Mimpi yang Tertunda

Oleh: Novita Sari Purba

Dengan sembilan jam menunggu, berharap dipersilahkan masuk ke kantornya, berharap judul yang kupikirkan selama 5 hari ini tidak ditolak, apakah aku boleh marah?

MASIH di ruang yang sama, aku kembali melirik jam tanganku.

16.40. itu artinya sudah hampir sembilan jam aku duduk di sini., terdiam, dan tepatnya menunggu. Sama dengan sembilan jam yang lalu aku menanti dengan harap-harap cemas. Memastikan bahwa hari ini semua akan dan harus rampung. Cerita teman-teman telah membakar semangatku. Aku juga harus bisa keluar dari kampus ini dalam jangka 4 tahun. Dari kos aku telah membulatkan tekad, hari ini aku harus membawa hasil. Judul telah di ACC.

Jumlah mata yang memandangku dengan sinar curiga sudah mulai meningkat. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang cuek akan hal ini. Sesekali aku salah tingkah hingga menimbulkan pertanyaan di antara beberapa petugas administrasi fakultasku itu.

“Lha, belum pulang? Dari tadi nungguin siapa, dek?”, pertanyaan itu lagi-lagi muncul.

“Menunggu Bapak Nas, Pak.”  Jawabku untuk sekian kalinya.

Aku termasuk tipe orang yang ngak sabaran. Sebenarnya menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak biasa aku lakukan. Tapi terkadang kita harus melakukan sesuatu hal yang sama sekali tidak kita sukai. Menunggu Pak Nas hari ini adalah menunggu terlama yang pernah kulakukan. Pernah aku menunggu Iva sampai dua jam dan itu membuatku marah besar waktu itu.

“Kau pikir kau artis. Sampai dua jam aku membusuk nungguin kau...” ucapku benar-benar ketus waktu itu. Dan kini, dengan sembilan jam menunggu, berharap dipersilahkan masuk ke kantornya, berharap judul yang kupikirkan selama 5 hari ini tidak ditolak, apakah aku boleh marah?

***

Aku tersenyum seramah mungkin pada lelaki setengah baya di hadapanku. “Ehemmm...” berkali-kali Pak Nas berdehem seraya membaca judul yang kuajukan. Aku tak mengerti arti deheman itu sehingga aku hanya berusaha senyaman mungkin di ruangan ber_AC ini. Ruangan tempat dosen pembimbing skripsiku.

Lama menunggu, akhirnya kertas putih berisi judul skripsi itu di letakkan di meja kerjanya.

“Siapa tadi nama Anda?”, ujar beliau. 

“Tiur Lina Harahap, Pak”, ucapku mantap. Bapak itu melirik kertas itu lagi.

“Hmm, bagaimana ya...” , beliau mengangkat kertas putih itu. Cukup lama diamatinya lagi.

“Anda sudah semester berapa?”, pertanyaan itu membuatku terkejut.

“Semester tujuh, Pak”, ujarku sedikit linglung. Ada apa ini?, bisikku pada diri sendiri.

“Baiklah. Baru siap PPL berarti?”, bapak itu mencoba untuk berbasa-basi.

“Iya, pak.”

“Sebelumnya pernah tidak Anda dibekali metodologi penelitian?”, aku terdiam sejenak. Tentu saja pernah. Itu salah satu mata kuliah yang kuambil pada semester lima.

“Pernah, Pak.” Aku berusaha menerjemahkan setiap ucapan bapak itu dengan hati-hati.

“Mengerti ngak dengan perkataan saya?”, bentakan itu sedikit mengagetkanku. Kalau sama beliau kita harus sabar. Bapak itu ekspresi suaranya memang bentak-bentak, teringat ucapan senior pada percakapan tadi siang. Aku hanya diam. Bingung kemana arah pembicaraan Bapak itu.

“Ini, coba Anda lihat ini masih kurang bagus. Ini sama sekali tidak cocok digunakan untuk kurikulum yang sedang berlangsung. Dari sini saya bisa mengambil gambaran Anda. Anda sama sekali belum memahami kurikulum yang sedang berlangsung saat ini. Apa yang Anda pelajari di mata kuliah Telaah Kurikulum? Apa yang Anda pelajari di mata kuliah Micro Teaching? Dan Anda baru-baru ini PPL, bagaimana Anda mengajarkan anak didik Anda selama 3 bulan ini?” Deg... jantungku berdetak dengan detakan yang tak normal. Mukaku memerah dan air mataku mau berjatuhan. Aku berusaha membendungnya.

“Satu lagi yang perlu Anda tau ini tahap menyusun skripsi. Jangan sepelekan itu.”

***

Ini minggu ke dua, aku datang ke kampus. Tujuannya masih sama ACC judul Skripsi. Meski antara rasa pesimis dan optimis saling kejar-kejaranan di dalam pikiranku, aku masih tetap datang ke kampus setiap hari. Menunggu dan menunggu lagi di depan ruang kerja pak Nas.

Kali ini tidak ada lagi pertanyaan dari petugas administrasi ataupun dari dosen-dosen yang kebetulan berkantor di sana, dan juga tidak ada lagi pandang curiga dari mahasiswa yang juga sering nongkrong di kursi yang sama. Semua sudah memberi senyum maklum dan dari pandang mata mereka kuterjemahkan “Ya sudahlah wong cilik memang nomor dua”.

Sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Revisi, bertemu lagi besok, revisi, dan bertemu lagi besok. Aku sering berharap revisi terakhir adalah hari ini, tapi harapan tidak harus sesuai dengan kenyataan.

Kali ini senyum pak Nas mengembang. Dua minggu belakangan ini aku selalu berharap setiap gerak-gerik beliau adalah keberuntungan buatku. Termasuk juga kali ini, dengan wajah cerah yang tidak biasa, dipandanginya kertas yang belum lama kuberikan.

“Tiur?” 

“Iya, pak.” Ucapku pelan.

“Tau tidak mengapa seorang penulis tidak bisa cepat terkenal di negara kita ini? Tidak seperti boy band yang tiba-tiba melejit ketenarannya.” Ujar dosen senior itu sesaat setelah siap menilai judul skripsi yang kuajukan. Untuk kondisi yang berbeda mungkin aku akan berusaha menjawab pertanyaan ini. “Yang menjadi musuh penulis yang paling besar adalah diri mereka sendiri. Seorang penulis sering bergumul dengan diri sendiri. Pantaskan tulisan ini saya publikasi? Mengertikah pembaca akan maksud tulisan ini? Itu sering menjadi pertanyaan seorang penulis. Takut makna tulisannya tidak tersampaikan kepada pembaca sehingga ia membuat sejelas mungkin sehingga bertele-tele.” Lanjut pak Nas. Aku terdiam. Ya, intinya ada sesuatu yang tidak beres dengan judulku. Mungkin itu adalah “bertele-tele”.

“Boleh saya jujur?”, tanya Pak Nas tiba-tiba. Aku tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Antara ACC atau tidak sudah berkecamuk di dalam otakku.”Dari awal saya merasa kamu bisa menciptakan sesuatu yang berbeda. Judul pertamamu benar-benar menarik perhatian saya. Dengan catatan, sekiranya kita masih berada di kurikulum KTSP. Awal revisi saya minta pada Anda, ganti model buat media yang tepat dan sesuaikan dengan materi penelitianmu. Saya kecewa karena pertemuan berikut, jangankan model yang diganti, malah judul serupapun sudah hilang. Anda coret dan itu membuat saya kesal.” Aku berusaha menjadi seorang pendengar yang baik walau kini aku tidak bisa menerjemahkan perkataan beliau secara tepat. Karena sekarang aku hanya menunggu jawaban “Ya”

“Saudara, untuk mendapatkan ilmu itu bukanlah hal yang mudah. Karena terkadang kita harus mencari, mencari, dan terus mencari. Saya tidak tau seberapa rumitkah pemikiran Anda sehingga proses ini menjadi lama, bukan?” Saya tidak tau seberapa rumitkah pemikiran Anda? Aku merasa ditelanjangi dengan perkataan ini. Sama seperti dua minggu yang lalu Beliau menilai ilmu Telaah Kurikulum dan Micro Teaching-ku benar-benar kosong.

Kali ini aku tidak ingin emosiku terpengaruh. Aku tak ingin lagi raut wajahku memerah dengan segala komentar.

“Ya, baiklah tanpa berlama-lama karena ini sudah sore,” aku melirik jam tanganku. Hampir jam enam. “Saya rasa kita boleh jumpa lagi di tahun ajaran baru.” Aku terpana memandang dosen pembimbing yang ada persis di depanku. Sepersekian detik aku tidak bisa bergerak dari tempatku. Kata ‘kita berjumpa di tahun ajaran baru’ itu benar-benar menyayat. Itu artinya impianku untuk lulus tepat waktu benar-benar hilang. Kini aku sudah tidak peduli dengan kata hatiku. Airmataku keluar dari kedua mataku. Ini semua jauh diluar dugaanku. Memang jauh sebelumnya aku telah memikirkan hal terpahit dalam perjuangan tugas akhir ini tapi aku tidak pernah menyangka kalau aku harus ACC judul pada tahun ajaran baru. Aku membayangkan wajah kakakku yang membiayaiku selama hampir empat tahun perkuliahan. Aku membayangkan pandang kecewa orangtuaku karena aku tak bisa menyelesaikan studiku tepat waktu. Hatiku berontak dengan kisah manis teman-teman seangkatanku yang kini tidak lagi memikirkan judul. Aku malu dengan diriku sendiri yang tidak bisa panutan untuk ketiga adikku. Aku tiba-tiba merasa sangat hina dengan keadaanku.

“Pak, bantu saya, Pak. Saya bersedia datang ke rumah untuk revisi selama liburan ini.” Tentu ini adalah kata-kata yang pahit. Sementara orang merayakan Natal aku harus berjibaku dengan harapan ACC judul. Dan sangat tidak lucu, untuk acara tahun baru yang biasanya adalah kumpul semua keluarga kuhabiskan juga di kota ini untuk alasan yang sama. Pengajuan judul.

“Tak banyak yang bisa ditawar-tawar dalam hidup ini, Nak. Ingat, kata ‘Hubungan’ dalam judulmu itu hilangkan.” Pak Nas tersenyum miris melihat keadaanku.

***

()

Baca Juga

Rekomendasi