Absurditas Makna Metafora Malna

Oleh: Muhammad Husein Heikal

AFRIZAL MALNA, seorang penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957. Dengan latar belakang pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta. Tampak jelas dari karya-karya (terlebih puisi), dia sangat berminat pada ilmu berbasis filsafat. Malna tumbuh sebagai penyair sejak awal 1980-an. Dia termasuk salah satu penyair, dengan intens membuat puisi bagaikan melukis dengan kata-kata.

Identitas puisinya kontemporer dengan segala kompleksitas yang kadangkala dilandasi nilai absurditas. Sejumlah puisinya terkumpul dalam Abad Yang Berlari (1984), Mitos-mitos Kecemasan (1985), Yang Berdim dalam Mikrofon (1990), Arsitektur Hujan (1996, mendapat hadiah dari Pusat Bahasa RI), Kalung dari Teman (1999), Sesuatu Indonesia (2000), Museum Penghancur Dokumen (2013). Terakhir yang terbaru, Berlin Proposal yang terbit di tahun 2015. Ditulisnya saat dia tengah mengikuti sebuah program residensi di Berlin, Jerman.

Sejak buku kumpulan puisi Arsitektur Hujan, sudah tampak kecenderungan penyair ini untuk “melukis”. Melalui struktur kata dengan logika bahasa yang tak biasa. Bahkan pada bagian akhir buku ini terdapat sebuah indeks yang mengingatkan kita dengan dunia lukisan. Di sana Malna berusaha menorehkan lukisan kata-kata dengan mengambil spirit wastu, juga seni rupa. Dari segi tema, puisi-puisinya kebanyakan menampilkan kegagapan berbahasa.

Beberapa sajak cenderung menggunakan apa yang oleh Sitok Srengenge pernah disebut sebagai “logika sungsang”. Sitok mengambil contoh puisi Malna, berjudul Lemari. Dalam puisi ini Malna berkali-kali membolak-balik logika berbahasa dengan memasukkan kata-kata benda sebagai pengganti. Tak heran kalau bahasanya menjadi rancu, bahkan terkadang salah diterjemahkan sebagai bentuk hiperrealitas, entah disengaja atau memang tidak tahu. (Asarpin, 2010).

Asia Membaca

Matahari telah berkali-kali berganti di sini, tetapi kami tetap

menghadapi langit dan tanah yang sama. Setelah dewa-dewa pergi dan menjadi batu dalam pesawat-pesawat televisi;

setelah waktu-waktu yang menghancurkan dan berita-berita

lama memanggili lagi dari dunia yang lain, setiap kata-kata

teras gelap di situ. Lalu kami masuki dekor-dekor baru yang

menyimpan kerusuhan-kerusuhan, mencari hari-hari dalam

pasar yang digantungi kepala naga, Asia. Kami meranggas

dalam pertaruhan-pertaruhan kekuatan yang mengantar kami

ke dalam pembisuan. Bagaimanakah kami tahu bahwa kami

sedang memasuki sebuah dunia yang berbau bensin, melepas

anak-anak berlarian dalam bentangan kawat listrik; dan dari

setiap lembaran kitab suci, kami mencari kembali saat-saat

penciptaan. Tanah berkaca-kaca mencium bau manusia,

 menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi

debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung

mencipta hutan. Asia hanya bisa ditemui setelah malam gelap-

gulita, menggerayang, mencari tanah-tanah yang hilang. Asia.

(Horison Sastra Indonesia, 2002,  Kitab Puisi, hal. 385)

Puisi naratif lumrah jika berbentuk paragraf. Terkadang bahkan menyerupai prosa. Itu pula menjadi “hobi” Malna dalam meramu puisi-puisinya.

Kesukaannya menggunakan kata yang tidak sederhana, menjadi semacam kesengajaan yang tak sengaja dilakukannya. Pada puisi Asia Membaca, dia melukiskan kegelisahan manusia dalam suatu kawasan bernama Asia. Kemajuan telah menabrak Asia dengan segala kemodernan dan kecanggihannya. Diksi pesawat televisi, bensin, kawat listrik terpilih untuk mewakili. Setiap kata-kata terasa gelap di situ.

