. Harta menjadi berkurang ketika dibelanjakan, sementara ilmu semakin bertambah bahkan ketika diberikan.”
Lalu, Ali menambahkan, “Penimbun harta sebenarnya mati meskipun mereka hidup, sementara mereka yang berilmu akan terus hidup sepanjang waktu.”
Pesan Ali ini memang singkat, tetapi merupakan sesuatu yang begitu bermakna. Jarang ada orang yang ‘mulia’ karena berharta, tetapi banyak yang ‘mulia’ karena berilmu.
Saat ini, di mana penegakan hukum mulai ditegakkan, banyak sekali orang yang karena jabatan menyalahi sumpah jabatannya. Ia menimbun harta negara demi kesenangan diri pribadi dan keluarganya, tetapi karena Allah telah membukakan aibnya akhirnya harta yang ia ‘rampas’ tersebut bukan membuat ia mulia tetapi terhina.
Diskursus mengenai ilmu dan pendidikan begitu sangat menarik. Namun sayangnya di negara ini, pendidikan dipandang begitu sangat mahal, akibatnya orang-orang yang ‘pintar’ tidak dapat lagi melanjutkan pendidikannya karena ketidak mampuannya untuk membayar biaya pendidikan tersebut.
Mereka adalah orang-orang pintar yang akhirnya tidak mampu berkompetisi mengharumkan nama bangsa di mata dunia karena terganjal biaya pendidikan. Akibatnya mereka hanya menjadi orang-orang yang tidak mampu bersaing, apalagi budaya kita masih menomer satukan ijazah daripada skill seseorang.
Itulah fakta, dan mau tidak mau, jenjang pendidikan merupakan prasyarat yang memang dikedepankan di negara ini.
Di saat bangsa sedang mengalami krisis, persoalan harta dan ilmu begitu mengusik perhatian kita. Keduanya merupakan nilai yang sangat strategis untuk membangun bangsa ke depan.
Walaupun dalam nasehat Imam Ali, ia lebih mendahulukan ilmu dari harta, tetapi sesungguhnya ada sesuatu yang tersembunyi. Ia tidak melarang kita mencari harta, namun jangan menjadi penimbun harta. Selain itu jangan sekali-kali menjadi budak harta, sehingga kita takut harta kita menjadi hilang. Kalau sudah takut harta hilang, maka susah untuk berzakat dan bersedekah.
Kalau Imam Ali melarang setiap kita untuk mencari harta kekayaan, jelas itu bukan perkataan Imam Ali, karena imam Ali adalah ‘pintu’ ilmu sementara Nabi Muhammad adalah ‘gudang ilmu’ tidak mungkin ia melarang orang untuk mencari harta, karena dengan harta kita bisa berzakat, bersedakah, pergi haji dan melakukan amalan-malan yang baik. Hanya ia mengingatkan agar dalam mencari harta jangan sampai menimbunnya, ini yang tidak boleh.
Apalagi Nabi bersabda, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu hidup seribu tahun lagi, beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kamu mati esok hari.”
Jadi memang tidak ada yang melarang umat Islam untuk miskin, karena kemiskinan menurut Umar ibn Al-Khattab adalah jalan untuk kekafiran.
Sementara mengenai ilmu, dan konteks umum ada ilmu dunia dan ada ilmu akhirat. Ada ilmu yang memang membawa kemaslahatan ada juga ilmu yang membawa kemudharatan. Tidak semua ilmu yang harus kita warisi kepada anak dan cucu kita, tetapi adalah ilmu yang membawa kemaslahatan, karena ilmu inilah yang akan membawa mereka ke jalan yang diridhoi Allah.
Banyak orang yang belajar tetang sesuatu ilmu, karena memang ilmu sangat penting, tetapi harus diingat tidak semua ilmu ‘wajib’ diamalkan, boleh dipelajari tapi bukan untuk diamalkan. Sebagai contoh, kita belajar ilmu bagaimana mencuri, tidak perlu diamalkan tetapi ilmu ini penting agar kita waspada jika ada pencuri yang akan memasuki rumah kita, mulai dari gerak-geriknya hingga apa yang harus kita lakukan bila kita menjadi pencuri.
Setiap ilmu pada dasarnya adalah baik, tinggal bagaimana kita mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebagai orangtua, tidak ada salahnya meninggalkan ilmu dan harta kepada ahli waris kita. Jangan hanya meninggalkan harta saja, karena bisa jadi mereka akan menjadi musuh. Kalaupun tidak sanggup mewarisi harta, warisilah ahli waris kita dengan ilmu yang baik, mudah-mudahan dengan ilmu tersebut ia mampu mencari harta yang diridhoi Allah SWT.
Akhirnya, mari mencari harta dengan ridho Allah dan mari bekali diri dengan ilmu yang bermanfaat. Karena kedua-duanya adalah ‘jalan’ untuk mencapai keridhoan Allah, tetapi bisa juga karena lalai kedua-duanya bisa membawa kepada murka Allah.