Oleh: Gewe Situmorang.
Dari zaman ke zaman, korupsi ternyata berevolusi dan koruptornya menang telak dalam pertarungan yang dinisbatkan para penganut teori evolusi. Ibarat kanker, mereka sebelumnya normal dan berjalan sesuai siklus. Mereka menghormati hukum dan merasa di bawah hukum. Akan tetapi, pada perjalanannya, dia berproses terlalu cepat sehingga muncullah ketidaknormalan itu. Darah tersumbat, terjadi pembengkakan, dan pada akhirnya, tubuh yang sebelumnya bugar mendadak lemah. Mungkin tubuh itu kini tinggal menunggu kematian karena kanker sudah menyusup di segala nadi.
Terapi mungkin akan membantunya, tetapi taruhannya rambut menjadi gersang, kulit kering, tulang rapuh, biaya pun banyak. Artinya, terapi hanya menunda kematian. Efeknya ganda pula karena dia tidak mati sendiri, tetapi juga justru mematikan orang lain. Katakanlah akibat korupsi itu lalu lahirlah, misalnya, generasi tanpa pendidikan karena dana pendidikan dicomot; lahirlah generasi manusia rentan lantaran badannya kurang gizi; lahirlah generasi stres bersebab suasana sumpek seperti harus berkendara di bus yang sumpek, jalan yang berlobang, dan dikepung macet karena dana-dana untuk infrastruktur habis dibabat oleh koruptor. Inilah multiefek dari koruptor dan korupsi yang memenangi evolusi itu.
Celakanya Evolusi
Seperti kita tahu, dalam evolusi hanya ada dua hal: membunuh atau beradaptasi. Tak ada tempat untuk persaudaraan, kecuali itu memuluskan adaptasi. Celakanya, beradaptasi tak cukup. Adakalanya kita malah harus membunuh. Artinya, demi eksistensi, pembunuhan menjadi sebuah keniscayaan. Celakanya lagi, pembunuhan itu tidak mengenal siapa dan apa. Siapa dan apa pun pantas dibunuh tanpa melihat itu baik atau tidak, apalagi pantas atau tidak.
Maka lihat saja kasus KPK dan Polri yang lalu. Lihat pula kasus Setya Novanto dengan Freeport yang benar-benar bikin repot. Khusus kasus KPK dengan Polri, memang sepintas, kasus ini sekadar perkelahian antara Budi Gunawan (BG) dan KPK. Tetapi sungguhkan demikian? Tidak! Kasus ini merupakan bagian dari evolusi, bahkan revolusi. Dalam hal ini, KPK sebagai yang kalah dan Polri melalui BG sebagai yang menang.
Inilah celakanya evolusi, terlebih revolusi, yaitu melahirkan kekerasan. Bahkan, revolusi itu identik dengan kekerasan itu sendiri. Ada sebuah pemahaman bahwa revolusi tak akan terjadi tanpa darah dan amarah. Maka lihatlah, ribuan orang menjadi tumbal pada revolusi Inggris (1760), revolusi Amerika (1776), dan revolusi Perancis (1789). Untuk Indonesia, kalau itu pantas disebut sebagai revolusi, peperangan prakemerdekaan dan penumbangan rezim Orde Baru juga menewaskan beribu-ribu orang.
Lalu, apakah (r)evolusi yang sepertinya dimenangi oleh Polri terhadap KPK saat ini juga akan melahirkan kematian-kematian lain? Apakah rakyat yang pro terhadap KPK akan menjadi tumbal? Atau, apakah Polri akan membawa rakyat yang pro-KPK dan pro-Polri pada sebuah arena untuk bertarung sebagai syarat bahwa (r)evolusi itu harus disertai kematian-kematian?
Kita saksikan saja apa-apa yang akan segera terjadi. Hanya perlu diteguhkan, Polri, koruptor lainnya, terutama yang menyangkut orang-orang besar saat ini sudah bertindak kejauhan dan terlalu kejam. Terlalu banyak darah yang mereka minum. Mereka bahkan tak lagi melihat apakah yang diminum itu darah manusia atau tidak. Mereka menjadi kanibal, mungkin juga zombie. Sekadar menyebut contoh, lihat, misalnya, Polri yang tidak mau melihat dirinya secara utuh.
Andai mau melihat diri sebagai upaya evaluasi, mereka pasti mengimani bahwa keberadaan KPK merupakan bukti kelemahan kinerja Polri selama ini dalam menangkapi para pencuri uang. Alih-alih menangkapi, Polri malah bagian dari korupsi itu sendiri. Ada pemilik rekening gendut, ada pebisnis, ada penyalur narkoba, dan masih banyak lagi.
