Lokalisasi, Moral dan Agama

Oleh: Prof. Subanindyo Hadiluwih, SH, Ph.D.

Peraturan Daerah (Perda) tentang lokalisasi pelacuran yang pertama kali di buat di Indonesia konon dikeluarkan oleh Kotapraja Surakarta, sekitar tahun 50-an. Lokalisasi pelacuran dengan nama ‘Silir’ ini segera dikenal di berbagai sudut kota. Tak hanya di kota Sala/Surakarta, tapi juga kalangan ‘hidung belang’ di berbagai kota lain. Sukses membuka lokalisasi pelacuran di Sala, kota-kota lain tak mau ketinggalan. Klaten punya ‘mBaben’, Jogya punya ‘mBalokan’, Semarang punya ‘Sunan Kuning’, Jakarta punya ‘Kramat Tunggak’, Surabaya punya ‘Dolly’, Malang punya ‘Plorodan’ dan Medan punya ‘Bandar Baru’, ‘Warung Bubur’, dan ‘Sicanang.’. Khusus kota Medan, tak pernah diakui tentang Perda Lokalisasi Pelacuran.

Meski bukan berarti tidak ada ‘lokalisasi’ di Medan. Ketika lokalisasi ‘Kramat Tunggak’ di Jakarta ditutup, demikian juga ‘Dolly’ di Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa penutupan lokalisasi pelacuran merupakan suatu tindakan yang pas untuk memberantas pelacuran, sekaligus penyakit kelamin yang biasa diturunkannya, mulai dari gonorrhoe, syphillis sampai HIV/Aids. Meski harus diakui bahwa silang pendapat tentang keputusan untuk menutup lokalisasi pelacuran tidak dianggap sebagai satu-satunya resep memberantas pelacuran. Dunia pelacuran, yang konon dianggap sebagai suatu penyakit masyarakat yang tak pernah terberantas, memang meliputi dua aspek kajian, pertama kajian sosiologis, dan yang kedua kajian medis. Banyak pakar yang tidak sepakat bahwa penyakit masyarakat ini sesungguhnya juga dapat dikaji melalui aspek moral dan agama.  Sayang, kajian moral, bahkan agama, ternyata bukan jaminan untuk menghindarkan seseorang dari perilaku seks yang menyimpang itu. Skripsi yang saya tulis tahun 1970, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum, berjudul ‘Tinjauan Atas Delik Kesusilaan dalam KUHP’. Ternyata delik kesusilaan yang terdapat dalam KUHP ada di pasal 281 sampai dengan pasal 299. Sementara pasal pelanggaran termaktub dalam pasal 531 sampai 535. Tak satupun dari pasal-pasal tersebut mencantumkan larangan tentang pelacuran. Artinya, pelacuran memang tidak ‘dilarang’ oleh undang-undang. Hanya terdapat pasal 296 yang melarang usaha untuk memberikan tempat bagi perbuatan pelacuran. Salah satu buku saya juga membahas tentang nafsu yang tak hilang selama orang itu masih bernafas (Nafas, Nafsu, Erotika, Sensualitas dan Seksualitas, Dalam Tinjauan Filsafat Hukum, 2012). 

Tak heran kalau tak ada pasal-pasal dalam KUHP yang efektif memberantas pelacuran. Diawali dengan ragam bentuk pelanggaran kesusilaan, sampai perselingkuhan dan perzinahan, maka ketidak efektifan delik-delik kesusilaan ini kemudian dicoba untuk diatasi dengan undang-undang yang baru, yang dikenal sebagai undang-undang Pornografi dan Pornoaksi. Dikenal sebagai UU No.44 Tahun 2008. Jelas bahwa undang-undang inipun tidak dapat secara efektif menghentikan pelacuran, apalagi penyakit-penyakit yang diturunkannya. Kalau secara formal undang-undang ini dianggap dapat mengurangi perkembangan penyimpangan seksual, namun secara materiil jelas tidak berhasil.  Pelaku penyimpangan seksual akan semakin cerdas menutupi perilakunya.  Anti Lokalisasi

Sejak awal, usaha penutupan lokalisasi pelacuran selalu menimbulkan perdebatan yang tak berpangkal dan tak pula berujung. Memang, dengan penutupan lokalisasi, maka terhapuslah secara nyata komplek yang menjadi sasaran hidung belang. Semua orang tahu bahwa lokalisasi merupakan sentral dari berbagai kegiatan transaksional yang menghidupi berbagai kelompok komunitas warga masyarakat. Selain transaksi antara pelacur itu sendiri dengan pelanggannya, juga sumber penghasilan bagi ‘kiwir-kiwir’, telangkai yang menghubungkan antara pelacur dan pelanggannya. Belum lagi ‘mami-mami’ yang lebih dikenal sebagai ‘mucikari’. Di komplek sedemikian pula berkutat aneka ragam makanan minuman, termasuk minuman keras. Termasuk para pengamen. Belum lagi usaha ‘binatu’, karena jarang pelacur yang mau dan atau sempat mencuci sendiri busananya. Baik busana untuk tampil menjajakan diri maupun busana harian. Tak boleh dilupakan, jual beli angsuran, termasuk HP dan perhiasan.

