Oleh: Tigor Damanik SH.
Pada tahun 2008 saat Kapoldasu masih dijabat Irjen Pol Drs Nanan Soekarna pernah mengeluarkan peryataan akan menangkap dan mengenakan sanksi keras terhadap masyarakat jika kedapatan memiliki, menyimpan, membawa, mengangkut, menggunakan ataupun membunyikan petasan dan atau bahan peledak lain sejenis.
Pernyataan tersebut tertuang dalam maklumat yang dikeluarkan Kapoldasu No.Pol:MAK/03/IX/2008 tanggal 10-09-2008 tentang larangan membunyikan petasan/mercon atau bahan peledak. Lantaran maraknya kasus petasan yang ditangani Polres sejajaran Poldasu sehingga memutuskan menindak tegas para pelaku, pengedar dan produsen petasan.
Pada 5 Juli 2014 lalu , harian Analisa juga pernah memuat berita , anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) Nurul Azhar Lubis mendesak Poldasu segera melakukan razia dan penertiban terhadap peredaran petasan, mulai dari pabrik hingga ke pedagang pengecer.
Sebab keberadaan petasan sudah sangat meresahkan masyarakat, terutama saat umat Islam sedang melaksanakan ibadah salat tarawih kala itu. Juga, sudah banyak korban berjatuhan akibat petasan, baik terhadap ( harta benda ) pengguna maupun bukan pengguna.
Pada 19 Juni 2015, usai salat Jum’at di Masjid Al-Hidayah Mapoldasu, Kapoldasu Irjen Pol. Eko Hadi Sutedjo meminta para pengusaha petasan agar segera menghentikan produksinya, jika tidak maka pengusaha petasan akan ditangkap.
Petasan, selain sudah mengganggu kekhusukan beribadah umat Islam saat itu juga sangat berpotensi menimbulkan korban jiwa manusia. Mewaspadai aksi terorisme pada bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah supaya ketertiban dan suasana kondusif dapat tetap terjaga di Sumut.
Namun berbagai imbauan dan larangan dari tahun ke tahun tersebut , sejak keluar Maklumat Kaplodasu 2008 hingga sekarang, ternyata sama sekali tak pernah digubris.
Malah jelang bulan suci Ramadan 2015 saja , sudah terdengar suara ledakan petasan saling bersahutan. Rerata bermodus kembang api “roket” yang dilesatkan ke udara dan disusul bunyi ledakan keras menggelegar.
Kini, jelang Natal dan Tahu Baru perilaku main petasan diprediksi bakal berlanjut. Perilaku “buruk” mana seolah sudah menjadi sebuah tradisi yang sekaligus juga menghasilkan uang bagi produsen dan pedagangnya.
Petasan: Arti dan Histori
Petasan/mercon adalah ( benda ) peledak berupa bubuk yang dikemas dalam beberapa lapis kertas dan (umumnya) bersumbu. Bubuk yang digunakan sebagai isi petasan adalah bahan peledak kimia yang dapat menimbulkan ledakan pada kondisi tertentu , tapi umumnya berdaya ledak rendah.
Berasal dari daratan Tiongkok, dimana sekitar abad ke-9 seorang juru masak secara tak sengaja mencampurkan tiga bahan bubuk hitam (black powder) : garam peter/ kalium nitrat, belerang (sulfur), dan arang dari kayu (charcoal) dari dapurnya , ternyata campuran ketiga bahan tersebut mudah terbakar.
Hingga berkembang , ketiga bahan tersebut dimasukan ke dalam sepotong bambu bersumbu yang jika dibakar maka akan mengeluarkan suara ledakan keras. Kala itu suara ledakan petasan dipercaya dapat mengusir roh jahat.
Pada zaman Dinasti Song di Tiongkok didirikan sebuah pabrik petasan sekaligus menjadi dasar pembuatan kembang api (menitikberatkan kepada warna-warni dan bentuk pijaran api) hingga tradisi petasan dan kembang apipun segera menyebar ke seluruh dunia.
Tradisi petasan di Indonesia dibawa orang-orang Tiongkok. Alwi Shahab, seorang pengamat sejarah asal Betawi meyakini, tradisi pernikahan orang Betawi yang menggunakan petasan untuk memeriahkan suasana/pesta adalah meniru orang Tionghoa yang bermukim di sekitar mereka.