Melihat fakta itu, harusnya, Polri dan koruptor lainnya mendukung KPK, bukan mempreteli. Celakanya sejauh ini, mereka justru mencari-cari kesalahan. Kata mereka, KPK kini terjebak politik, bahkan ikut berpolitik. Maka pernah di negeri ini, atas nama memperjuangkan independensi KPK, mereka mencari-cari kesalahan punggawa-punggawa KPK. Kesalahan beberapa tahun lalu pun dimunculkan. Tentu, tak ada orang yang sempurna, tak ada orang yang benar-benar baik. Artinya, kalau dicari-cari, kesalahan pasti ada, semisal, mencuri mangga tetangga waktu kecil, memukul teman sepermainan, bolos dari sekolah, melawan guru, ditilang polisi.
Ya, begitulah, KPK kini sedang terdesak. Sedikit saja mereka tanpa oksigen, maka berakhirlah kisah KPK dengan segenap kisah heroiknya. Inilah sekaligus menjadi bukti bahwa KPK terlalu mempunyai banyak musuh, sudah begitu, musuh-musuhnya berkembang secara revolutif. Seperti apa perkembangan korupsi itu? Sastra merekamnya dengan baik dan izinkan saya mengutipnya di sini.
Pada disertasinya yang berjudul Representasi Korupsi dalam Novel Indonesia: Perspektif Kajian Budaya, Shoim Anwar mencoba mengumpulkan novel bertemakan korupsi dari generasi ke generasi. Novel-novel itu adalah Korupsi karangan Pramodya Ananta Toer; Senja di Jakarta, bikinan Mochtar Lubis; Ladang Perminus milik Ramadhan K.H.; Orang-orang Proyek karya Ahmad Thohari; Memburu Koruptor Kepunyaan kepunyaan Urip Sutomo.
Dari kelima novel tersebut diketahui bahwa ternyata korupsi dan koruptor memang be-revolusi dari yang tampak seakan tidak tampak, dari sederhana menjadi ribet, dari perorangan menjadi komplotan. Pada Korupsi, misalnya, perilaku korup seorang birokrat yang direpresentasikan tokoh Bakir masih sebatas melakukan mark up anggaran. Lingkup pelakunya pun masih sebatas oknum atau individual.
Melulu Darah Kita
Sementara pada Senja di Jakarta dan Ladang Perminus, praktik korupsi telah menjalar tidak sebatas aktor individu, tetapi melibatkan jaringan birokrasi pemerintah, organisasi partai, anggota parlemen. Di Ladang Perminus lain pula. Di sana secara metaforik disebut perusahaan minyak nusantara (BUMN) sebagai sapi perahan elite penguasa yang berkonspirasi untuk memperkaya diri dan kroni-kroninya.
Orang-Orang Proyek semakin mempertegas konspirasi birokrat dan pengusaha pemenang tender untuk menyikat anggaran sehingga proyek bangunan jembatan benar-benar nihil kualitas. Dana yang dikorup dari proyek itu pun sebagian besar digunakan untuk menyambut “Bapak Pembangunan” dalam peringatan ulang tahun partai.
Lebih lugas, Memburu Koruptor memampangkan praktik korupsi yang semakin masif, dengan jaringan pelaku yang meluas. Tidak sebatas birokrat dan pengusaha, tetapi juga para penegak hukum, aktivis LSM, tokoh agama ikut terlibat. Urip Sutomo, penulis Memburu Koruptor yang seorang jurnalis, tahu persis dari kerja reportasenya tentang tali-menali jejaring korupsi yang melibatkan banyak aktor di berbagai lini kehidupan. Di sampul novelnya itu diberi ekor judul secara tegas: based on the true story.
Begitulah korupsi berevolusi. Saya yakin, cara koruptor be-revolusi kini sudah sangat ekstrem. Tidak saja sekadar me-mark up, mengadakan yang tak ada (fiktif), menyogok, melemahkan KPK, tetap juga sudah kospiratif sehingga nama-nama beken pun dicatut. Koruptor berevolusi dan mengimitasi diri bagaikan nabi, padahal iblis. Sangat konspiratif dan merasa diri bukan pelaku, melainkan sebagai korban sehingga mereka berjuang mati-matian, katanya, sebagai justice collaborator. Tetapi sesungguhnya, saya yakin itu hanyalah bagian dari evolusi. Toh pada akhirnya, mereka akan kaya sekaya-kayanya dan kita akan miskin semiskin-miskinnya. Revolusi memang berdarah-darah, tetapi darah kali ini melulu darah kita! ***
Penulis Adalah Alumnus FBS-UNIMED dan Staf Pengajar PROSUS INTEN MEDAN.