MENUTUP TAHUN #1
Abd.Rahman M
Tiba kiranya bulan keduabelas tenggelam
dimakan usia yang kian menua
tersungkur di balik ombak kembali ke pangkuan
waktu yang terus berputar tak bisa dihindari
di kehidupan nanti di lembaran baru
kiranya doa-doa masih beraroma basuhan wudu
SSSK, 2015
MENUTUP TAHUN #2
Abd.Rahman M
Kini tiba waktunya menggenapi bulan kesekian
menghitung hari berganti hari di lembaran akhir
di tahun dua ribu lima belas yang membekas
kerinduan sepeninggal kenangan ruah
adakah rindu yang masih sepenggal
adakah doa-doa yang belum berpijar
adakah aroma gigil masih membeku
di kening kehidupan di lembaran nanti
kiranya jemari kita bersinggungan bersedekap
SSSK, 2015
MENUTUP TAHUN #3
Abd.Rahman M
Aku menutup tahun di bulan yang merah meriah
kerlap-kerlip lampu bermekaran bunga-bunga
puisi-puisiku berlari mengejar cahaya
di balik awan kerinduan
di samping jendela mereka bermain bebas
membekas bayangan tentangmu
puisi terindahku telah lelah membelah peluh
SSSK, 2015
MENUTUP TAHUN #4
Abd.Rahman M
Ketika bulan terakhir telah terlahir
langit menggumpal disinari rembulan
cahayanya berbaris dan aku duduk bersama bapa di depan rumah yang masih setia kayu-kayu kelapa
menemani hari-hari kecilku
aku terkenang masa kecil silam
di mana kami bercengkerama di bawah awan
bapa suka bercerita tentang ayahnya
di usiaya yang belia terlahir yatim
"menutup tahun tanpanya"
kelak aku menggantikannya bercerita
pada benih yang masih berdiam
tanpa garam yang mengeram kelam
SSSK, 2015
Chandeni Desember yang Hilang /1/
Julaiha S
Kabar angin memulangkan tuan sampai di dermaga
entah dari mana tujuan
matahari belum juga mangkir, namun domba
sudah ribut membujuk tuan
masih bertuankan rindu, aku menundukan kepala
merenungi perjalanan hidup
mengeruk angin-angin bertangis.
Kenangan muasal terngiang
berkisar dalam sasar
dentang hari mulai tak terbiasa
dan hari-hari berikutnya
Medan, 2015
Chandeni Desember yang Hilang /2/
Julaiha S
Meski kau menuangkan air pada langit
bermunculan pertalian tangis
aku tetap bernamkan rembulan.
tentang kepahaman ini, suara-suara pecah
hatimu mendidih, api yang menghanguskan penjuru negeri
tentang selulup nada yang sumbang
di dada. Sudah, meski kita luruskan beragam episode rindu
laut-laut membiru, rasanya asin perihal sakit
suatu keyakinan lautan yang gelombangnya mirip wajahmu
pergilah, untuk beberapa saat yang beku
ada surya yang telungkup di dahimu
senggugut mencairkan sendu
serta kata yang masih saja bebaris di penantian
silakan, kita asah sebagai sesaji dalam perjamuan Desember ini
Medan, 2015
Kelakar Akhir Tahun yang Pecah /1/
Julaiha S
Jam-jam dinding merebah
menyuarakan syair embun, sederas telaga
mengecup puih-puih reminisensi
bersama pagi dengan basah tanah
aku kembali mengutip ramitulisan
yang membeku di dasar hatimu
sama seperti matamu sedang berlalulalang
mencari harapan
entah sejarah apa, sedang tak ada peduli menyirami perjalanan
sejarah di matamu yang sempat lelah
permadani manis memalami gemerincik hujan,
kita lunaskan kelakar akhir tahun
semakin deras saja, seperti gerimis
membinasakan rindu
Medan, 2015
Kelakar Akhir Tahun yang Pecah /2/
Julaiha S
Aku mencatat hujan
runtun menuliskan kenangan
yang surut menuju goa, menembus kepala
malam ini rembulan susut, peringatan tentang kelakar
pecah di akhir tahun
sebuah pemisalan kisah membisu
mencabut hasrat batin kita
segala kemungkinan hati berakhir menujumu
kemudian hari membentur tepian jantung
mengingatkan penantian, hilang berlimang lumpur
Di Penghujung Tahun
Satria Dwi Saputro
Dipenghujung tahun yang memberi banyak kata
ingin dituangkan dan diurut satu demi satu kata
dari mulai awal tahun yang dilalu hingga akhirnya tahun ini akan segera ditutup
begitu sungguh yang bisa dikatakan adalah rindu
rindu pada kenangan yang mungkin belum tentu dapat dilalui kembali
pada masa tahun mendatang yang tidak diketahui bagaimana jalan ceritanya
selain memantapkan hati agar tegar melewatinya
seperti tahun ini.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015
Taman yang Rusak
Satria Dwi Saputro
Rusak sudah taman yang berisikan oleh sejuta bunga
bunga yang dirawat dengan keringat tanpa harus kapan berenti
saat sudah banyak kaki menjejali taman bunga yang indah itu
tapak demi tapak sudah mulai menjajah hingga tangkai bunga itu mulai rapuh
yang menjadikan taman bunga itu rusak berantakan
hingga tak bisa dinikmati lagi ketika dulu taman bunga itu begitu menawan
Beranda Sanggar Pelangi, 2015
Menunggu
Satria Dwi Saputro
Menunggu di teras rumah dengan wajah yang cemas
sedikit dibumbui dengan gemuruh dari langit yang menenggelamkan siang
ikut suasanya itu melarutkan semakin dalam pada kecemasan
hingga sesekali mata mulai berkaca-kaca hendak menangis
menanti kecemasan agar yang ditunggu dapat segera menampakkan wajahnya.