Di balik semua kemajuan dunia (Asia) ada sebuah lorong gelap di baliknya. Puisi Asia Membaca belum terlihat jelas peran Malna mempermainkan huruf-huruf puisinya untuk merujuk kepada ketidaklogisan. Dapat dikatakan Asia Membaca belum mencapai puisi dalam taraf absurd dalam karya Malna.

Metafora Malna

Metafora sendiri berarti pengungkapan secara tidak langsung berupa perbandingan analogis suatu arti yang bukan mengunakan kata dalam arti sesungguhnya. Melainkan sebagai kiasan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.

Kekayaan metafora Afrizal Malna begitu terasa sebagai inovasi, diusung secara murni oleh sang penyair. Dapat dikatakan bukan sekedar iseng, dia bermain kata dalam puisi. Hanya sayangnya, kerayaan metafora ini tidak dibarengi dengan makna sebagai “memperjelas” ataupun “diperjelas”.

Beberapa gaya penulisan puisi yang dilakoninya relatif berubah-ubah. Kadang ber-serum surealisme, realisme, postmodernisme, ilusionisme atau bahkan cenderung nihilisme. Walau dari berbagai perubahan gaya ini, puisi Malna selalu identik dengan metafora yang dia baurkan dengan beberapa simbol dan angka.

Uniknya, pembauran ini sering terjadi ketidaklogisan. Seperti: 25 tahun sebuah bayangan; 1 kg = 20 usd; 15.45 satu koper ditelan perut pesawat; 200 tahun berputar ke belakang. Kemungkinan besar inilah yang disebutnya sebagai “aku ingin tersesat dalam sebuah renovasi waktu”.

Kata-kata yang diaduk dengan angka di atas tidak dapat diartikan. Disinilah absurditas makna dalam karyanya terwujud. Sampai kapan pun dilakukan penelusuran atau pengkajian arti 25 tahun sebuah bayangan tidak akan ditemukan kesesuaian. 25 tahun lumrah digunakan sebagai penyebutan umur, namun “sesuatu” yang berumur itu adalah sebuah bayangan. Bukankah tidak ada pemecahan hal ini?

Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran, puisi Malna mempetemukan kita dengan angka menjadi gejala yang tidak pernah selesai. Hanya kita tidak perlu memusingkan hal itu. Dia menulis dalam konteks kontemporer yang menjujung tinggi kebebasan. Tak terbatas pada apa pun yang dihasilkannya.

Di sebuah esainya Malna menulis: Saya melihat puisi bukan lagi masalah bentuk, bahkan juga bukan masalah sastra. Dia lebih sebuah agenda tubuh dengan ruang, bekerja melalui kata; melibatkan perspektif seni lebih luas dari sekadar sastra dan bahasa. (Kompas, 17 Maret 2013).

Di balik motif metafor, dia menyelubungi “pengkajian yang tiada habis” diintinya. Apa ini dampak dari filsafat yang pernah diperdalamnya dibangku formal. Atau hanya sebagai pernyataan “kegelisahan” yang dia baringkan pada pengkajian ilmu filsafat. Kemungkinan besar Malna terpengaruh pada filsafat fenomenologis, dengan tokoh Edmund Husserl.

Fenomenolog Jerman ini senantiasa membayangkan adanya suatu kebenaran ilmiah. Terdiri atas beragam objek yang satu sama lain, mencerminkan keutuhan dan kepaduan seperti layaknya sebuah geometri (angka). Hanya saja, puisi Malna lebih mencerminkan “geometri ruang imajiner” di mana setiap kata atau angka memberi ruang gerak bagi metafornya.

Demikianlah, cita rasa larik-larik figuratif ditoreh Malna, memerangkap kita pada petualangan dunia kata-kata yang tiada habisnya. Malna tak sekedar menghantamkan kita pada ketidaklogisan arti. Juga menghujamkan kita dalam absurditas makna puisinya, Seolah dengan hanya memberi sepotong clue, kita seakan diajak menerobos labirin yang mengandung esensi tersendiri didalamnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi