Oleh: Novaldi Herman.
Orang-orang meneguknya bukan sekadar untuk melepas dahaga. Dia lebih dari sekadar pelarian, saat kaki-kaki mulai terasa lambat menapak. Lebih lagi, bukan semata pelepas bingung, tiada tahu melakukan apa. Dia lebih seperti ritus, pertanda para bujang telah mencapai masa dewasa. Pun, para tua menampakkan, tubuh keriput bukan penghalang menjadi Sang Perkasa.
Darius, pemuda berusia tanggung itu memukuli tandan berulang-ulang dengan balbal, pemukul dari kayu miliknya. Memotong mayang pohon bagot yang dia yakini sarinya akan keluar. Mantap dia lakukan, selayaknya paragat, petani milai pada umumnya.
Selesai dia dengan tandan, tumbukan kapur sirih yang juga dia bawa tadi mulai dibaluti ke sekujur ujung tandan. Itu yang dia lakukan saban waktu, paling tidak dua kali dalam sehari. Cekatan, dia lakukan seperti paragat lainnya. Membuat begitu deras milai yang keluar dari tandan yang dia kerjai sedari tadi.
Sebagai paragat, kerja Darius belumlah usai. Dia masih harus bergegas melangkah ke rumahnya membantu Amang, ayah yang begitu dia cintai. Entah karena begitu tinggi jasa Amang baginya. Dia tak ingin menanggung malu sebagai seorang anak. Di kala dia sudah seumur itu, belum juga bisa mengangkat harkat Amangnya. Paling tidak, mengembalikan pun jadilah.
Dia mulai langkahnya, memikul sari yang telah usai dia sadap. Sisanya, dia biarkan untuk disambung esok hari. Pun, tiada lagi kesibukan lain untuk Darius lakukan. Menyadap seperti itu tiap hari bukanlah soal. Itu lebih menguntungkan, daripada membuang uang Amang ke Sekolah Tinggi di Kota, lalu menjadi pengangguran jua usai dari sana. Anak-anak di Kampunglah membuat dia sampai punya pandangan seperti itu. Pulang dari Kota, tangan tiada menjinjing apa-apa.
Diketuknya pintu, mengira akan ada yang membukakan. “Mungkin Inang.” Ya, hanya Inang selain Amang dan Darius tinggal di rumah itu.
Benar saja. Ibu paruh baya itu membukakan pintu untuk anaknya. Kain serupa pengelap meja masih tersandang di bahu. Mungkin ketika Darius pulang, dia tengah memasakkan makan malam. Tau Dariuslah yang pulang, dibukanya dengan pasti daun pintu itu hingga ke pinggir.
“Bagaimana di ladang tadi? Banyaknya kau dapat sadapan?”
“Banyak, Nang. Sepertinya cuaca pun tak mau merusak sadapan kita. Ini sudah yang keseminggunya hasil kita banyak.”
“Baguslah,” tanya-jawab ibu-anak itu tampak begitu dipenuhi rasa senang.
“Bawalah jinjingan itu ke dalam. Beratnya kau pikul terus semua itu,” ibunya meneruskan.
“Biasalah, Inang. Tak lagi terasa berat memikul ini. Sudah mendarah-daging,” jawab Darius mengguraui.
Langkahnya sampai di dalam rumah panggung berlantaikan kayu itu. Dia taruh, bergegas dia menyicip seteguk. Memastikan rasa dari sadapan yang diperoleh.
Tiada dia ucapkan, hanya sedap rasanya. Sama seperti hasil sebelumnya. Sari yang dia bawa tadi dicampurnya lekas bersama dengan yang sudah terkumpul sebelumnya ke dalam raru. Bak dari kulit kayu tempat meragi. Perlahan, penuh kehati-hatian ia masukkan tiap tetesnya.
Bila sudah usai, alamat tuak terbaiklah yang Darius hasilkan. Hasil menyadap siang dan sore tak khayal terbayar bila peragian usai. Lapo-lapo tuak siap menampung hasil olahannya, memberi dia beberapa lembar uang untuk menyambung sekolah.
Walau tak dia ingini dari hati, namun sekolah di Kota menjadi tangguhan yang mau tak mau mesti dia lakukan. Paling tidak dengan uangnya sendiri.
Dia tak mau anak satu-satunya dari Amang dan Inang tiada sempat mengecap gelar. Kendati selepas sekolah nanti, dia masih akan memukul-mukul bagot dengan balbal di ladangnya. Masih membuat tuak.
Tuak Darius, tepatnya tuak buatan rumah Amang Darius lebih lekas dicari oleh orang-orang. Rasa sepatnya tak begitu sepat. Manisnya tak begitu manis. Bahkan pahitnya tak begitu pahit membuat tuaknya digandrungi pelanggan lapo tuak Lae Bonar. Lae Bonar pun tiada lagi mau menampug tuak selain buatan rumah Amang Darius.
Memang bukan para muda saja yang meminumnya. Para tua masih saja dengan kuat meneguk bergelas-gelas. Membuat sore-sore di lapo Lae Bonar begitu riuh-rendah. Biar pun begitu amang kerap berpesan pada Darius tentang tuak.