Bahan peledak kimia adalah suatu rakitan yang terdiri atas bahan-bahan berbentuk padat atau cair atau campuran keduanya , yang jika terkena benturan/panas/gesekan dapat mengakibatkan reaksi berkecepatan tinggi , efek panas dan tekanan sangat tinggi hingga terjadi ledakan.
Ledakan dibedakan menjadi dua macam, low explosive (daya ledak rendah) dan high explosive (daya ledak tinggi). Low explosive memiliki kecepatan detonasi antara 400 - 800 meter per detik , sedangkan high explosive antara 1.000 - 9.000 meter per detik.
Bubuk mesiu ( black powder, gun powder dan smokeless powder ) ditemukan orang Tiongkok pada abad ke-9. Selain sebagai bahan pembuat petasan dan kembang api, mesiu juga digunakan sebagai propelan peluru , roket, roket sinyal, sumbu ledak dan sumbu ledak tunggu.
Sedangkan bagi sebahagian masyarakat Indonesia, mesiu digunakan sebagai pembuat berbagai macam petasan, termasuk petasan banting dan bom ikan.
Ancaman Hukuman
Di Indonesia petasan merupakan hal lumrah ditemui. Digunakan untuk memeriahkan berbagai peristiwa, seperti perayaan tahun baru, pesta pernikahan, kemenangan dalam peperangan, peristiwa gerhana bulan, upacara keagamaan, jelang/saat bulan Ramadan, Idul Fitri, Natal, Tahun Baru dan sebagainya.
Bahkan para pelaku petasan terkesan secara seenaknya lempar petasan ke teman-temannya dan atau ke mobil-mobil/kendaraan yang kebetulan melintas tanpa memikirkan risiko dan akibatnya.
Hanya saja suara petasan kerap terdengar pada malam hari. Kalau di bulan Ramadan, saat dan atau sesudah salat tarawih.. Sedangkan jika pada Natal, terutama jelang dan atau saat Tahun Baru, seolah tidak mengenal waktu.
Petasan dan sejenisnya merupakan barang gelap dan dilarang. Pada zaman Belanda sudah ada aturan larangan petasan , yakni dalam Lembaran Negara (LN) No. 41 / 1940 tentang Pelaksanaan UU Bunga Api 1939.
Jika kedapatan membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan yang tak sesuai standar pembuatan bagi sipelanggar dikenakan pidana kurungan tiga bulan atau denda uang sebesar Rp 7.500,00 ( kala itu ).
Karena peraturan tersebut dinilai sudah ketinggalan zaman, Pemerintahpun mengeluarkan UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang : “ Bunga Api “ dan KUHP ( Kitab Undang-undang Hukum Pidana ).
Mengatur secara jelas dan dirinci , mana benda yang boleh dan tidak boleh untuk diledakkan. Selain menangkap, polisi juga diberi kewenangan menyita dan memusnahkan setiap benda berbahan ledak.
Diberi ancaman hukuman 12 tahun penjara dan maksimal kurungan seumur hidup bagi setiap pembuat, penjual, penyimpan dan pengangkut petasan.
UU TNI, UU Polri , UU Keamanan Negara dan Perpu No. 1/ 2002 tanggal 18-10-2002 tentang : ”Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” , juga mengatur larangan untuk membuat, merakit dan menggunakan bahan peledak selain petugas berwenang, dan bagi sipelanggar dikenai sanksi.
Tanpa melihat keberadaan bahan peledak, apakah itu low explosive (ledakan rendah), high eplosive (ledakan kuat/tinggi), menguntungkan secara ekonomis, bersifat menghibur dan lain-lain , bahwa bagi setiap orang yang menggunakan, menyimpan, memperdengarkan bahan peledak dan sebagainya dikenakan sanksi melanggar UU Darurat No. 12/1951 dan KUHP.
Kesimpulan
Keberadaan petasan tentu lebih banyak mudarat ( bahaya/rugi )-nya ketimbang manfaat ( untung )-nya. Mengganggu kenyamanan dan kekhusukan dalam beribadah.
Keberadaan petasan juga berpotensi merusak harta benda bahkan mengganggu orang sedang sakit , terutama orang yang sakit jantung.
Bahkan barang haram tapi tetap saja beredar pada saat-saat tertentu ini sangat membahayakan keselamatan jiwa, bukan hanya bagi orang lain tapi juga terhadap pemakai/pengguna dan produsennya.
Dimana rumah pembuat petasan kerap terjadi kebakaran dan merenggut korban jiwa luka bakar hingga tewas. ***
Penulis: Alumnus FHUI dan warga Medan.