Beranda Sanggar Pelangi, 2015
Meja Makan
Rifan Nazhif
Apalagi yang kau bincang di meja makan
selain kisah duka dan sedu-sedan
melepasku ke medan juang
hanya untuk hadir dan jelma belulang
tak usahlah kau lempar periuk di badan
puaskan sekalian bara di genggaman
jalanku masih jauh tak jelas waktu pulang
entah nama kelak hilang dan tubuh mendiam liang
berilah saja hidangan di meja makan
sarapan senyuman dan maut ciuman
niscaya langkah akan gagah dan panjang
lekas pulang berselimut girang
(Palembang, 05 Desember 2015)
Anak
Rifan Nazhif
Anak yang lahir dari air mata
dari penungguan dan doa-doa
bukan lahir dari angkara murka
di pintu menghunus senjata
usahlah lagi kau membuka luka
apalagi menyiram dengan asam cuka
anak biarlah kusiram dengan air surga
kupeluk dia, kau bawalah angkara bersama harta
(Palembang, 05 Desember 2015)
Bila Murka
Rifan Nazhif
Bila hari gerah murka
jauhlah mulut dari uap kata
apalagi harus menajam raga
menyilat segala, sesal tak guna
baiklah kau asah pena
menulis syair sepenuh rasa
kelak puas mengumbar magma
setelah meletus semua subur nirwana
bila kau hunus setajam mulut dan raga
segala hilang tak tentu rimba
bilai kau ulur kertas ditajam pena
segala pulang tanpa cedera
(Palembang, 05 Desember 2015)
Bersyair-Syair
Rifan Nazhif
Bersyair-syair tak sadap harta
hanya nurani terpuas dahaga
hari-hari entah makan apa
tapi jiwa suka melebihi segala
pun bila hati melimpah marah kata
syair pula teman bercerita
tak akan luka sekapan tiba
hati juga senang membaca
syair melebihi benda
marah kata tersiram suka
yang tersindir meski terasa
tapi ingat pula berbuat alpa
(Palembang, 05 Desember 2015)
RUMAH SINGGAH
Adhiet's Ritonga
Lima belas tahun telah berlalu
sejak aku meninggalkan ibu
rumah ini terasa hampa
tiada ada sesiapa
baik aku, Ibu atau Ayah
sudah lama berpisah
aku merantau membawa istri
Ibu pula telah pergi
sedang Ayah setia menduda
sampai tiba waktunya
Kantor Pusat Sanggar Pelangi
KUNANG-KUNANG MERAH PUTIH
Adhiet's Ritonga
Tetes darah teriak beraksi
maju, serang dan tempur
puan-puan membawa anak
tuan-tuan angkat senjata
musnahkan ketidakadilan
hancurkan permusuhan
bersahabatlah dengan damai
ah, peluru satu atau seribu biarkan sajalah
biar mati bertubi-tubi
biar mampus pedang terhunus
biar menyala api gelora
namun damai dalam genggaman
siapa aku? siapa kamu? aku tua kamu muda
jangan ada penghalang
sebab damai tidak melihat Kasta
mari berbagi mari mengasihi
karena cinta adalah satu
tapi sosok cinta berjuta-juta
pandai-pandailah membagi cinta
cinta pada Tuhan yang utama
cinta selamanya ialah cinta damai
Kantor Pusat Sanggar Pelangi
KISAH ANAK KETIGA
Adhiet's Ritonga
Hidup memang tak bisa diduga
apalagi untuk diterka meski begitu pula
ianya dapat direncana
walau tanpa disengaja
minum obat misalnya
tiga kali sehari resepnya
tiga kali sehari aku mandinya
bukan karna aku anak ketiga
seperti Perusahaan Listrik Negara
hidup mati hidup mati sesukanya
sehari tiga kali juga tampaknya
Kantor Pusat Sanggar Pelangi
CADAR BIRU
Adhiet's Ritonga
Siapa di balik cadar biru ?
dialah perempuanku !
langkah anggun, sederhana bersahaja
tutur kata ditata, sedemikian rupa
pedoman langkah, adalah Akidah
petunjuk jalan, adalah iman
perbekalan diri, adalah Nabi
insan berbudi pekerti
mengabdi pada Illahi
bersucikan diri
Kantor Pusat Sanggar Pelangi
TE(RA)NG (B)ENDER(A)NG
Biolen Fernando Sinaga
Sebenarnya sudah terang benderang
mengapa kita disuruh meraba-raba
:harus ikut kebodohan mereka?
Medan, Desember 2015
PERTUNJUKAN ABSURD
Biolen Fernando Sinaga
Ini pertunjukan
yang sungguh tak lucu
bagaimana mungkin saksi
dicecar seolah-olah tersangka
sedangkan tersangka
seolah bukan siapa-siapa?
Medan, Desember 2015
E T I K A
Biolen Fernando Sinaga
Hebatnya mereka
berbicara tentang etika
ketika yang berlaku hukum rimba.
Medan, Desember 2015
DA(GE)LAN PO(LI)TIK
Biolen Fernando Sinaga
Rasanya mau terbahak saja
karena merasa geli oleh dagelan politik
sayangnya mereka salah kostum
pakai jas dan dasi
seharusnya pakaian badut.
Medan, Desember 2015