“Satu gelas tuak, penambah darah. Dua gelas tuak, lancar bicara. Tiga gelas tuak, mulai tertawa-tawa. Empat gelas tuak, mencari gara-gara. Lima gelas tuak, hati membara. Enam gelas tuak, membuat perkara. Tujuh gelas tuak, semakin menggila. Delapan gelas tuak, membuat sengsara. Sembilan gelas tuak, masuk penjara. Sepuluh gelas tuak, masuk neraka,” ujarnya memperingati anak semata wayangnya itu.
Darius memperhatikan seisi rumah. Lekas dia sadar, Amang tak ada. Dilihat sekeliling berapa kali pun sama saja.
“Lama nian Amang keluar, Nang? Adanya Amang kasih tau dia kemana?”
“Entah. Tadi cuma mau ke lapo, mengambil bayaran kemarin lusa. Tak akan lama. Risaunya kau pada Amang?”
“Bukannya aku risau, Nang. Ini sudah menuju dua hari jelang aku berangkat. Seperti janjiku, esok Amang akan mulai lagi menyadap. Mungkin masih bisa aku kawankan esok dan lusa. Aku khawatir Amang akan kesulitan bila sendiri selepas aku pergi. Aku ingin menceritakan itu pada Amang,” Darius berujar sembari merapikan pakaian lepas menyadapnya.
Diusapnya, dia tahu akan risau bila pakaian itu tak dia sandang menemani Amangnya menyadap untuk beberapa waktu.
Gelagat Darius bukan tak tampak oleh Inangnya. Dibuka, dirapikannya piring-piring dari rak selepas panganan yang telah masak buatannya sedari sore tadi di atas meja. Dia coba menenangkan kegelisahan anak yang dulu hampir menemui ajal, jatuh dengan punggung lebih dahulu dari sebegitu tingginya pohon bagot. Membuatnya terpaksa menggadaikan begitu banyak emas yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Emas simpanan keluarga turun-temurun.
“Kau masih memikirkan itu, Darius?” tanyanya elok.
“Iya, Nang. Aku terpikir kesialan itu datang dari mana. Tiada pernah aku melakukan salah pada orang. Pun, tiada juga ada hati orang yang aku sakiti,” Darius berkata sembari dahinya berkerut seolah tak terima.
“Darius. Itu bukan salahmu. Nasib saja yang tak baik. Tiadanya satu orang pun yang mau terjatuh. Tiada jua kita bisa memilah kehendak alam. Kau hanya perlu melupakannya seiring jalannya masa.”
“Nang,” Darius menghentikan pembicaraan. Satu patah kata lagi, ucapan Inangnya menjadi benar. Membuat percuma semua kerisauan dalam hatinya yang tengah bergejolak. Darius tak mengingini hal itu.
Dia hanya ingin dipandang orang-orang sebagai anak yang telah beranjak dewasa. Lebih mampu membuat Amang dan Inang cukup bergoyang-goyang kaki di kursi sembari menonton layar kaca di malam hari. Bukan lagi menjadi dua orang tua yang bersusah payah menyuling hasil sadapan dari dalam raru, lalu mengantarnya ke lapo-lapo untuk dijual. Ia masih risau.
* * *
Beberapa orang muda sudah memenuhi lapo Lae Bonar, tempat pembuktian kedewasaan bagi setiap pria di sekitaran kampung itu. Tak dusta, di sana tempat semua lelaki, muda dan tua berkelakar tentang kerja mereka di sore hari. Berbincang-bincang, menyanyi dengan gitar tua, mengaduk-aduk kartu lalu membaginya sesuai jumlah yang sama.
Gelas itu berdenting, beradu dengan piring berisi kacang kukus yang tinggal dipenuhi kulit saja. Janggutnya yang memutih tampak sudah tak dicukuri beberapa minggu belakangan. Mungkin beberapa bulan belakangan.
Tangannya sao matang, akan lebih sopan bila tak ingin dikatakan legam. Beberapa bekas robekan memberi tahu, dia sudah lama mengerjai tandan-tandan bagot. Sepertinya sudah sedari muda.
“Bonar! Bisakah kau tambah lagi?” ucapnya meminta.
“Amang Darius. Sudahlah. Tak elok kau tambah lagi. Sudah berapa gelas yang Amang tenggak sedari tadi?” Lae Bonar bicara dengan bibir yang mencong, tanda dia tak setuju.
“Sudahlah! Kau ini bukannya yang membayari tuakku. Kau penjual. Sekarang aku jadi pembelimu, bukan tengah menjualinya padamu,” jawaban Amang Darius mulai meracau.
“Mang,”
“Prang!” belum lagi sampai lae Bonar menjawab, meja itu habis ditinju dengan kepalan tangannya. Semua mata seketika menoleh, langsung melihat ke arah Amang Darius. Lae Bonar terdiam. Berat hati, dia tuangkan juga sesuai pinta Amang Darius.
Mukanya memerah. Nafasnya tersengal-sengal. Urat-urat menonjol dari tangannya. Masih sedang berdiri dan sedikit memicing, dia tenggak sekali lagi tuak yang masih menggenang dalam gelasnya.
Matanya terbuka, lebar sekali. Merah di mukanya semakin menjadi. Dia terduduk. Kepalanya terbaring, menimpa piring berisi kacang kukus yang tinggal kulit. Amang Darius sudah menenggak tuak dari gelas yang ke sepuluh. Amang Darius tak sadarkan diri.