Dampak Positif KTT ASEAN Bagi Indonesia

Oleh: Andri Pranata.

Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang telah berlangsung di Kuala Lumpur Convention Center (KLCC), Malaysia tampaknya telah dimanfaatkan dengan maksimal oleh Presiden Joko Widodo. Selain menunjukan kepedulian yang tinggi pada sejumlah isu atau persoalan bersama, seperti radikalisme, ancaman terorisme hingga ketegangan di Laut Cina Selatan, Presiden Joko Widodo pun tidak lupa berpromosi mengenai prospek investasi asing di Indonesia. Pada rangkaian KTT yang dihadiri kepala negara dan kepala pemerintahan dari puluhan negara itu, kesan yang muncul adalah Indonesia yang bersuara dan bersikap. Suara atau pernyataan Indonesia cukup lantang, bahkan nyaris tanpa basi-basi. Pun didukung oleh pengambilan sikap dan posisi yang tegas dan sangat mudah dimaknai.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemimpin negara-negara ASEAN telah menandatangani deklarasi pemantapan Masyarakat ASEAN di tengah KTT yang berlangsung di Kuala Lumpur. Dengan demikian, kita tidak bisa mundur lagi, melainkan harus mempersiapkan diri untuk menyongsong suasana persaingan yang lebih kompetitif. Masyarakat ASEAN mencakup tiga bidang utama, yaitu keamanan, ekonomi, serta sosial-budaya. Pemberlakuannya sudah mundur cukup lama. Semula sistem tersebut akan dimulai awal tahun ini, namun ditunda ke akhir Desember untuk lebih memantapkan persiapan pengembangan sebuah kawasan yang terintegrasi.

Kerja sama ekonomi diperkirakan akan sangat menonjol, apalagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah lama dicanangkan. Kerja sama ekonomi ini sudah sering disoroti, terutama berkaitan dengan kesiapan kita menghadapi persaingan yang ketat dari sesama negara Asia Tenggara. Banyak pandangan yang meragukan kemampuan Indonesia bersaing karena efisiensi kita rendah, sedangkan produk negara lain dipandang lebih kompetitif. Kita juga kurang terkoordinasi dalam upaya menembus pasar internasional karena pengusaha harus berjalan sendiri-sendiri, bahkan kurang memperoleh dukungan sepadan dari pemerintah.

Kita sebenarnya gamang menetapkan strategi menghadapi MEA. Di satu pihak, kita menyadari pentingnya kerja sama dan memperluas perdagangan internasional. Namun di lain pihak, kita ingin mempertahankan dominasi pasar domestik yang sangat besar. Kegamangan itu menyebabkan strategi kita tidak jelas mengenai akan “berperang” di pasar domestik atau di pasar internasional. Banyak pihak yang berpandangan, sebaiknya kita berkonsentrasi menguasai pasar domestik sebelum menjangkau ke luar.

Padahal, MEA membuat pasar domestik kita kebanjiran barang dan jasa dari luar negeri yang sering kali lebih murah. Mutu produk asing tidak selalu lebih bagus. Namun, perilaku konsumen kita kerap menjadi faktor penentu, mengapa barang luar negeri lebih digemari. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan karena tekanan defisit neraca dagang dan jasa-jasa makin membesar.Oleh karena itu, diperlukan cara pandang yang lebih positif dan konstruktif melihat pemberlakuan MEA sebagai peluang. Sangat disayangkan apabila pola pikir masyarakat, khususnya pelaku usaha, belum seluruhnya mampu melihat kebijakan ini sebagai peluang.

Bertanggung Jawab

Pemerintah sangat bertanggung jawab atas lemahnya respons masyarakat dalam menyikapi pemberlakuan MEA. Di lain pihak, negara-negara lain jauh lebih siap.Kita kalah beberapa langkah dari negara tetangga. Menurut Journal of Current Southeast Asian Affairs, kesadaran dan pemahaman masyarakat masih sangat terbatas. Ini berbeda dengan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia, yang sosialisasi mengenai MEA-nya berjalan intensif sehingga masyarakat sangat paham yang harus dilakukan. Mereka juga membuka kantor-kantor perwakilan dagang, termasuk di Jakarta, sebagai cara pemerintah membantu dunia usaha.Kita juga kalah dalam tingkat daya saing.

Menurut penelitian World Economic Forum (WEF), sebagaimana dalam dokumen Global Competitive Index tahun ini, kita masih jauh ketinggalan dari Malaysia, Brunei, Thailand, apalagi Singapura. Ini menunjukkan, banyak aspek yang harus dibenahi untuk mempertinggi daya saing. Korupsi yang merajalela dan lemahnya kepastian hukum merupakan biang keladi paling menonjol yang menjadi alasan daya saing kita rendah. Namun anehnya, kita tidak pernah serius membenahi masalah tersebut. Para elite justru cenderung berupaya melanggengkan budaya kotor tersebut.

Kelemahan lain yang juga menonjol adalah kekurangan infrastruktur, khususnya bidang transportasi dan energi. Hal ini menyebabkan biaya ekonomi tinggi, terutama bagi sektor produksi dan pasar. Sayangnya, pemerintah kurang fokus mengatasi hal ini. Kekurangan tersebut terlihat dari kebijakan yang berubah-ubah, bahkan saling sikut antarpejabat dalam penetapan skala prioritas. Karena itu, sangat mungkin kita keteteran menghadapi persaingan global. Namun, kita tidak bisa mundur dan harus siap menghadapinya. Pemerintah harus fokus dan konsisten membenahi iklim usaha yang memungkinkan berbagai potensi kreatif di dalam negeri berkembang dengan baik dan mampu bersaing. Potensi kreatif kita sangat besar. Jangan sampai kita dikalahkan pesaing asing karena tidak mengurusnya atau salah mengelolanya.

Tentunya, Indonesia sebagai bagian dari ASEAN harus mau dan mampu menjadi bagian dari Komunitas ASEAN.  Beberapa kalangan merasa tidak yakin dengan kesiapan Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus menyadari keunggulan secara makro yang dimiliki Indonesia.

Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN, dari luas wilayah maupun jumlah penduduk. Poin ini sangat penting bagi kemajuan suatu negara dan juga bagi hubungan ekonominya dengan negara lain.

Pasar yang bisa diciptakan dari Indonesia sangatlah besar. Betul bahwa negara-negara lain di ASEAN bisa masuk ke Indonesia dan mungkin akan berdampak kepada pasar lokal Indonesia. Jangan lupa, jumlah penduduk yang luar biasa besar itu juga bisa masuk ke pasar di negara-negara ASEAN. Isu yang mesti digarisbawahi adalah kompetisi.

Adanya kompetisi antar penduduk yang semakin integratif antara negara- negara ASEAN, masyarakat Indonesia harus mau lebih kompetitif agar dapat memanfaatkan pasar yang besar ini. Terkait dengan luas wilayah, masyarakat dan pemerintah daerah tentunya dapat memberdayakan hubungan yang lebih intensif dengan negara-negara ASEAN.

Lebih bagus lagi, kalau hubungan tersebut bisa menarik investor dalam skala besar di daerah-daerah di Indonesia.

Tentunya investasi tersebut harus menguntungkan bagi daerah-daerah di Indonesia, dan hal ini bisa dicapai karena pemilik wilayah memiliki posisi tawar lebih besar dibandingkan dengan pihak yang tidak memiliki wilayah.

Selain itu, ditengah kecemasan masyarakat internasional terhadap ancaman nyata radikalisme dan serangan teroris, Presiden Joko Widodo tak lupa mengajak negara-negara peserta KTT Asia Timur melawan radikalisme untuk memerangi terorisme. Kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki Moon, Presiden memberi saran tentang perlunya menghadirkan para pemuka agama saat PBB membahas ancaman terorisme.

Pada akhirnya, kita bangsa Indonesia sangat diyakini akan mendapat dampak positif dari pelaksanaan KTT ASEAN sepanjang bangsa ini mampu memanfaatkannya dengan baik dan bijak.***

Penulis adalah pengkaji di Lembaga Pembaharuan Nasional.

()

Baca Juga

Rekomendasi