Begitu juga dengan kegiatan pengobatan rutin serta aneka bentuk ‘obat kuat’. Manakala semua aktifitas itu dapat menghidupi pelaku dan keluarganya, maka sesungguhnya di kompleks itu terjadi usaha-usaha yang memenuhi hajat hidup orang banyak. Ketika lokalisasi ditutup, maka hilang pula segala jenis dan bentuk transaksional itu. Sampai sekarang, seringkali dapat ditemukan berjajar lapak-lapak penjual obat, yang sesungguhnya dapat dicermati sebagai indikasi menuju ke sentra-sentra pelacuran liar. Apakah dengan demikian pelacuran dapat dihilangkan ? Niscaya tidak. Para pelacur memang akan keluar dari lokalisasi, akan tetapi akan tetap membuka praktek di lokasi yang lain. Apakah berbungkus usaha karaoke, panti pijit, hotel jam-jaman dan lain-lain. Belum lagi ragam bisnis seks, sebagaimana pernah diamati oleh Yuyu Asbaria Nurpatria Krisna dalam bukunya ‘Remang-Remang Kota Jakarta (1981)’ dan Moammar Emka dalam buku ‘Jakarta Undercover 1: Sex ‘n The City’ (2003) dan ‘Jakarta Undercover2: Karnaval Malam’ (2003). Isi buku tersebut mengejutkan sedikit orang, tapi sama sekali tak mengherankan bagi lebih banyak orang lain.

Ketakjuban bagi para pembacanya hanya bahwa selama ini tak ada orang yang berani menuliskannya secara terbuka, kini sudah ditulis ‘blak-blakan’. Dan tidak pernah ada penindakan terhadap usaha-usaha bisnis seks sebagaimana yang termuat dalam buku-buku tersebut.  Kalau penutupan lokalisasi pelacuran alasan utamanya adalah untuk menghilangkan kegiatan pelacuran itu sendiri, maka bagi yang menentangnya bukan semata-mata oleh karena kegiatan transaksional yang melibatkan hajat hidup banyak komunitas, akan tetapi justru mengkhawatirkan bahwa akibat penutupan tersebut sesungguhnya pelacuran akan merambah kawasan yang lebih luas dalam kondisi yang sama sekali tidak terkontrol. Mengapa tidak terkontrol ?

Selama lokalisasi, selain tersedia Puskesmas, juga dilakukan kontrol secara rutin untuk mencegah menularnya penyakit kelamin. Para PSK penghuni lokalisasi dengan kesadaran sepenuhnya juga bersedia melakukan pemeriksaan dan pengobatan rutin tersebut. Sementara dengan penutupan lokalisasi, maka PSK akan menyebar ke berbagai lokasi serta masuk ke berbagai tempat-tempat pelacuran yang tersamar. Apalagi pada umumnya mereka tidak dengan kesadaran melakukan kontrol dan pengobatan untuk mencegah penyebaran penyakit. Bagi PSK yang tidak dilokalisasi akan merasa malu kalau harus kontrol kesehatan. Apalagi dengan semakin merebaknya PSKonline. Dengan demikian potensi terjadinya penyebaran penyakit kelamin menjadi lebih besar.  

Masalah Keterkaitan dengan Moral dan Agama

Dukungan terhadap kebijakan untuk tidak melakukan penutupan terhadap lokalisasi ternyata semakin berkembang. Prasada Rao, Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV Aids (UNAids) bagi Asia, menegaskan bahwa kebijaksanaan penutupan lokalisasi pelacuran justru merupakan tindakan yang salah. Sasaran utama dari pada program PBB adalah, pertama, melakukan tes untuk mengecek seseorang mengidap penyakit atau tidak. Banyak orang tidak sadar mereka mengidap Aids. Kita perlu membuka pusat-pusat pemeriksaan untuk memudahkan tes. Dalam kaitan dengan program penyembuhan, pemeriksaan sudah mencakup 80-90 persen. Jika ini dilakukan, penularan baru akan menurun.

Urgensi kedua, pencegahan dan pengobatan. Masalah anak menjadi hal terpenting ketiga. Meskipun banyak ibu melahirkan anak positif HIV/Aids, mereka tak mendapatkan perlakuan medis. Sekarang tersedia beberapa jenis obat yang amat manjur. Tapi untuk hal itu harus dilakukan identifikasi ibu-ibu yang positif mengidap Aids dan mengarahkan mereka untuk datang ke rumah sakit atau puskesmas buat melakukan pemeriksaan darah. Jika ternyata positif mereka harus dimasukkan ke program penyembuhan agar tak melahirkan anak yang membawa status HIV. Kelompok rentan Aids adalah pekerja seks, homoseks dan transgender.

Karena itu yang harus dilakukan adalah program pencegahan. Menutup lokalisasi tak menghentikan perdagangan seks dan hanya memindahkannya ke tempat lain. Perdagangan seks akan terjadi tanpa kontrol, tanpa monitoring, dan tanpa ketersediaan layanan pemeriksaan. Kita menghancurkan program pemberantasan Aids manakala mulai menutup lokalisasi. Penularan tidak akan berhenti hanya oleh karena penutupan lokalisasi. Penularan akan terus merangsek ke masyarakat yang lebih luas. Ingat, pelanggan pekerja seks adalah suami kita, saudara kita dan ayah kita. Mereka menularkan kepada isteri yang tak tahu suaminya ngelayap kemana-mana. 

Kita tidak bisa bersikap moralis dalam soal ini. Masalah moral yang berat, hanya sebuah pelanggaran yang ‘ringan’ dalam masalah seksualitas. Setiap orang punya sisi kelemahan. Bahkan para pemimpin agama atau kalangan agamis, juga bukan jaminan untuk mampu menghindarkan diri dari ancaman penularan ini. Banyak berita menegaskan hal ini. Apakah melibatkan tokoh masyarakat yang diharapkan bermoral tinggi, maupun lingkungan agamis yang justru meruntuhkan kemartabatan keberagamaan.***

Penulis adalah seorang budayawan dan Guru Besar Filsafat UMSU Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi